Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sepak Bola, Pascakolonialitas, dan Nasionalisme dalam "Garuda di Dadaku"

18 Januari 2022   15:58 Diperbarui: 10 Februari 2022   18:21 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berubahnya pandangan generasi tua dalam memosisikan dan mendukung kesuksesan generasi muda merupakan bentuk negosiasi kultural yang berlangsung dalam struktur narasi film ini. Peristiwa-peristiwa naratif tentang kuasa konservatif generasi tua sejak awal sudah ditunda dan dihancurkan melalui peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keliaran hasrat anak. 

Keliaran tersebut hadir sebagai sebuah kewajaran karena anak memiliki pandangan yang berbeda dalam memaknai perjuangan untuk memperoleh kesuksesan. Kuasa keluarga dan generasi tua yang coba dianggit-kembali dalam film ini, nyatanya, dimaknai-kembali dengan perubahan perspektif, mendukung perjuangan subjek anak untuk mewujudkan cita-citanya. 

Individualisme generasi muda, dengan demikian, menjadi makna ideologis yang bergerak dalam hasrat dan perjuangan yang membutuhkan kebebasan, tanpa kekangan berlebih dari generasi tua, dan skill tertentu karena dengan itu semua individu bisa berkompetisi secara meyakinkan untuk meraih prestasi yang, tentu saja, akan turut membanggakan institusi komunal, keluarga.

Peradaban pasar bukan hanya membutuhkan pendidikan formal, tetapi juga skill yang menjadikan seorang individu bisa diterima dalam kompetisi dan mekanisme profesional. Proses transformasi individualisme menjadi aspirasi komunal dalam narasi film ini merupakan pengetahuan yang dinegosiasikan kepada anak-anak, generasi muda, generasi tua, maupun rezim negara yang sudah semestinya mau mengubah cara pandang terhadap capaian-capaian ideal individu dan komunal di tengah-tengah kompetisi pasar. 

Anak-anak dan generasi muda sebagai penerus keluarga dan negara sudah semestinya mendapatkan keleluasaan untuk menikmati dunia, merayakan hasrat individual, dan memperjuangkan impian, tanpa harus dibatasi oleh aturan yang sebenarnya hanya merepresentasikan idealisme generasi tua atau rezim negara untuk mengamankan investasi masa depan mereka. 

Menurut saya, apa yang menarik untuk dicatat dalam pembacaan singkat di atas adalah proses perubahan dari oposisi biner “yang tradisional” dan “yang modern” menuju ‘peleburan’ yang menghasilkan subjektivitas lentur, meminjam istilah Saukko (2003). Budaya tradisional pada awalnya direpresentasikan sebagai kekolotan, meskipun menyimpan pula hasrat kesuksesan yang menjadi bagian dari modernitas. 

Sementara, budaya modern direpresentasikan melalui hasrat dan impian individual yang menuntut skill di tengah-tengah kompetisi pasar saat ini, termasuk di dalamnya olah raga. Ketika yang tradisional bisa menerima dan mengakomodasi yang modern sebagai rute untuk menuju kesuksesan hidup, saat itulah berlangsung subjektivitas lentur yang direpresentasikan melalui tokoh Kakek. Dengan kelenturan itulah, subjek individual akan menghormati subjek komunal seperti keluarga. 

Adapun bagi subjek individual-hibrid seperti Bayu harus mau melenturkan pola pikir terhadap kehadiran institusi modal internasional, SSI Arsenal, agar ia bisa mewujudkan cita-citanya sekaligus memenuhi aspirasi komunal dan nasional dalam wujud prestasi sebagai pesepakbola.

Berdasarkan pembacaan di atas, pascakolonialitas kultural yang diinkorporasi dan dikomodifikasi dalam GDD lebih menekankan kepada kelenturan subjektivitas dan individualisme. Kelenturan subjektivitas diidealisasi membawa kesuksesan berupa prestasi karena individu bisa memasukit aturan kompetisi yang berlaku secara global dengan bekal pengetahuan dan skill, meskipun hal itu juga berarti ia harus menyiasati atau, lebih tepatnya, memosisikan subjek tradisional sebagai kekuatan yang tidak harus diindahkan. 

Normalisasi pilihan dan kelenturan individual tersebut dihadirkan dengan kesuksesan yang membuat subjek tradisional merasa bangga. Semua pilihan, perjuangan, dan kelenturan subjek tetap akan memberikan kontribusi bagi kehidupan komunal, asalkan subjek tradisional yang eksis mau memberikan dukungan terhadap proses individual tersebut, sebagaimana yang berlangsung dalam GDD.

MEMBACA-ULANG NASIONALISME (VIA SEPAKBOLA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun