Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sepak Bola, Pascakolonialitas, dan Nasionalisme dalam "Garuda di Dadaku"

18 Januari 2022   15:58 Diperbarui: 10 Februari 2022   18:21 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ambivalensi, keberantaraan, dan hibriditas kultural tentu tidak berada dalam ruang kosong. Konsep-konsep ideal yang dianggit oleh para pemikir pascakolonial harus dibaca secara kritis sesuai dengan kondisi kontekstual dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam konteks industri perfilman, para sineas bisa melakukan inkorporasi dan komodifikasi terhadap pascakolonialitas kultural untuk memproduksi narasi yang mewacanakan pengetahuan partikular. 

Untuk membincang persoalan tersebut, beberapa pertanyaan bisa diajukan. Bagaimanakah pascakolonialitas kultural yang diidealisasi dalam narasi film Indonesia era 2000-an? Benarkah film menegosiasikan budaya tradisional dalam bingkai politik hibriditas yang berdaya-guna, sedangkan industri perfilman merupakan bagian dari kapitalisme industri budaya yang mempunyai kepentingan ekonomi-politik partikular?

GDD memang hanya sebuah film yang menarasikan perjuangan seorang anak bernama Bayu untuk menjadi anggota skuad Tim Nasional Sepakbola U-13 (selanjutnya disingkat Timnas U-13). Namun, struktur dunia naratif dan praktik diskursifnya, menurut saya, bisa dijadikan bahan untuk mendiskusikan kedua pertanyaan tersebut. 

Meskipun pada awalnya harus menghadapi penolakan dari pihak keluarga, dengan segala kegigihan dan kehadiran subjek-subjek perantara, Bayu akhirnya bisa masuk ke dalam Timnas U-13, sekaligus membawa nama harum Indonesia. Film-film lain yang mengusung persoalan serupa adalah King (Ari Sihasale, 2009) dan Tendangan dari Langit (Hanung Brahmantyo, 2011). 

Dalam aspek ketradisionalan, kehadiran institusi keluarga—Kakek dan Ibu—di tengah-tengah gerak dinamis kehidupan Jakarta menarik untuk ditelaah lebih jauh lagi, khususnya terkait tegangan antara kehendak Kakek dan impian individual Bayu.

GDD dibuka dengan adegan tokoh utama, Bayu, sedang bermain bola bersama ayahnya di pinggir sebuah danau. Tiba-tiba, Kakek datang dan menghentikan kegembiraan mereka dengan menendang bola ke tengah danau. Ayah dan Kakek saling beradu argumen tentang sepak bola dan kehidupan Bayu dalam dialog berikut. 

Kakek : Kamu ingin menularkan penyakit ke anakmu..

Ayah : Pak, Bayu punya keinginan, biarin aja!

Kakek: Iya, keinginan itu penyakit kamu!

Anggapan sepak bola sebagai “penyakit” yang hendak “ditularkan” Ayah kepada Bayu merupakan argumen pembenar dari tindakan-tindakan Kakek dalam babak-babak berikutnya di mana ia tetap tidak mengizinkan cucunya bermain bola serta lebih memilih mengantarkannya ke tempat kursus lukis, matematika, bahasa Inggris, dan musik. Sebagai penyakit, sepak bola adalah aktivitias yang sangat merugikan dan tidak menjanjikan bagi masa depan Bayu. 

Sementara, bagi Ayah, Bayu harus diberikan kebebasan untuk menuruti keinginannya bermain bola. Ucapan tersebut menunjukkan pola pikir pembebasan di mana ia memosisikan sepak bola sebagai “keinginan” yang tidak harus diarahkan. Percakapan tersebut menghadirkan perbedaan pola pikir tradisional Kakek yang mengekang keinginan cucunya dan pola pikir modern Bapak yang memberikan kebebasan kepada anaknya.

Mengapa kesuksesan bintang-bintang bola dunia seperti Maradona, Pele, Ronaldo, Messi, Kaka, dan lain-lain tidak menyilaukan mata Kakek, sehingga ia tetap ngotot menganggapnya sebagai penyakit? Rupa-rupanya, ia berkaca kepada kehidupan (almarhum) Ayah Bayu, seorang pemain bola yang kehidupannya menderita. Dalam Babak  10, sepulang dari kursus musik Bayu menonton sebuah pertandingan bola di televisi. Mengetahui hal itu Kakek memarahinya dan mengatakan:

"Kamu itu kok susah sekali menuruti kata-kata Kakek. [Kakek keluar dari Kamar, Bayu menundukkan muka] Ndak ada lagi tu urusan sepak bola di sini. [Bayu tetap menunduk, Kakek mendekatinya di meja makan] Mau jadi apa kamu? Mau jadi pemain bola kayak Bapakmu itu? [Menunjuk foto Bapak] Apa jadinya? Bapakmu melarat. 

[Bayu tetap diam] Ibumu susah. Matinya cuma jadi sopir taksi.  Sekali lagi kamu bicara sepak bola, kamu bukan cucu Kakek lagi. Pemain bola itu tidak bermutu, tidak elit. Kerja kok nendangin bola. Ya, sekarang dibayar mahal, tapi kalau cedera bagaimana, hah?! [Kakek menuju pintu kamar] Apalagi sepak bola di Indonesia, jadi penonton saja bisa mati. Kejam!”  

Sebagai subjek ordinat sekaligus tokoh yang menyaksikan kemelaratan yang dialami Ayah Bayu ketika masih menjadi pesepakbola, menjadi wajar kalau Kakek melarang cucunya bermain bola. Bentuk otoritasnya ditampilkan dengan adegan yang menunjukkan Bayu tidak berdaya untuk menyangkal setiap ucapannya yang bernada perintah dan ancaman dengan rasionalisasi contoh kehidupan Ayahnya. 

Dalam pemahamannya, sepak bola identik dengan kegiatan yang “tidak bermutu” dan “tidak elit”. Lebih parah lagi, sepak bola identik dengan tragedi: hanya menyebabkan kemelaratan dan menjadikan Ibu Bayu susah. Bahkan, Ayah Bayu meninggal dengan status sebagai sopir taksi; sebuah pekerjaan yang sangat tidak sukses dalam pandangan Kakek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun