Namun demikian, menurut saya, karena PET memiliki keterkaitan erat dengan aspek lokalitas, aspek kultural juga perlu mendapatkan penekanan.Â
Misalnya, bagaimana dongeng Rara Anteng dan Jaka Seger di masyarakat Tengger dikatikan dengan usaha manusia membangun relasi harmonis dengan kekuatan supranatural dan alam semesta. Tentu saja, hal itu tidak bisa semata-meata menggunakan analisis empiris, tetapi juga membutuhkan analisis mitos yang bersifat kontekstual.
Hasil observasi faktual, lebih jauh lagi, bisa dimanfaatkan sebagai data strategis yang bisa dimanfaatkan oleh birokrat yang mengelola sumberdaya.Â
Dengan memiliki data-data terkait tumbuhan, hewan, lahan pertanian, lahan perbukitan, serta bagaimana manusia di sebuah kawasan membentuk pengetahuan dan kebajikan dalam mengelola alam, birokrat tidak bisa semaunya sendiri untuk menggunakan sumberdaya alam secara rakus tanpa mengindahkan potensi dan permasalahan yang bisa berkembang.Â
Termasuk memberikan informasi kepada perusahaan yang akan mengelola sebuah kawasan terkait hewan dan tumbuhan apa yang dilindungi. Di negara-negara maju, laporan tentang kondisi ekologis sebuah kawasan akan menjadi rujukan penting untuk para pemodal.Â
Meskipun demikian, masih banyak pula perusahaan dari negara-negara maju yang merusak ekosistem komunitas-komunitas etnis dan ruang hidup mereka di kawasan hutan. Selain itu, komunitas pribumi bisa memanfaatkan ketersediaan hasil observasi faktual untuk bernegosiasi kepada pemerintah atau kekuatan yang lebih besar tentang peran penting komunitas dan PET mereka dalam keberlanjutan lingkungan hidup.
Kedua, terdapat sistem manajemen sumberdaya, yakni yang menggunakan pengetahuan lingkungan lokal dan juga memasukkan rangkaian tepat tindakan, alat, dan teknik. Praktik ekologis tersebut mensyaratkan pemahaman akan proses ekologis, seperti hubungan fungsional di antara spesies utama dan pemahaman terhadap pewarisan hutan.Â
Selain itu, telaah sistem manajemen ini juga bermanfaat untuk bagaimana strategi untuk menjamin keberlanjutan sumber daya alam lokal seperti pengelolaan hama, konservasi sumberdaya alam, ragam pola tanam, dan metode untuk mengestimasi kondisi sumberdaya.
Bermacam pengetahuan tentang masa rotasi tanam, pengendalian kebakaran hutan, pola pengumpulan penyu di pesisir pantai, pola tanam pohon di hutan, dan yang lain, sudah banyak dikaji guna mendapatkan perspektif, metode, dan mekanisme untuk mengelola lingkungan alam secara berkelanjutan.Â
Hal ini menegaskan bahwa ketika penggunaan PES menjadi pilihan utama untuk mengendalikan permasalahan kerusakan hutan dan masalah lingkungan lainnya, PET masih dianggap penting karena yang saintifik belum tentu bisa secara menyeluruh menyelesaikan masalah krisis lingkungan, terutama yang berlangsung di kawasan lokal. Masyarakat adatlah yang mengetahui bagaimana memperlakukan lingkungan alam mereka.Â
Meskipun demikian, kita juga melihat realitas bahwa saat ini pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan kawasan semakin berkurang karena semakin massifnya penerapan pertanian komersial, pertambangan yang merusak, perkebunan yang menghilangkan keragaman hayati, dan masalah-masalah lain.