Nandi dan Mbah Karso hanya bisa mengela nafas mendengar ancaman itu. Ia memang ingin membongkar kuburan itu, tetapi kalau harus menimbulkan konflik di antara warga, pasti bukan itu yang ia harapkan. Karena merasa menemui jalan buntu, Nandi memberi isyarat ke Mbah Karso untuk pulang. Ketika menyalami mereka berdua, Haji Dzofir masih menunjukkan raut muka kurang bersahabat.
Nandi membonceng Mbah Karso dan mengantarkan  ke gubuknya. Dalam perjalanan pulang dari gubuk, Nandi masih memikirkan ancaman Haji Dzofir. Bagaimana kalau ia benar-benar melakukannya? Wah, bisa rusak semua rencana yang telah ia susun.
Dalam kebingungannya, sesampai di rumah, ia segera menelpon Dewi untuk meminta masukan. Ia menceritakan apa yang telah terjadi. Dewi juga agak kaget mendengar ancaman itu. Lalu, ia menyarankan Nandi untuk menemui tokoh yang lain, yang relatif lebih bisa diajak ngobrol dengan tenang, tetapi tokoh itu harus bisa mempengaruhi Haji Dzofir. Nandi bisa menerima usul itu dan akan berusaha mencari tokoh itu di desanya. Dewi juga mengatakan kalau sudah ada perkembangan yang lebih baik di desa, ia dan tim akan ke Banyuwangi.
"Dik, aku tahu kamu tidak akan menyerah."
"Iya, Mbak. Tidak mungkin aku mundur dari kasus ini."
 Begitulah, bagi Nandi tidak ada kata mundur dan menyerah. Prinsip itulah yang ia pegang sejak kecil. Pernah sewaktu kelas 3 SD ia menginginkan boneka barbie, tetapi ibunya tidak mau membelikannya. Sedikit demi sedikit ia menabung uang saku dan uang pemberian pakdhe dan paklek-nya, hingga pada suatu saat ketika ibunya mengajaknya ke Pasar Jajag, ketika ibunya sedang belanja perlengkapan rumah tangga, tiba-tiba ia pergi membeli boneka barbie di tokoh sebelahnya. Kontan ibunya bingung dan menangis. Dalam kepanikan, Nandi kecil muncul sambil memeluk boneka barbie.
Pernah juga sewaktu SMP, ia mengikuti kompetisi internal untuk pemilihan siswa yang akan mewakili sekolah ke cerdas cermat ilmu sosial di Banyuwangi. Semua pesertanya siswa laki-laki, kecuali dirinya. Selama satu minggu ia melahap buku-buku pelajaran dan keluar sebagai pemenang pertama yang sekaligus ditunjuk sebagai juru bicara regu. Di Banyuwangi, ia dan kedua temannya menyabet juara pertama.
Keesokan harinya, dia segera berdiskusi dengan Bapak dan Mbah Karso tentang tokoh yang kira-kira bisa meluluhkan hati Haji Dzofir. Setelah hampir satu jam berdiskusi, akhirnya mereka menemukan figur tokoh itu, Haji Darobi, tokoh yang lebih tua. Dia adalah tokoh agama di desa sebelah, guru Haji Dzofir ketika menimba ilmu agama, termasuk ketika ia menyiapkan untuk berhaji. Menurut Bapak, Haji Darobi lebih moderat dalam cara berpikir, mungkin ia bisa diajak ngobrol dan dimintai bantuan untuk menyelesaikan persoalan ini. Mereka juga menyiapkan omongan seperti yang akan disampaikan kepadanya.
Sore hari, Nandi dan Bapak segera meluncur ke rumah Haji Darobi yang hanya membutuhkan waktu tempuh dua puluh menit. Bapak kenal baik dengannya karena tiga anaknya adalah siswa di SMA tempat ia menjadi kepala sekolah. Haji Darobi menyambut hangat kedatangan mereka berdua. Bapak mengenalkan Nandi. Setelah saling bertanya kabar, Bapak memulai pembicaraan.
"Begini, Ji, maksud kedatangan kami kemari ada kaitannya dengan peristiwa yang kurang mengenakkan di masa lalu, tentang kuburan PKI di hutan larangan." Mendengar omongan itu, Haji Darobi diam sejenak, matanya menerawang berkaca-kaca, seperti mengingat sebuah peristiwa yang menyedihkan. Sejenak kemudian dia menghela nafas panjang.
"Kalau boleh saya tahu, akan diapakan kuburan di hutan itu, Pak Guru? Bukankah tidak ada orang yang ingin mengungkit-ungkit kuburan itu lagi?" tanya Haji Darobi. Bu Darobi datang menyuguhkan teh dan mempersilahkan mereka berdua meminumnya. Setelah meminumnya, Nandi ganti berbicara.