Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Identitas dan Pedagogi Representasi: Menimbang Pemikiran Giroux

2 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   07:52 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henry Giroux. Dok. www.globaleducationmagazine.com

IDENTITAS, MULTIKULTURALISME, REZIM PASAR & PENTINGNYA PEDAGOGI KRITIS

Dalam masyarakat multikultural, ketika batas dan zona lama terkait perbedaan mulai terganggu kemapanannya, pertanyaan tentang budaya diarahkan kepada isu kekuasaan, representasi (produksi makna atau wacana melalui bermacam karya kultural), dan identitas. Maksudnya, cara berpikir tentang kebudayaan tidak hanya berhenti pada kekayaan estetik, praktik hidup, ritual ataupun nilai-nilai bersama. 

Lebih dari itu, di dalam kebudayaan, kita bisa menemukan bermacam makna, wacana, pengetahuan, dan praktik yang berkaitan dengan kompleksitas dan dinamika kehidupan di mana faktor identitas dan kekuasaan memainkan perannya.  Dalam semua praktik kebudayaan tersebut bisa kita temukan para pelaku yang memainkan kepentingan mereka melalui produk representasional (produk sastra, media, film, dll) maupun praktik sehari-hari.

Trend kultural yang sebelumnya dipandang dominan dan mapan dalam wacana modernis seperti "kemajuan", "universalisme", dan "objektivisme", tengah diinterogasi sebagai medan tempat berpijak ideologi yang digunakan untuk mengawasi serta memunculkan labelisasi terhadap kelompok subordinat, wacana oposisi dan gerakan sosial yang berbeda. 

Bermacam resistensi terhadap kebenaran kanon akademik dan kebudayaan serta perjuangan para pendukung multikulturalisme untuk memperluas hak-hak kelompok sosial baru mendominasi lanskap pengetahuan, politik, dan ideologi saat ini. Dalam kondisi demikian, pertaruhan dalam pertarungan tersebut jauh melebihi kepentingan-kepentingan partikular yang melahirkannya sebagai subjek perdebatan, baik yang mewujud dalam lingkungan akademis, seni, atau bidang kehidupan lainnya. 

Artinya, muncul bermacam wacana dan kepentingan yang ikut dikontestasikan dan digerakkan untuk mendapatkan keuntungan tertentu oleh pihak-pihak yang bermain. Bahkan, kelompok dominan yang menjadi sasaran kritik karena memapankan ketidaksetaraan berbasis politik, ekonomi, pengetahuan, dan budaya pun ikut bermain.

Kalau ditelisik lebih dalam lagi, apa yang mendasari tumbuh-suburnya beragam dan berbagai pertarungan ini adalah konflik yang lebih rumit terkait hubungan antara demokrasi dan budaya, di satu sisi, dan identitas dan politik representasi di sisi lain. Demokrasi mengidealisasi tata pemerintahan yang setara untuk semua warga negara tanpa memandang ras, etnis, ataupun status sosial mereka. 

Namun, idealisasi tersebut berbenturan dengan realitas budaya yang menempatkan kelompok dominan berbasis ekonomi, politik, ataupun pengetahuan dalam posisi hegemonik. Sementara, identitas yang menjadi arena untuk pembedaan kultural di mana kelompok dominan, penjajah, patriarkal, kulit putih, memainkannya untuk keuntungan ekonomi dan politik mereka juga tengah mendapatkan pemaknaan baru oleh kelompok subordinat. 

Mereka memperjuangkan subjektivitas dan kepentingan mereka dengan identitas berbasis budaya yang dulu ditundukkan dan dimarjinalisasi. Masalahnya, praktik representasi melalui bermacam kesenian, pengetahuan, film, dan media masih memungkinkan kelompok dominan memainkan kepentingan mereka. Dengan demikian, janji dan tujuan ideal multikulturalisme bukanlah persoalan mudah di tengah-tengah kompleksitas persoalan budaya dan representasi tersebut. 

Tulisan Henry A. Giroux, "Living dangerously: Identity politics and the new cultural racism: Towards a critical pedagogy of representation" (1993), merupakan respons terhadap perubahan ataupun pergeseran arah dalam dinamika dan politik kultural di negara-negara maju. 

Sebagai pakar cultural studies yang juga serius menggeluti isu-isu pedagogis, ia berusaha mengungkap dan mengkritisi pertarungan kultural di tengah-tengah multikulturalisme yang dianggap sebagai capaian penting manusia modern Barat dalam menyikapi perbedaan rasial, etnis, dan agama di metropolitan. Perkembangan teori dan gerakan kritis telah melahirkan banyak tafsir ulang terhadap kemenangan modernisme. 

Dalam kesempatan yang sama, politik identitas tumbuh subur di metropolitan; sesuatu yang dulunya menjadi kekuatan kultural masyarakat terjajah. Atas kompleksitas itulah, Giroux memandang perlu adanya "pedagogi kritis" terkait representasi sebagai arena produksi makna, wacana, dan pengetahuan kultural yang terus berkembang dalam masyarakat kontemporer.

Pedagogi kritis merupakan perjuangan dan gerakan dalam kependidikan yang berlangsung dalam banyak formasi dan tempat yang menekankan kepada pertanyaan tentang siapa yang memiliki kendali atas kondisi untuk produksi pengetahuan, nilai, dan keterampilan, dan menjelaskan bagaimana pengetahuan, identitas, dan otoritas dibangun dalam rangkaian hubungan sosial tertentu. 

Pedagogi kritis harus dipandang sebagai proyek politik ataupun moral, serta teknik. Pedagogi kritis selalu bersifat politis, karena berkaitan dengan penguasaan posisi agensi. Dalam sebuah wawancara (http://www.globaleducationmagazine.com/critical-interview-henry-giroux/), Giroux menjabarkan, 

"... sebagai proyek politik, pedagogi kritis membuka secara gamblang hubungan antara pengetahuan, otoritas, dan kekuasaan. Konsep tersebut menarik perhatian pada pertanyaan tentang siapa yang memiliki kendali atas kondisi untuk produksi pengetahuan, nilai, dan keterampilan, dan menjelaskan bagaimana pengetahuan, identitas, dan otoritas dibangun dalam rangkaian hubungan sosial tertentu. 

Dalam pemahaman demikian, pedagogi diposisikan sebagai upaya yang disengaja pihak pendidik untuk memengaruhi bagaimana dan pengetahuan dan subjektivitas apa yang dihasilkan dalam rangkaian hubungan sosial tertentu. Secara etis pedagogi kritis memandang pentingnya memahami apa yang sebenarnya terjadi di ruang kelas dan model pendidikan lainnya dengan mengajukan pertanyaan tentang pengetahuan apa yang paling berharga, arah mana yang diinginkan, dan apa artinya mengetahui sesuatu. 

Para pendidik juga sebisa mungkin mengajak para pembelajar untuk secara serius memahami apa artinya hubungan antara bagaimana kita belajar dan bagaimana kita bertindak sebagai agen individu dan sosial. Para mahasiswa, misalnya, bukan hanya diajak berpikir tetapi untuk melakoni tanggung jawab individu dan sosial. 

Mereka juga diajak memahami apa artinya bertanggung jawab atas tindakan seseorang sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menjadi warga negara yang terlibat dalam upaya memperluas dan memperdalam kemungkinan kehidupan publik yang demokratis. 

Apa yang harus dipahami adalah bahwa pedagogi kritis bukanlah tentang metode apriori yang dapat diterapkan begitu saja terlepas dari konteksnya. Pedagogi kritis merupakan hasil dari perjuangan tertentu dan selalu terkait dengan kekhususan konteks tertentu, pembelajar, komunitas, sumber daya yang tersedia, sejarah yang dibawa mereka ke dalam kelas, dan beragam pengalaman dan identitas yang mereka lakoni.

Dalam kondisi kebangsaan kita yang juga tengah dilanda politisasi identitas, tulisan Giroux ini menarik untuk disimak. Selepas Reformasi hal mengerikan yang terjadi adalah kecenderungan mengerasnya identitas berbasis agama dan etnis yang dimanfaatkan secara politis oleh para elit guna memuwujudkan tujuan ekonomi politik mereka; politisasi identitas. 

Kehidupan politik di tingkat lokal maupun pusat dipenuhi dengan warna identitas yang dimobilisasi untuk kepentingan elit yang seringkali mengatasnamakan kelompok. Dalam tataran akut, politik identitas yang dipolitisasi di beberapa wilayah telah menjadi tragedi berdarah yang mengoyak kemapanan nasionalisme Indonesia. 

Bahkan, di wilayah metropolitan yang seringkali ditempatkan sebagai ruang geo-kultural kosmopolitan dan multicultural terdapat kecenderungan politisasi identitas yang menjadikan agama sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan politik secara membabi-buta.

Di saat bersamaan, sebagai respons atas pengerasan identitas, institusi negara yang dikuti banyak warga negara juga mengumandangkan nasionalisme melalui slogan "NKRI Harga Mati". Meskipun dibutuhkan pemahaman komparatif dan modifikasi konseptual, setidaknya, dengan menimbang pemikiran Giroux kita jadi tahu bagaimana harus menentukan posisi dan melakukan tindakan partikular untuk misi kultural di tengah-tengah masyarakat.

Maka dari itu, pertama-tama, saya akan menyajikan kondisi-kondisi konstekstual di Amerika Serikat pada era 1990-an sebagai pijakan menguatkan kekuatan dominan-konservatif di tengah-tengah gencarnya politik identitas yang digerakkan oleh para aktor kultural dari komunitas-komunitas marjinal. 

Berikutnya, saya akan menjabarkan pemikiran-pemikiran Giroux terkait pedagogi kritis yang seharusnya difokuskan kepada praktik representasi sebagai realitas budaya yang semakin populer dan digunakan oleh kelompok dominan untuk menghadirkan nilai dan kepentingan mereka dalam proses demokratisasi masyarakat. 

Strategi dan model yang ia tawarkan bisa menjadi kerangka pemikiran untuk melihat permasalahan politik identitas di era representasi media yang semakin beragam dewasa ini, baik dalam ranah lokal, nasional, maupun internasional. Setidaknya, melalui tulisan ini, kita bisa melihat secara lebih kritis persoalan identitas melalui produk representasional serta bagaimana harus mengambil peran dalam kehidupan nyata.

TANTANGAN KULTURAL BARU & SUBURNYA POLITIK IDENTITAS 

Tumbuhnya pertarungan wacana yang berujung pada gugatan terhadap kemapanan kultural kelas atau kelompok mapan di metropolitan merupakan dampak dari usaha menyuarakan relasi antara identitas, budaya, dan demokrasi dengan cara baru. Mereka yang berada di faksi Kiri melancarkan kritik dan serangan terhadap pandangan monumentalis budaya Barat dan reproduksinya secara ajeg.

Budaya itu diposisikan sebagai kanon akademik Eropasentris bersifat satu dimensi, subjek otonom sebagai sumber kebenaran yang berdaulat, dan bentuk-bentuk budaya tinggi yang mempertahankan karakter seksis, rasis, homofobik, dan hubungan dominasi kelas-spesifik. 

Apa yang juga tidak boleh diabaikan adalah tantangan akademis dan praksis yang dimunculkan oleh feminisme, posmodernisme dan poskolonialisme karena berkontribusi pada pemaknaan-ulang politik kultural yang salah satunya dikerjakan melalui pembongkaran "praktik representasi". 

Menariknya, ketiga pemikiran tersebut tidak hanya menganalisis kekuatan diskursif dengan tujuan membangun akal sehat dan nalar kritis, membongkar otoritas tekstual serta menelanjangi formasi sosial dan rasial tertentu, tetapi juga mengkritisi institusi-institusi yang memapankan otoritas pemikiran dan hegemoni kultural dengan beragam kepentingan mereka.

Banyak pihak menganggap bahwa implikasi politik budaya semacam itu masih belum jelas. Namun, setidaknya kita bisa melihat mulai suburnya proyek politik budaya yang lahir karena pemahaman dari ketiga gerakan pemikiran tersebut. Menguatnya gerakan feminisme dan gerakan-gerakan lain berusaha mengeliminasi basis-basis perbedaan yang dalam budaya modern yang cukup kuat. 

Mereka mengungkap dan menelanjangi patriarkal, heteroseksis, etnosentsris, dan ideal Barat yang masih kuat. Di saat bersamaan otoritas liberalisme dan Marxisme dalam tradisi akademis juga mulai berkurang dengan munculnya pemikiran-pemikiran yang melampaui keduanya berbasis estetika budaya sehari-hari dan pesatnya industri yang memperbanyak tanda dan wacana. Dalam ranah keilmuan, berkembang titik balik ke urusan kebahasaan (paradigma linguistik) yang lebih lentur dan dinamis.

Menjamurnya teknologi informasi dan berkembangnya masyarakat internet menjadi warna dominan masyarakat pascaindustri yang tidak lagi mengedepankan kekuatan mesin berat, tetapi bermacam software, aplikasi, dan media baru untuk melakukan aktivitas ekonomis. Artinya, terdapat peluang dari untuk memroduksi bermacam representasi terkait identitas, etnis, ras, atau budaya tertentu. 

Meskipun demikian, masyarakat yang demikian belumlah menjadi masyarakat pascakapitalis karena para pemodal besar masih berperan penting dalam transaksi ekonomi kekinian. Bisa jadi, perayaan makna dan wacana identitas dalam bermacam produk media baru masih belum bisa merdeka sepenuhnya, karena masih ada kode-kode tertentu yang digerakkan dan dimenangkan oleh kelompok dominan. 

Kecenderungan diskursif dan praksis seperti itu, tentu saja, memberikan tantangan bagi para pendidik dan pekerja budaya. Mereka ditantang mendefinisikan-kembali hubungan antara budaya dan politik untuk memperdalam dan memperluas dasar bagi praktik transformatif dan emansipatif. 

Sebagai bagian dari tantangan semacam itu, sisi politis dari budaya harus diberi keutamaan sebagai tindakan perlawanan dan transformasi dengan mengatasi masalah perbedaan, identitas, dan tekstualitas di dalam dan bukan di luar problematika kekuasaan, agensi, dan sejarah. 

Artinya, membincang konsep perlawanan dan transformasi melalui praktik representasi tidak bisa mengabaikan kondisi historis yang berkaitan dengan beroperasinya kekuasaan partikular dan kemungkinan agensi yang bisa dilakukan oleh para pendidik dan pekerja budaya. Dengan demikian, penting menghubungkan politik budaya dengan praktik demokrasi substantif. Dalam pemahaman tersebut setiap politik representasi dan perjuangan radikal sekalipun harus menjadi bagian "politik kewarganegaraan kontemporer".

Nilai dari politik kewarganegaraan tersebut adalah mengkaji-kembali wacana kewarganegaraan substantif dengan menimbang konflik yang berkaitan dengan relasi kekuasaan, identitas dan budaya sebagai pusat untuk memulai usaha lebih luas dalam mengutamakan keharusan masyarakat demokratis. 

Ketiga aspek tersebut semestinya bisa menjadi elemen yang memberikan kesetaraan bagi warga negara yang dipinggirkan. Dasar perjuangan seperti itu adalah memikirkan-kembali dan menulis-ulang perbedaan dalam kaitannya dengan pertanyaan yang lebih luas tentang keanggotaan, komunitas, dan tanggung jawab sosial. 

Politik kewarganegaraan kontemporer harus mempertimbangkan peran yang dimainkan oleh gerakan sosial dalam memperluas klaim atas hak dan hak atas wilayah baru. Pemahaman ini berarti membahas pula permasalahan keanggotaan yang ditimbulkan oleh feminisme, gerakan-gerakan kaum kulit hitam dan etnis, ekologi dan minoritas yang rentan seperti anak-anak. Meskipun demikian, usaha tersebut mesti disesuaikan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh "perbedaan" dalam arti yang lebih dalam. 

Misalnya, masalah terkait komunitas yang beraneka ragam di mana kita berasal, interaksi rumit terkait identitas dan identifikasi dalam masyarakat modern, dan cara-cara berbeda di mana orang sekarang berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Keragaman arena di mana kewarganegaraan sedang diklaim dan diperebutkan hari ini adalah penting untuk setiap konsepsi modern itu karena ditorehkan dalam logika masyarakat modern itu sendiri.  

Kalau kita bawa ke dalam ranah internasional, dalam perjalanan awalnya, politik identitas yang mulai berkembang pada era 1960-an memberikan harapan baru untuk penguatan dan keberdayaan komunitas-komunitas yang termarjinalkan dalam sistem, struktur, dan praktik di masyarakat kulit putih. 

Komunitas dengan pandangan politik, orientasi seksual, ras, etnis, dan budaya yang berbeda berjuang untuk mengkonstruksi narasi yang selama proses historis dan kultural di-liyan-kan dan di-senyap-kan, sehingga bisa menjadi kritik dan tandingan terhadap narasi besar dari komunitas dominan. Tentu saja, konstruksi tersebut tidak hanya dalam praktik sehari-hari, tetapi juga melalui produk-produk representasional seperti berita media (dalam segala bentuknya), program televisi, film, dan yang lain. 

Memang benar, politik identitas menjadi penting ketika diarahkan bagi perjuangan demokrasi sejati yang memberikan kebebasan kepada semua individu dan komunitas kesempatan bersuara serta perlawanan terhadap homogenitas budaya sehingga individu dalam banyak komunitas marjinal menemukan kesempatan untuk menegaskan kedirian mereka berbasis inti budaya yang mengikat.

Namun demikian, politik identitas memiliki beberapa kelemahan selain keutamaan tersebut. Para pengusung politik identitas sering gagal melampaui gagasan perbedaan yang terstruktur dalam "polarisasi binerisme", seperti konsep "kita vs mereka". Kuatnya konsep tersebut seringkali menjadikan kelompok resisten tidak kritis dan meniadakan evaluasi akan kelemahan dan kekurangan praktik kontra-dominan. 

Ketika para anggota komunitas membangun ikatan dan solidaritas sebagai liyan dalam semangat esensial, tetap, oposisional, dan kokoh, kemungkinan munculnya kritik internal melemah. Pada saat itulah, penguatan wacana dan praktik pembedaan biner dengan komunitas yang dijadikan sasaran semakin menguat. 

Memang, mereka yang pada awalnya terdiam dan terlantar bisa menarasikan dan menegaskan warisan, kepentingan, dan pengalaman tertekan sekaligus merebut-kembali identitas. Namun, yang seringkali terjadi adalah mereka hanya berusaha mengganti satu narasi dominan dengan narasi lain versi mereka, mengusulkan pemisahan, serta berusaha keras meniadakan perbedaan dalam narasi pembebasan. 

Ketunggalan dan kemenyatuan semua elemen yang sebenarnya memiliki aspek-aspek berbeda menjadi kekuatan penopang bagi keberlangsungan politik identitas. Dan, yang lebih berbahaya lagi adalah munculnya "politik paling benar" yang akan mendorong lahirnya dominasi baru dan pemeliharaan kontradiksi biner atas nama penguatan komunitas. Bagi kelompok dominan, kecenderungan tersebut malah akan mempermudah desain dan strategi untuk menghadapi kelompok subordinat.

Karena berbahayanya politik identitas yang seringkali tidak bisa lagi dikendalikan dengan nalar dan praksis secara konstruktif, keutamaannya mulai dikritisi pada era 1990-an. Banyak pakar mengkritisi politik identitas dengan mengatakan bahwa keyakinan untuk membongkar dan melawan dominasi dalam hubungan antara kelompok sosial yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur malah menimbulkan logika dan praktik yang membatasi gerakan radikal serta berakhir dengan mendukung dominasi. 

Dalam konteks yang lebih luas, terdapat hal yang lebih riskan terkait bagaimana relasi mobilisasi perbedaan budaya dan kehidupan demokrasi. Kita bisa melihat bagaimana kelompok dominan dengan menggunakan piranti demokrasi seperti undang-undang dan peraturan pemerintah untuk membatasi dan semakin memarjinalkan komunitas yang secara esensial menentangnya. 

Tentu saja, hal itu berlangsung melalui penalaran wacana dan representasional yang memberikan pembenaran umum. Artinya, kelompok dominan pun bisa memainkan strategi dan siasat dalam kehidupan demokrasi yang memungkinkannya memperkuat identitas dan secara legal memperkuat wacana dan praktik baru yang mendukung dominasi.

Terlepas dari kritik tersebut, politik identitas menjadi perhatian di lingkaran akademis karena munculnya kekhawatiran terkait budaya, perbedaan, dan pembaruan demokrasi. Apa yang mesti dipahami, politik identitas tidak lagi sekadar bersitaf satu dimensi, yakni menjadi bentuk diskursif teori dan praktik sayap-kiri. 

Pada saat yang sama, kemungkinan radikal terkait dengan hubungan antara demokrasi dan politik perbedaan budaya belum hilang pada kelompok Kanan Baru di Amerika Serikat. Kelompok Kanan Baru yang dipelopori oleh Ronald Reagan dan George Bush secara terus-menerus mengupas ruang hukum, institusional, dan ideologis yang diperlukan bagi keberadaan masyarakat demokratis. 

Selama beberapa dekade terakhir, kaum konservatif baru menggulirkan undang-undang hak-hak sipil, melancarkan kampanye antipornografi terhadap seni untuk menghilangkan pendanaan publik bagi kelompok "yang secara politis menyerang". Mereka juga mengganti ketentuan negara dan layanan publik dengan program privatisasi untuk memperluas kekuatan modal, daya saing individu dan kebebasan perusahaan. Logika pasar semakin kuat sehingga terjadi pengurangan dana sekolah negeri dan perawastan kesehatan.

Dalam pandanga Giroux, selama beberapa dekade, kita menyaksikan bagaimana kekuasaan dominan menerapkan prinsip neoliberalisme yang menekankan kapitalisme pasar bebas tak terkekang. Nilai-nilai pasar bebas tidak hanya meremehkan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan publik, tetapi juga mengabadikan individualisme fanatik, pencarian keuntungan yang menyeluruh, dan Darwinisme sosial di mana kemalangan dipandang sebagai kelemahan. 

Para pendukung fanatik pasar bebas secara massif menyerang konsep yang sudah lumayan berkembang seperti kontrak sosial, negara kesejahteraan, setiap gagasan tentang kebaikan bersama, dan ruang publik yang belum ditentukan oleh kepentingan komersial para pemodal. Bagi mereka, pasar menjadi bentuk baku untuk mengorganisir masyarakat dan dinamika peradaban. Setiap individu diposisikan sebagai pelanggan atau klien. Wajar kalau Giroux, masih dalam wawancara, mengatakan:

"Kebebasan bukan lagi tentang kesetaraan, keadilan sosial, atau kesejahteraan umum, tetapi tentang perdagangan barang, modal finansial, dan komoditas. Maka, produksi pengetahuan bagi rezim yang digerakkan pasar merupakan bentuk rasionalitas instrumental yang meng-angka-kan semua bentuk makna, memprivatisasi hubungan sosial, mendehistoriskan ingatan, dan menggantikan pelatihan untuk pendidikan sambil mengurangi kewajiban kewarganegaraan menjadi tindakan konsumsi."

Tidak mengherankan kalau produksi pengetahuan di banyak lembaga pendidikan diarahkan dengan kerangka "hasil yang objektif", diprivatisasi, dan sebagian besar diarahkan untuk menghasilkan matakuliah yang menarik. Akibatnya, setiap gagasan yang layak tentang pendidikan kritis dan pedagogi kritis mengalami tantangan serius dari dalam institusi pendidikan.

Para pendidik didesak, sebagian besar direduksi menjadi mengajar untuk ujian, budaya bisnis mengatur struktur tata kelola sekolah, pengetahuan dipandang sebagai komoditas, dan peserta didik diperlakukan secara reduktif sebagai konsumen dan pekerja. Pengetahuan adalah bentuk hak istimewa dan modal modal baru. Setidaknya, pemahaman tersebut meningkat di sekolah-sekolah yang berada di bawah kendali kebijakan yang ditetapkan oleh individu ultra-kaya, fundamentalis agama, dan elit perusahaan besar.

SERANGAN KAUM KONSERVATIF BARU & POSISI PEMIKIR KIRI 

Titik serangan kaum konservatif baru adalah kepentingan yang diperbarui untuk mengatasi gerakan politik radikal yang mengusung perkembangan terkini dalam wacana budaya dan demokrasi. Secara khusus, kaum Kanan Baru berfokus pada wacana  posmodernis, feminis, poskolonialis, dan wacana minoritas lainnya yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana bentuk-bentuk otoritas tertentu dilegitimasi melalui sistem kurikulum di semua tingkat pendidikan. 

Kaum radikal menyerukan untuk merebut kembali warisan demokrasi substantif dengan menggunakan kembali bahasa kesetaraan, keadilan dan perbedaan budaya. Seruan inilah yang mendapatkan serangan balik dari para para ideolog konservatif yang berada di ranah publik. 

Demonstrasi mengutuk rasisme. Dok. www.polsci.ucsb.edu
Demonstrasi mengutuk rasisme. Dok. www.polsci.ucsb.edu
Demokrasi tidak bisa disandingkan dengan budaya (mayoritas kulit putih), karena yang pertama dibentuk untuk melayani rakyat kebanyakan, sedangkan yang terakhir diciptakan oleh segelintir orang. Dengan kata lain, demokrasi dalam bidang budaya yang memugkinkan partisipasi dan resistensi kelompok marjinal merupakan ancaman serius terhadap budaya warga Amerika (kulit putih). 

Perluasan demokrasi dan representasi politik menjadi ancaman serius terhadap konfigurasi kekuasaan dan kendali dominan. Pemikiran dan praktik perbedaan budaya serta implikasi kepada kemajemukan bahasa, pengalaman, dan sejarahnya bisa menjadi ancaman serius bagi nilai-nilai Yahudi-Kristen. 

Perluasan batas-batas representasi politik dan penentuan nasib sendiri tidak menjadi masalah asalkan kaum kulit putih Amerika untuk 'mengambil-kembali' negara mereka. Tuduhan hancurnya kehidupan publik Amerika diarahkan kepada gelombang imigrasi dari negara Dunia Ketiga, baik legal maupun ilegal.

Serupa, kelompok Kulit Putih sayap-kanan Amerika pada era 1990-an hingga saat ini beranggapan bahwa perbedaan bukan sebagai penanda atau superioritas rasial tetapi sebagai penanda untuk pertahanan budaya, homogenitas dan ketidaksamaan sosial dan struktural. Argumen nasionalisme dan patriotisme lebih diutamakan alih-alih supremasi rasial. 

Perbedaan dihapus dari bahasa biologisme rasial dan ditetapkan sebagai konstruksi budaya hanya untuk dikerjakan-ulang dalam proyek hegemonik yang menghubungkan ras dan bangsa. Mereka melakukan itu untuk melawan kampanye penghapusan ketidaksetaraan struktural dan budaya. Bahkan, pendukung gerakan ini tidak segan-tegan mengolok pendukung politik progresif sebagai kerumunan orang anti-homopobia, anti-rasis, dan anti-Kulit Putih. 

Pernyataan tersebut merupakan momok ras sebagai tanda ideologis yang dilekatkan untuk mereka yang menyerang Kulit Putih. Ras dalam konteks tersebut diharapkan untuk tidak mengeliminasi perbedaan rasial terstruktur, tetapi untuk mempertahankannya dalam batas-batas budaya independen yang mencegah baik proses melintasi batas ataupun menyamarkan identitas baru dalam lingkup perbedaan budaya.

Ironisnya, mempertanyakan budaya bisa memunculkan ketegangan karena bisa menjadi pertanyaan identitas yang menyedihkan. Pertarungan yang muncul dari "pertanyaan identitas yang menyedihkan" sejalan dengan "perang budaya" yang berlangsung dalam politik Amerika sejak pemerintahan Reagan/Bush. 

Kehidupan politik Amerika Serikat semakin didominasi oleh politik representasi yang berakar pada wacana populis otoriter yang membentuk-ulang hubungan antara identitas dan budaya. Sayangnya, di tengah menguatnya pembalasan kaum konservatif Kulit Putih terhadap gerakan kaum minoritas, para kritikus kiri sekalipun mulai jenuh dengan isu politik identitas dengan mengerangkainya sebagai bentuk wacana kecemasan, keterasingan dan ketidakcakapan. 

Politik identitas merupakan jalan untuk tidak menyalahkan diri sendiri atas perasaan tidak berdaya yang akarnya dikonstruksi secara politik dan sosial. Tentu saja, pendapat demikian, kurang sesuai karena politik identitas mencakup medan teoritis yang kompleks dan beragam serta dikonstruksi dari bermacam wacana yang berkaitan dengan masalah subjektivitas, budaya, perbedaan, dan perjuangan.

Dalam wujud kerasnya, kita bisa menemukan isu identitas ini dalam gerakan politik budaya kaum kulit hitam, seperti dilakukan oleh Louis Farrakhan. Dalam wujud wacana progresifnya, kita bisa melihat dalam tulisan Stuart Hall dan Homi K. Bhabha terkait dinamika etnisitas dan budaya di tengah-tengah perbedaan dan dominasi Kulit Putih. 

Apa yang menyedihkan, sejatinya, adalah bagaimana bisa mengabaikan politik identitas sebagai sesuatu yang reaksioner sembari membiarkan konservatif sayap Kanan mengambil kembali kritik progresif ras, etnisitas dan identitas serta menggunakannya untuk memromosikan alih-alih menghilangkan politik rasisme budaya.

Ini adalah kesalahan serius. Sementara berakhirnya politik identitas adalah sesuatu yang membuat para kritikus dan pekerja budaya tampaknya terus berdebat tanpa henti, mereka tampaknya tidak sepenuhnya berhasil mengatasi konsekuensi politik dan rasialnya. Alih-alih hanya mengabaikan politik identitas, pekerja budaya Kiri perlu melibatkan isu ini secara lebih dialektis. 

Dalam hal ini, perspektif kritis tentang politik identitas harus dilihat sebagai fundamental bagi setiap wacana dan gerakan sosial yang percaya pada pembaruan radikal masyarakat demokratis. Dengan kualifikasi ini dalam pikiran, hubungan antara identitas dan politik dapat dirumuskan kembali dalam politik representasi yang terbuka untuk kemungkinan ke depannya, perbedaan dan refleksi-diri tetapi masih mampu terlibat dalam proyek hegemonik yang merekonstruksi kehidupan publik melalui politik solidaritas demokratis.

MENGUSAHAKAN PEDAGOGI KRITIS 

Menghadapi kondisi di atas, Giroux mengusulkan agar para pekerja budaya, termasuk pendidik, penggiat komunitas kultural, pekerja media, dan yang lain, bisa memperluas dan memperdalam "politik representasi" melalui aktivitas yang disebut "pedagogi kritis representasi" dan "pedagogi representasional".

Pedagogi Kritis Representasi

Sebagai contoh untuk konsep pedagogi kritis representasi, kita bisa merujuk kepada berbagai cara representasi dikonstruksi sebagai "alat untuk memahami masa lalu melalui masa kini" dengan tujuan melegitimasi dan mengamankan pandangan tertentu terkait masa depan sebuah masyarakat, bangsa, ataupun negara. 

Selagi sejarah sebuah komunitas masih menjadi acuan untuk membincang kedirian dan harapan komunal, saat itulah perspektif orang-orang di masa kini menjadi pertarungan representasional di mana pihak-pihak dominan akan mencoba untuk memroduksi makna ataupun wacana yang akan memenangkan kepentingan mereka. Akibat jangka panjangnya, masa depan berbasis masa lalu bisa diamankan pada masa kini oleh mereka yang mengendalikan alat-alat representasi.  

Dalam hal subordinasi kulit hitam dan superioritas kulit putih, misalnya, sejarah masa lalu akan didefinisikan oleh para kreator industri film ataupun novel dalam kemassifannya. Akibatnya, ketika mereka masih berpihak kepada kebenaran historis perbudakan sebagai akibat dari (sekedar) perbedaan rasial, misalnya, kulit hitam secara sosial akan tetap diposisikan dalam ruang dan peran marjinal.

Dalam kondisi demikian, para mahasiswa, misalnya, bisa diajak untuk secara teliti dan detil menyelidiki dinamika perjalanan historis, semiotik, dan relasional yang terlibat dalam produksi bermacam rezim representasi dan kepentingan politiknya masing-masing. Kelompok-kelompok dominan akan berusaha sebisa mungkin mengamankan kekuasaan mereka melalui banyak praktik representasional, dari iklan publik hingga film komersial. 

Maka, pedagogi kritis representasi mengemban misi untuk 'menelanjangi' praktik dan proses representasi dengan mengungkapkan produksi makna dan wacana yang berhubungan dengan kekuasaan yang menarasikan dan mengkonstruksi identitas melalui sejarah, bentuk-bentuk sosial, dan perspektif etis yang tampak objektif, berlaku universal, dan konsensual.

Salah satu kepandaian representasional kekuatan dominan adalah menjadikan identitas sebagai ragam tuturan yang tampak menjangkau ragam kepentingan warga yang multi-ras, sebagaimana digambarkan dari keterlibatan tokoh-tokoh dari komunitas marjinal dalam produk filmis atau televisi, misalnya. 

Tantangannya adalah mengidentifikasi bagaimana politik representasional bekerja mengamankan bentuk dominan otoritas dan memobilisasi dukungan masyarakat sembari meneliti tindakan mempresentasikan di dalam bentuk otoritas tekstual dan relasi kuasa yang selalu melibatkan pilihan, selektivitas, eksklusi, dan inklusi. 

Apa yang boleh dihadirkan, apa yang tidak boleh dihadirkan, atau apa yang boleh dihadirkan tetapi tanpa makna ideologis, menjadi pertimbangan-pertimbangan penting dalam merepresentasikan persoalan identitas dalam produk-produk budaya populer. Bahkan, film yang mengusung topik kesetaraan, bisa jadi dimanfaatkan untuk menormalisasi ideologi dan kelompok dominan.

Menimbang pemikiran di atas, bisa kita katakan bahwa 'jantung' pedagogi kritis representasi adalah memberikan kesempatan mahasiswa untuk mendekonstruksi dalil mitis bahwa gambar, suara, dan teks hanya semata-mata mengekspresikan kenyataan, tanpa kepentingan apa-apa. 

Pedagogi kritis representasi juga menyadari sepenuhnya bahwa generasi muda tengah hidup dalam budaya televisual, fotosentris, filmis, dan media baru yang di dalamnya berlangsung produksi pengetahuan dan identitas dalam rangkaian ideologis dan praktik sosial tertentu. 

Konsep representasi merupakan formasi dan bukan sekedar sebuah ekspresi dalam pembentukan kehidupan sosial dan politis, sehingga permasalahan subjektivitas, kuasa, dan politik semakin penting sebagai praktik pedagogik yang di dalamnya hubungan di antara perbedaan dan identitas harus ditempatkan di dalam alih-alih di luar mediasi sejarah, budaya dan ideologi. 

Dengan demikian, para mahasiswa perlu diajak pula untuk memahami dan menelaah institusi-institusi yang secara ajeg yang menggunakan produk representasi dan praktik sosial untuk memroduksi, menyusun, dan, bahkan, menulis-ulang sejarah ras, etnis, ataupun koloanialisme atas nama perbedaan.  

Kesadaran historis mutlak dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana kepentingan dan kekuasaan berkaitan dengan identitas berusaha terus mempertahankan eksistensi mereka melalui penguasaan institusional mesin representasi yang memungkinkan mereka memainkan kedirian dalam sirkuit yang lentur dan peka terhadap perkembangan teknologi komunikasi massa dan industri budaya dewasa ini. 

Kenyataan ekonomi-politik representasi tersebut menuntut kejelian terhadap kontribusi pertumbuhan teknologi baru yang memunculkan masyarakat korporat terkontrol dan berbasis pengetahuan. Termasuk yang perlu diungkapkan adalah bagaimana rezim dominan yang mampu memproduksi representasi dalam beragam bentuknya secara ajeg menstrukturkan kondisi eksistensi yang sesuai dengan pertimbangan dan kepentingan kekuasaan.

Berdasarkan pentingnya konsep-konsep di atas, Giroux mengemukakan tiga elemen utama dalam pedagogi kritis representasi. Pertama, pekerja budaya harus mengidentifikasi asal-muasal historis dari bentuk dan isi representasi tertentu. Mahasiswa, misalnya, bisa diminta untuk membaca tulisan sejarah atau referensi terdahulu tentang permasalahan atau wacana tertentu sebagaimana yang dikonstruksi dalam produk representasional, seperti film, tayangan televisi, karya sastra, dan yang lain.

Kedua, pekerja budaya harus melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menuntut keterlibatan representasi pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap mereka yang direpresentasikan atau di-misrepresentasikan. Pekerja budaya harus menolak praktik pedagogis yang mendukung penerimaan teks secara telanjang dengan memberi mahasiswa berbagai metodologi dan pendekatan kritis. 

Hal itu penting untuk memahami bagaimana isu mengenai audiens, pesan dan penerimaan dikonfigurasi dalam rangkaian kekuatan budaya untuk menghasilkan posisi subjek tertentu dan mengamankan bentuk otoritas tertentu. Dengan kata lain, pekerja budaya harus berani mempermasalahkan praktik pedagogis yang menginformasikan sistem representasi tertentu untuk melegitimasi strategi inklusi dan eksklusi tertentu, praktik pembentukan subjek, dan ratifikasi bentuk investasi dan ekspresi afektif yang selektif. 

Apa yang menarik di sini adalah bagaimana bentuk representasi tertentu menciptakan, memobilisasi dan mengamankan hasrat tertentu, yaitu bagaimana representasi semacam itu bekerja sebagai mesin yang diinginkan untuk mengamankan bentuk investasi afektif tertentu. 

Hal ini menunjukkan lebih dari sekadar bagaimana representasi bekerja sesuai keinginan mengawasi, sekaligus menunjukkan pentingnya bagaimana mahasiswa, dosen dan pekerja budaya lainnya secara aktif memroduksi dan memobilisasi keinginan mereka sendiri dalam konteks historis dan sosial tertentu sebagai bentuk identifikasi dan agensi.

Ketiga, representasi selalu diproduksi dalam batasan budaya dan batas teoretis, dan karena itu selalu terlibat dalam pemanfaatan kebenaran, nilai dan kekuatan tertentu. Sehubungan dengan sumbu kekuatan yang lebih besar di mana semua representasi tertanam, perlu untuk mengingatkan mahasiswa.

Mereka perlu diingatkan terkait kepentingan siapa yang dilayani oleh representasi dalam teks atau produk kultural tertentu? Di mana kita dapat menempatkan representasi tersebut secara etis dan politis berkenaan dengan pertanyaan tentang keadilan sosial dan kebebasan manusia? Prinsip moral, etika dan ideologis apa yang membentuk reaksi kita terhadap representasi semacam itu?

Pedagogi Representational

Sementara, terkait pedagogi representasional, Giroux berargumen bahwa pendekatan ini melampaui analisis terhadap prinsip-prinsip strukturasi yang menginformasikan bentuk dan isi representasi politik. Alih-alih, pedagogi representasional berfokus pada bagaimana kita belajar untuk mengidentifikasi, menantang, dan menulis-ulang representasi tertentu terkait kelompok subordinat. 

Lebih khusus lagi, pendekatan ini menawarkan kepada kita kesempatan untuk terlibat secara pedagogis dengan menggunakan piranti yang di dalamnya praktik representasional dapat digambarkan, diangkat dan dikerjakan-kembali secara subjektif sehingga menghasilkan, memperkuat atau menolak bentuk representasi budaya dan definisi diri tertentu.

Dengan pemahaman tersebut, pedagogi representasional adalah kebutuhan para pekerja budaya untuk menonjolkan momen pedagogi dan politik yang saling menguatkan sebagai hal utama bagi praktik untuk merepresentasikan tindakan resistensi dan transformasi. 

Meskipun demikian masih muncul permasalahan yang layak diperhatian seperti bagaimana mungkin menghadirkan relasi yang berkeadilan berbasis kriteria etis di tengah-tengah posmodernitas yang penuh simulasi dan gambar. Menjawab kekhawatiran tersebut, Giroux mengusulkan agar pedagogi representasional mengambil isu-isu berikut.

Pertama, pendekatan pedagogis memberi kesempatan kepada mahasiswa dari kelompok subordinat untuk tidak hanya menemukan sejarah tersembunyi mereka tapi juga untuk memulihkannya. Pilihan ini bisa dimaknai sebagai "menggunakan cerita sejarah yang dikhianati (dikonstruksi oleh kelompok dominan) untuk menyebarkan imajinasi kritis, sehingga mereka mampu membedakan kenyataan sebagai fakta dan eksistensi sebagai suatu kemungkinan." 

Sebagai bagian dari pedagogi representasi budaya dan pembentukan identitas, ini menunjukkan bahwa pekerja budaya menawarkan kepada mahasiswa alat untuk menantang gagasan tentang subjektivitas yang didasarkan pada pandangan sejarah sebagai sesuatu tidak berubah, monolitik atau statis. Identitas, dengan demikian, seperti dikatakan Hall merupakan subjek "bagi permainan sejarah, budaya, dan kekuasaan." Akibatnya, identitas mengalami transformasi konstan.

Hubungan sejarah dan identitas bersifat kompleks dan tidak bisa direduksi hanya pada sejarah tersembunyi yang ditemukan yang kemudian dimanfaatkan untuk citra positif. Sebaliknya, pendidik perlu memahami dan mengembangkan pedagogi terkait bagaimana identitas-identitas diproduksi secara berbeda, termasuk bagaimana mereka mengambil narasi dari masa lalu melalui cerita dan pengalaman masa kini. 

Menyadari terma tersebut, pedagogi representasional tampak tidak setia terhadap proses penarasian sejarah otentik (yang seringkali bermasalah karena banyak ditulis oleh kelompok dominan), tetapi dinamika pemulihan kultural, yang melibatkan penulisan-kembali hubungan antara identitas dan perbedaan melalui penceritaan kembali masa lalu historis. 

Pedagogi representasional berakar dalam penciptaan aspek politis yang bersifat pedagogik dengan menunjukkan bagaimana politik kritis bisa dikembangkan di antara perjuangan atas akses kepada rezim representasi dan menggunakan mereka untuk menghadirkan-ulang identitas-identitas berbeda sebagai bagian dari rekonstruksi kehidupan publik demokratis. Inilah yang oleh Hall dikatakan sebagai perjuangan posisionalitas dan perjuangan untuk politik perbedaan.

Kedua, pendidik kritis perlu memahami lebih jelas lagi bagaimana mengkonstruksi pedagogi representasional yang memperhatikan bagaimana inkorporasi sehari-hari dimobilisasi dalam teks budaya massa untuk menghasilkan hubungan antara "yang marjinal" dengan pusat kekuasaan. Realitas ini, secara parsial perlu disikapi dengan memberikan mahasiswa alat analisis untuk menantang representasi yang memroduksi rasisme, seksisme dan kolonialisme melalui warisan wacana dan praktik etnosentris. 

Namun, apa lebih banyak yang dituntut di sini, selain pemahaman tentang teknologi representasi baru dan bagaimana penggunaannya untuk memperbaiki identitas dalam hubungan dominasi dan subordinasi adalah kebutuhan untuk mengembangkan praktik pedagogis yang lebih dari sekedar membacakan ideologi sebagaimana diproduksi dalam teks-teks tertentu.

Inti dari pendekatan ini adalah memahami bagaimana pengetahuan dan kepentingan bertemu untuk mempromosikan bentuk produksi budaya, investasi dan kontra-naratif tertentu yang memanggil komunitas ingatan yang dihidupkan, dirasakan dan diinterogasi. 

Pendidik kritis juga perlu menggunakan teknologi ini sebagai bagian dari kontra-naratif tentang emansipasi di mana visi, ruang, keinginan dan wacana baru dapat dikembangkan. Harapannya, mahasiswa berkesempatan menulis-ulang sejarah mereka sendiri secara berbeda di dalam alih-alih di luar wacana kritis kewarganegaraan dan demokrasi kultural. 

Dalam wacana ini, para mahasiswa akan mempelajari etnis dan sejarah mereka sendiri dan mendapatkan beberapa pengertian tentang lokasi budaya yang kompleks dan beragam yang telah memberi mereka makna suara, tempat dan identitas. Dengan cara ini mahasiswa dapat lebih memperhatikan kedua perjuangan yang menginformasikan identitas mereka sendiri dan juga perjuangan lain seputar budaya dan suaranya yang seringkali tampak tidak memiliki hubungan dengan kehidupan mereka sendiri.

Menariknya, mereka yang selama ini dianggap berada dalam ruang dan posisi dominan, karena proses representasi seringkali tidak memahami bagaimana permasalahan historis komunitas mereka. Kaum kulit putih, seperti mahasiswa keturunan Irlandia, kurang memahami bahasa dan sejarah kelas pekerja mereka sendiri. 

Pedagogi representasional menolak anggapan bahwa kekerasan sistemik rasisme dan perbedaan karena identitas negatif hanya dapat diatasi dengan berfokus pada dugaan orang lain. Etnisitas menjadi perbatasan yang terus-menerus dilalui dari perbedaan di mana identitas terbentuk dalam hubungan dengan medan sejarah, pengalaman dan kekuatan yang bergeser. 

Etnisitas sebagai politik representasional mendorong batas-batas pertahanan budaya dan menjadi tempat perjuangan pedagogis di mana warisan sejarah, kode, dan hubungan yang dominan menjadi tidak stabil dan karenanya terbuka untuk ditantang dan ditulis-ulang.

Hal ini menunjukkan pada tingkat paling umum bahwa pedagogi representasional harus menjadi pedagogi lokasi, yaitu harus mengatasi kekhasan pengalaman, masalah, bahasa dan sejarah yang didorong oleh mahasiswa dan masyarakat untuk membangun narasi identitas kolektif dan kemungkinan transformasi. 

Paling tidak, pedagogi representasional harus melepaskan gagasan tentang "otonomi estetika" dan sepenuhnya melibatkan realitas sosial dan politik yang membentuk masyarakat yang lebih luas. Selain itu, pengetahuan, keterampilan dan nilai yang dipelajari mahasiswa dalam menulis-ulang hubungan antara pedagogi dan politik representasional juga harus digunakan untuk terus-menerus menginterogasi "politik lokasi", suara dan tindakan mereka sendiri.

Satu kualifikasi pedagogis perlu dibuat di sini. Sebuah pedagogi representasional dan politik representasi harus melakukan lebih dari sekadar mempromosikan pemahaman diri dan pemahaman orang lain, tetapi juga harus bekerja menciptakan kondisi kelembagaan, politik dan diskursif yang diperlukan. Kekuasaan dan hak istimewa tidak hanya diungkap atau dihilangkan melainkan juga secara sadar diberikan timbal-balik (dan dimanfaatkan dengan baik).  

SIMPULAN 

Bagi Giroux, jika pedagogi representasional dan pedagogi kritis representasi ditujukan untuk menghadapi tantangan rasisme baru berbasis politisasi identitas dan variannya, para pelaku budaya harus mampu memahami dan mengolah-kembali relasi antara identitas dan perbedaan sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas mengenai institusi dan ideologi yang dirancang untuk memperluas dan memperdalam bentuk demokrasi politik, ekonomi dan budaya yang lebih besar. 

Perjuangan semacam itu menuntut pemahaman yang canggih agar pekerja budaya dapat mengatasi dinamika produktif, pedagogi, kekuasaan, dan agensi dalam wacana melalui produk representasi yang menceritakan warisan budaya yang mendukung kemungkinan emansipatoris. Selain itu, mahasiswa berkesempatan untuk merepresentasikan diri mereka sendiri; cara yang menunjukkan bahwa mereka dapat membayangkan secara berbeda untuk bertindak sebaliknya. 

Akhirnya, mereka yang menghubungkan masalah agensi, tanggung jawab etis dan pedagogi representasional harus  secara sadar berada dalam tegangan yang sering diabaikan, antara komitmen politis dan pedagogis . Setidaknya, hal ini menunjukkan bahwa pedagogi kritis representasi dan pedagogi representasional berakar pada politik yang bersifat ideal sekaligus selalu selalu melakukan evaluasi dan kritik dari dalam untuk mengetahui kelemahan.

BACAAN 

Giroux, Henry A. 1993.  "Living dangerously: Identity politics and the new cultural racism: Towards a critical pedagogy of representation". Dalam Cultural Studies, Vol. 7(1): 1-27. 

Giroux, Henry A. "A Critical Interview with Henry Giroux." http://www.globaleducationmagazine.com/critical-interview-henry-giroux/.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun