Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sepak Bola, Pascakolonialitas, dan Nasionalisme dalam "Garuda di Dadaku"

18 Januari 2022   15:58 Diperbarui: 10 Februari 2022   18:21 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjuangan dan keberhasilan Bayu masuk Timnas U-13 serta mengenakan seragam merah-putih dengan lambang Garuda bisa dimaknai sebagai bentuk perjuangan untuk menyemaikan nasionalisme dalam jiwa seorang anak. Melekatkan makna “kemurnian” dan “ketulusan” perjuangan nasionalisme pada anak memang tampak menghilangkan kepentingan ideologis bagi kehadiran nasionalisme itu sendiri. 

Nasionalisme bukan lagi menjadi jargon-jargon politik yang dimobilisasi oleh elit nasional dan seringkali digunakan untuk mendukung kepentingan politik mereka di tengah-tengah masyarakat. Bayu bukanlah tokoh politik yang mengusung ambisi individual dengan berkutbah tentang pentingnya mencintai republik ini. Ia hanya anak berusia 12 tahun yang sekedar ingin mengenakan kaos dengan gambar Garuda. 

Melalui kemurnian subjek anak yang tengah berjuang sembari membawa aspirasi kolektif warga negara, nasionalisme dalam film ini dikembalikan kepada pemaknaan awal kelahirannnya bagi masyarakat pascakolonial, yakni menyemaikan dan memperkuat kecintaan terhadap negara-bangsa. Idealisasi yang dianggit adalah bahwa semua warga maupun aparatus negara seharusnya mengembangkan nasionalisme yang semata-mata untuk kepentingan tegaknya negara, bukan untuk kepentingan kuasa semata.

Kehadiran olah raga populer seperti sepak bola yang menjadi medium untuk memperjuangkan harapan dan kebanggaan nasional juga menarik dicermati. Adalah hal yang lumrah di seluruh belahan dunia sepak bola menjadi medium populer yang mampu mengusung aspirasi nasional setiap negara. Dalam konteks tersebut, sepak bola dan olah raga populer lainnya merupakan medium pengganti dari peperangan fisik/militer. Rowe (2004: 22) menjabarkan:

Di negara-negara yang dibedakan oleh kelas, gender, etnik, agama, daerah, dan piranti lain indentifikasi, hanya terdapat sedikit kesempatan bagi warga negara sebuah bangsa untuk mengembangkan pemaknaan yang kuat terhadap “kesadaran kolektif”, untuk menjadi satu bangsa. 

Satu perkecualian adalah perang, di mana olah raga seringkali diklaim sebagai pengganti-nya, sehingga pada abad ke-20, pertarungan kompetitif yang mengedepankan fisik rakyat dalam bentuk-bentuk teratur yang kita sebut “olah raga” menjadi representasi simbolik bentuk kompetisi antarnegara yang bersifat nir-kekerasan dan non-militer.

Kemenangan dalam setiap pertandingan adalah kemenangan kolektif-nasional, layaknya sebuah peperangan, sehingga puluhan ribu suporter rela membeli tiket dan berteriak memberikan dukungan kepada para pemain. Sepak bola sebagai olah raga paling populer di muka bumi, kenyataannya, memang mampu menjadi representasi simbolik dari peperangan antarnegara. 

Dalam konteks negara pascakolonial, ketika peperangan yang pada masa revolusi kemerdekaan menjadi benih penyemai kesadaran nasional bukan lagi menjadi praktik yang populer, sepak bola menjadi simbol peperangan yang mengusung bukan hanya capaian prestasi, tetapi juga misi nasional untuk menyemai kesadaran kolektif rakyat terhadap panji-panji negara. 

Dengan demikian, sepak bola bukan lagi sekedar olah raga, tetapi budaya yang bisa menyemaikan identitas, kebanggaan, dan kecintaan terhadap negara. Melalui sepak bola-lah masyararakat menemukan penyaluran aspirasi untuk merasa menjadi bagian dari proyek diskursif nasionalisme. Dengan memadukan metafor anak dan olah raga, film ini dalam kompleksitas penandaan menegosiasikan idealisasi nasionalisme berbasis budaya dan olah raga populer, sepak bola.

Prestasi olah raga sepertihalnya prestasi akademik maupun seni menjadi ujung tombak baru yang digunakan negara-negara di dunia untuk memupuk nasionalisme. Karena di tengah-tengah hukum pasar yang berlaku hanyalah prestasi-prestasi besar yang membuat sebuah negara dan bangsa, khususnya yang kurang memiliki modal finansial, bisa menorehkan nama dalam percaturan global. 

Maka, menjadi wajar ketika banyak negara, termasuk Indonesia, memberikan perhatian pada pemupukan bakat-bakat olah raga, akademis, dan seni sejak usia anak-anak. Dalam pandangan negara, anak-anak merupakan bentuk investasi melalui jalur pendidikan (olah raga, akademis, dan seni) karena dari mereka akan lahir calon-calon pemimpin nasional maupun daerah serta akan lahir prestasi-prestasi yang bisa mengharumkan nama bangsa. 

Bangsa merupakan sebuah komunitas yang bisa terus dipupuk eksistensinya melalui kebanggaan-kebanggaan komunal yang diperkuat melalui capaian-capaian prestasi, baik di lingkup internasional, nasional, maupun regional. Artinya, negara sangat sadar akan keutamaan prestasi yang hanya bisa dibangun melalui pendidikan yang mengembangkan skill dan pengetahuan anak-anak sebagai pewaris negara dan bangsa ini. 

Meskipun skill dan pengetahuan menjadi tumpuhan penting prestasi individual, dalam idealisasi negara semua itu tetap harus diarahkan kepada penyemaian rasa cinta tanah air sebagai perwujudan nasionalisme. Dengan kata lain, dalam aspirasi individual disematkan tanggung jawab untuk membawa aspirasi kebangsaan—nasionalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun