Selain itu, sepak bola identik dengan cedera yang menjadikan seorang pemain kurang berharga lagi. Pada akhirnya, Kakek-lah yang lebih bisa mengarahkan atau, lebih tepatnya mendikte, kehidupan Bayu karena setelah Ayahnya meninggal, ia tinggal serumah dengan Kakek dan Ibu. Sampai-sampai, ia akan menganggap Bayu bukan lagi sebagai cucunya kalau berani “membicarakan bola”.
Pola pikir yang direpresentasikan melalui subjek Kakek tentu bukanlah pandangan tradisional, meskipun dalam kategori umur ia termasuk generasi tua. Nasehatnya agar Bayu “menjadi orang sukses”merupakan penanda bahwa ia berpikiran modern di mana segala kesuksesan diukur dengan capaian-capaian finansial dan kesejahteraan hidup.
Dengan pandangan tersebut, Bayu adalah sebuah investasi bagi keluarga yang harus diperjuangkan, sehingga apa-apa yang harus dijalaninya harus “diarahkan” dan “dikendalikan” sesuai dengan formasi pengetahuan umum tentang aktivitas-aktivitas yang menjanjikan kemakmuran seperti mengikuti kursus-kursus tambahan.
Maka, ketika Ibunya mendoakan agar Bayu bisa menjadi anak pintar yang bisa membuatnya bangga ketika ia ulang tahun, Kakek menimpalinya, “Jadi anak yang sukses, itu yang paling penting. Hanya aku yang tahu apa yang paling bener buat kamu itu”.
Kesuksesan yang mengandung makna “kemakmuran”, “kekayaan”, dan “kesejahteraan” adalah konsep ideal yang bisa dan harus diraih seorang anak ketika orientasi material menjadi sangat dominan dalam masyarakat. Kakek, sebagai representasi dari kemapanan pandangan tentang kesuksesan, menyadari betapa hanya dengan pendidikan dan latihan-latihan yang terarah seorang anak bisa meraih sukses di masa depan.
Cara pandang tersebut merupakan wujud dari pikiran modern generasi tua yang memosisikan pendidikan sebagai satu-satunya cara untuk menuju kesuksesan. Dengan kata lain, Kakek bukan lagi sebagai subjek tradisionalisme sepenuhnya yang semata-mata membayangkan keharmonisan keluarga, karena ia juga sangat sadar akan capaian-capaian sukses bagi generasi muda.
‘Percumbuan’ antara hasrat tradisional, yakni mengekang cucu dalam integrasi keluarga, dengan hasrat modern yang hadir melalui subjek Kakek tetaplah digerakkan oleh prinsip kemajuan dalam menapaki hidup.
Dengan meng-kursus-kan Bayu di sanggar lukis, misalnya, ia memosisikan diri, mengikuti pemikiran Bordieu (1984), sebagai bagian dari kelas atas yang memiliki selera terhadap seni yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit, meskipun, kenyataannya, ia hanyalah pensiunan yang hidup di tengah-tengah perkampungan kumuh Jakarta.
Namun, sekali lagi, prinsip investasi mendasari pilihan-pilihan tersebut. Dia berharap kelak Bayu bisa menjadi pelukis hebat yang tentu saja karya-karyanya berharga mahal, sehingga bisa menjamin masa depannya. Untuk kepentingan mendapatkan sanggar lukis yang bagus, ia rela mengambil uang tabungan pensiunannya.
Ketika ditanya oleh kasir bank apa uang itu ia gunakan untuk usaha, dengan tegas ia menjawab, “untuk usaha masa depan”. Kakek rupanya sangat menyadari potensi kemakmuran ekonomi yang bisa diraih seorang pelukis.
Memang, kehadiran Kakek sebagai representasi pemimpin dalam keluarga yang mengekang, sekilas menghadirkan-kembali kekuasaan tradisional di tengah-tengah kuatnya hasrat individual Bayu yang ingin sukses sebagai pesepakbola. Orientasi kesuksesan yang dibebankan Kakek kepada diri Bayu menunjukkan bahwa di balik kekuasaan tradisional juga berlangsung sebuah orientasi modern terkait kemakmuran material.