"Kalau perempuan mau diposisikan seperti itu, ya, terserah mereka. Kalau aku ndak mau seperti itu, Mbak. Lelaki yang menjadi pendamping hidupku kelak haruslah lelaki yang mau mengerti juga keinginanku, sama dengan aku yang mau mengerti keinginan mereka. Paling tidak, itulah pelajaran yang bisa aku petik dari Bapak dan Ibu di rumah, Mbak." Nandi memperhatikan muka murung Dewi.
"Aku punya seorang adik perempuan yang sangat aku sayangi. Sejak kecil aku berusaha menjaganya, memberinya kenyamanan, dan mengarahkannya untuk menjadi perempuan seperti yang kamu ceritakan. Aku senang sekali, karena sampai semester 3 ketika ia kuliah di UI, adikku menampakkan karakter perempuan seperti yang aku harapkan. Semua berubah, ketika pada semester 4, ia berkenalan dengan seorang aktivis kampus. Sebenarnya lelaki itu baik, care, mengajaknya berpikir kritis sebagai mahasiswa. Tapi, semua itu ternyata ada maunya. Ketika adikku semakin yakin bahwa lelaki itu adalah tipe ideal yang ia harapkan, sebuah tragedi menimpanya. Mereka bercumbu sampai melakukan persetubuhan. Adikku hamil dan lelaki itu pergi entah ke mana.Â
Dewi berusaha menahan tangis.
"Sejak kehamilannya, ia menjadi perempuan yang murung, mengurung diri di kamar. Bahkan, aku tidak ia terima untuk masuk kamarnya. Pada sebuah pagi, selepas Subuh, ketika usia kehamilannya masuk usia 3 bulan, Mama berteriak histeris. Adikku meninggal karena kehabisan darah. Urat nadinya ia silet. Mama, Papa, dan aku begitu berduka atas kepergiannya, apalagi ia mengandung calon manusia yang sebenarnya berhak hidup di muka bumi. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak menerima lelaki dalam kehidupanku, meskipun Mama dan Papa selalu memintaku untuk mengubah prinsip itu. Hatiku sudah terlanjur luka, Nan. Kegiatan di LSM ini lah yang bisa membuatku kuat." Dewi meneteskan air mata. Nandi mengusapnya dengan tisu.
"Aku ikut berduka atas apa yang menimpa adikmu, Mbak. Seandainya aku bertemu dengan lelaki itu, mungkin aku akan membunuhnya."
"Sudahlah, Nan. Tidak perlu kita berpikir sejauh itu. Semoga saja, kamu benar-benar bisa menemukan lelaki seperti itu dalam kehidupanmu kelak. Satu yang belum aku ceritakan, ketika pertama kali melihat wajahmu, aku seperti menemukan-kembali adikku. Maukah kau menjadi adikku, Nan?" Spontan, Nandi mengangguk, lalu memeluk Dewi. Beberapa menit mereka masih berpelukan, sampai-sampai penjual ronde terheran-heran melihat adegan itu.
Dengan alasan agar bisa lebih muda berkomunikasi sebagai kakak-adik dan memudahkan mereka berdiskusi tentang kerja-kerja lapangan, Dewi memaksa Nandi untuk mau dibelikan HP. Karena alasan yang dikemukakan Dewi bisa ia terima, akhirnya Nandi mau menerimanya. Sekali lagi, ia mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan Dewi.
"Kapan-kapan kalau aku ke Banyuwangi, kenalkan aku dengan Ivan, ya. Aku penasaran sama lelaki sahabatmu itu," tutur Dewi ketika mereka menuju mobil.
"Tenang, Mbak. Pasti aku kenalkan. Tapi, kalau bertemu dia, jangan-jangan semua penilaianmu tentang lelaki akan berubah, jangan-jangan kamu jatuh cinta sama dia. Wah, bahaya nih," goda Nandi.
"Halah, tenang aja. Aku kurang berselera dengan lelaki kok. He...he. Aku lebih berhasrat sama kamu, tetapi karena kamu sekarang adikku, hasrat itu aku ubah jadi kasih sayang saja. He..he..he." Nandi hanya terbengong mendengar perkataan itu. Tapi, mungkin itu sudah menjadi pilihan orientasi seksual Dwi. Tidak perlu dipersoalkan.
Sampai di hotel, Nandi tidak kuasa menolak ketika Dewi menyatakan keinginannya untuk tidur di kamarnya. Ia membuang semua bayangan-bayangannya tentang lesbian. Ia memang tidak menolak praktik itu, meskipun secara agama dilarang. Baginya, pilihan seksual seorang manusia dipengaruhi banyak faktor. Dan, Dewi sangat sadar memilihnya. Meskipun demikian, Nandi juga berhak untuk tidak menerima praktik lesbian dalam kehidupannya. Menghormati bukan berarti ikut menjalani. Maka, ketika Dewi memeluknya saat tidur, ia tidak merasakan apa-apa, selain kerinduan seorang kakak terhadap adik yang sudah sangat lama ia rindukan.