Namun, apa lebih banyak yang dituntut di sini, selain pemahaman tentang teknologi representasi baru dan bagaimana penggunaannya untuk memperbaiki identitas dalam hubungan dominasi dan subordinasi adalah kebutuhan untuk mengembangkan praktik pedagogis yang lebih dari sekedar membacakan ideologi sebagaimana diproduksi dalam teks-teks tertentu.
Inti dari pendekatan ini adalah memahami bagaimana pengetahuan dan kepentingan bertemu untuk mempromosikan bentuk produksi budaya, investasi dan kontra-naratif tertentu yang memanggil komunitas ingatan yang dihidupkan, dirasakan dan diinterogasi.Â
Pendidik kritis juga perlu menggunakan teknologi ini sebagai bagian dari kontra-naratif tentang emansipasi di mana visi, ruang, keinginan dan wacana baru dapat dikembangkan. Harapannya, mahasiswa berkesempatan menulis-ulang sejarah mereka sendiri secara berbeda di dalam alih-alih di luar wacana kritis kewarganegaraan dan demokrasi kultural.Â
Dalam wacana ini, para mahasiswa akan mempelajari etnis dan sejarah mereka sendiri dan mendapatkan beberapa pengertian tentang lokasi budaya yang kompleks dan beragam yang telah memberi mereka makna suara, tempat dan identitas. Dengan cara ini mahasiswa dapat lebih memperhatikan kedua perjuangan yang menginformasikan identitas mereka sendiri dan juga perjuangan lain seputar budaya dan suaranya yang seringkali tampak tidak memiliki hubungan dengan kehidupan mereka sendiri.
Menariknya, mereka yang selama ini dianggap berada dalam ruang dan posisi dominan, karena proses representasi seringkali tidak memahami bagaimana permasalahan historis komunitas mereka. Kaum kulit putih, seperti mahasiswa keturunan Irlandia, kurang memahami bahasa dan sejarah kelas pekerja mereka sendiri.Â
Pedagogi representasional menolak anggapan bahwa kekerasan sistemik rasisme dan perbedaan karena identitas negatif hanya dapat diatasi dengan berfokus pada dugaan orang lain. Etnisitas menjadi perbatasan yang terus-menerus dilalui dari perbedaan di mana identitas terbentuk dalam hubungan dengan medan sejarah, pengalaman dan kekuatan yang bergeser.Â
Etnisitas sebagai politik representasional mendorong batas-batas pertahanan budaya dan menjadi tempat perjuangan pedagogis di mana warisan sejarah, kode, dan hubungan yang dominan menjadi tidak stabil dan karenanya terbuka untuk ditantang dan ditulis-ulang.
Hal ini menunjukkan pada tingkat paling umum bahwa pedagogi representasional harus menjadi pedagogi lokasi, yaitu harus mengatasi kekhasan pengalaman, masalah, bahasa dan sejarah yang didorong oleh mahasiswa dan masyarakat untuk membangun narasi identitas kolektif dan kemungkinan transformasi.Â
Paling tidak, pedagogi representasional harus melepaskan gagasan tentang "otonomi estetika" dan sepenuhnya melibatkan realitas sosial dan politik yang membentuk masyarakat yang lebih luas. Selain itu, pengetahuan, keterampilan dan nilai yang dipelajari mahasiswa dalam menulis-ulang hubungan antara pedagogi dan politik representasional juga harus digunakan untuk terus-menerus menginterogasi "politik lokasi", suara dan tindakan mereka sendiri.
Satu kualifikasi pedagogis perlu dibuat di sini. Sebuah pedagogi representasional dan politik representasi harus melakukan lebih dari sekadar mempromosikan pemahaman diri dan pemahaman orang lain, tetapi juga harus bekerja menciptakan kondisi kelembagaan, politik dan diskursif yang diperlukan. Kekuasaan dan hak istimewa tidak hanya diungkap atau dihilangkan melainkan juga secara sadar diberikan timbal-balik (dan dimanfaatkan dengan baik). Â
SIMPULANÂ