Konsep representasi merupakan formasi dan bukan sekedar sebuah ekspresi dalam pembentukan kehidupan sosial dan politis, sehingga permasalahan subjektivitas, kuasa, dan politik semakin penting sebagai praktik pedagogik yang di dalamnya hubungan di antara perbedaan dan identitas harus ditempatkan di dalam alih-alih di luar mediasi sejarah, budaya dan ideologi.Â
Dengan demikian, para mahasiswa perlu diajak pula untuk memahami dan menelaah institusi-institusi yang secara ajeg yang menggunakan produk representasi dan praktik sosial untuk memroduksi, menyusun, dan, bahkan, menulis-ulang sejarah ras, etnis, ataupun koloanialisme atas nama perbedaan. Â
Kesadaran historis mutlak dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana kepentingan dan kekuasaan berkaitan dengan identitas berusaha terus mempertahankan eksistensi mereka melalui penguasaan institusional mesin representasi yang memungkinkan mereka memainkan kedirian dalam sirkuit yang lentur dan peka terhadap perkembangan teknologi komunikasi massa dan industri budaya dewasa ini.Â
Kenyataan ekonomi-politik representasi tersebut menuntut kejelian terhadap kontribusi pertumbuhan teknologi baru yang memunculkan masyarakat korporat terkontrol dan berbasis pengetahuan. Termasuk yang perlu diungkapkan adalah bagaimana rezim dominan yang mampu memproduksi representasi dalam beragam bentuknya secara ajeg menstrukturkan kondisi eksistensi yang sesuai dengan pertimbangan dan kepentingan kekuasaan.
Berdasarkan pentingnya konsep-konsep di atas, Giroux mengemukakan tiga elemen utama dalam pedagogi kritis representasi. Pertama, pekerja budaya harus mengidentifikasi asal-muasal historis dari bentuk dan isi representasi tertentu. Mahasiswa, misalnya, bisa diminta untuk membaca tulisan sejarah atau referensi terdahulu tentang permasalahan atau wacana tertentu sebagaimana yang dikonstruksi dalam produk representasional, seperti film, tayangan televisi, karya sastra, dan yang lain.
Kedua, pekerja budaya harus melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menuntut keterlibatan representasi pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap mereka yang direpresentasikan atau di-misrepresentasikan. Pekerja budaya harus menolak praktik pedagogis yang mendukung penerimaan teks secara telanjang dengan memberi mahasiswa berbagai metodologi dan pendekatan kritis.Â
Hal itu penting untuk memahami bagaimana isu mengenai audiens, pesan dan penerimaan dikonfigurasi dalam rangkaian kekuatan budaya untuk menghasilkan posisi subjek tertentu dan mengamankan bentuk otoritas tertentu. Dengan kata lain, pekerja budaya harus berani mempermasalahkan praktik pedagogis yang menginformasikan sistem representasi tertentu untuk melegitimasi strategi inklusi dan eksklusi tertentu, praktik pembentukan subjek, dan ratifikasi bentuk investasi dan ekspresi afektif yang selektif.Â
Apa yang menarik di sini adalah bagaimana bentuk representasi tertentu menciptakan, memobilisasi dan mengamankan hasrat tertentu, yaitu bagaimana representasi semacam itu bekerja sebagai mesin yang diinginkan untuk mengamankan bentuk investasi afektif tertentu.Â
Hal ini menunjukkan lebih dari sekadar bagaimana representasi bekerja sesuai keinginan mengawasi, sekaligus menunjukkan pentingnya bagaimana mahasiswa, dosen dan pekerja budaya lainnya secara aktif memroduksi dan memobilisasi keinginan mereka sendiri dalam konteks historis dan sosial tertentu sebagai bentuk identifikasi dan agensi.
Ketiga, representasi selalu diproduksi dalam batasan budaya dan batas teoretis, dan karena itu selalu terlibat dalam pemanfaatan kebenaran, nilai dan kekuatan tertentu. Sehubungan dengan sumbu kekuatan yang lebih besar di mana semua representasi tertanam, perlu untuk mengingatkan mahasiswa.
Mereka perlu diingatkan terkait kepentingan siapa yang dilayani oleh representasi dalam teks atau produk kultural tertentu? Di mana kita dapat menempatkan representasi tersebut secara etis dan politis berkenaan dengan pertanyaan tentang keadilan sosial dan kebebasan manusia? Prinsip moral, etika dan ideologis apa yang membentuk reaksi kita terhadap representasi semacam itu?