Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sepak Bola, Pascakolonialitas, dan Nasionalisme dalam "Garuda di Dadaku"

18 Januari 2022   15:58 Diperbarui: 10 Februari 2022   18:21 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih jauh, pemahaman di atas menegaskan bahwa nasionalisme di zaman pasar tidak lagi diukur dengan kehadiran keluarga, sebagai representasi kehadiran negara, tetapi melalui kemampuan negara untuk menjamin kesejahteraan warga negara. Dan, ketika mereka tidak bisa mewujudkan itu, maka kecintaan terhadap bangsa dan negara mencair dalam pemaknaan dan perjuangan individual untuk berkompetisi dalam kemajuan zaman yang kompleks di tengah-tengah institusi negara bernama Indonesia. 

Negara hanya menjadi ruang yang menghadirkan kompetisi antarindividu yang dihubungkan bukan oleh retorika kebangsaan, tetapi oleh aturan-aturan pasar yang menuntut kelenturan, termasuk dalam memahami arti sebuah keluarga. Kecintaan terhadap Indonesia adalah “kecintaan bersyarat” yang membutuhkan jaminan-jaminan terhadap terpenuhinya kesejahteraan individual. 

Ketika negara dengan kebijakan ekonomi-politiknya masih belum mampu memberikan jaminan, maka kecintaan itu ditransformasikan ke dalam usaha-usaha untuk keluar dari batasan-batasan tradisional yang harus ditinggalkan meskipun tidak sepenuhnya, ketika mereka harus menjalani perjuangan panjang yang membutuhkan skill dan pengetahuan. 

Nasionalisme akan tetap terjaga ketika negara tidak lagi hadir sebagai kekuatan mutlak dalam hal kebijakan sosial karena hal itu hanya akan menimbulkan batasan-batasan koersif bagi perjuangan individual. Toh, rezim negara sendiri yang menerapkan ekonomi-politik pasar, sehingga sudah sepatutnya pula mereka hanya menjadi “pengawas” atau “pendukung” yang baik. Capaian-capaian maksimal masing-masing warga negara akan menjadikan mereka tidak melupakan cinta terhadap negara dan bangsa ini.

Pemaknaan-ulang terhadap nasionalisme tersebut juga menunjukkan bahwa di era ekonomi-politik pasar dewasa ini, bukan hanya rezim negara yang berhak membicarakan ideologi dan gerakan nasionalisme ke tengah-tengah warga negara. Institusi olah raga/modal internasional juga bisa membicarakannya dengan memberikan skill dan pengetahuan yang berguna bagi masing-masing individu generasi muda agar mereka bisa mengharumkan nama negara. 

Bahkan, jaminan yang diberikan oleh mereka lebih menguntungkan dibandingkan retorika rezim negara yang dipenuhi oleh kepentingan politik. Dalam pemahaman demikian, nasionalisme menjadi bersifat lentur, dalam artian bahwa bukan hanya institusi atau individu dalam sebuah negara yang bisa berkontribusi untuk terus memperkuat eksistensinya. 

Institusi lintas-batas-negara yang membawa kepentingan ekonomi-politik tanpa harus menamai kepentingan tersebut juga bisa berkontribusi karena ia berjalin-kelindan dengan kepentingan kebangsaan yang lebih luas. Dengan membuka diri terhadap nilai dan praktik kultural berupa skill dan pengetahuan yang berasal dari luar, masing-masing individu dalam sebuah negara pascakolonial bisa terus menyesuaikan subjektivitas mereka untuk mendapatkan keuntungan individual yang sekaligus akan mendukung proyek kebangsaan.

SIMPULAN

Dari analisis di atas, pascakolonialitas bisa dimaknai dalam beberapa definisi. Pertama, budaya pascakolonial merupakan kompleksitas nilai dan praktik kultural yang dibangun dari prakik diskursif yang menginkorporasi dan mengartikulasikan budaya tradisional, budaya modern, hibriditas kultural, dan kelenturan subjektivitas sebagai landasan untuk menegosiasikan dan memproduksi konsep individu ideal di tengah-tengah peradaban pasar. 

Kedua, skill dan pengetahuan mempermudah subjek warga negara untuk bertindak secara tepat dan liat agar mampu berkompetisi di tengah-tengah mekanisme pasar bebas sehingga mereka bisa mewujudkan kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Dampaknya, persoalan kultural maupun kebangsaan bergerak semakin lentur di mana memungkinkan individu untuk keluar atau memaknai-ulang wacana dan pengetahuan yang digerakkan oleh rezim negara maupun otoritas tradisional yang sangat membatasi. 

Keempat, nasionalisme di era globalisasi dan pasar bebas bukan semata-mata menjadi kuasa Negara, khususnya terkait kampanye dan mobilisasinya di tengah-tengah masyarakat. Institusi pemodal internasional juga bisa terlibat dalam kampanye proyek kebangsaan melalui aktivitas olahraga populer seperti sepakbola yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan ekonomis dan ideologis. Dengan kata lain, nasionalisme di tengah zaman pasar merupakan konsep dan praktik yang semakin cair. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun