Dengan percaya diri, Nandi menjelaskan kronologi penemuan kuburan hutan larangan itu dan usaha-usaha yang sudah ia lakukan serta hambatan-hambatan yang menghadang. Semua peserta mendengarkan dengan seksama. Devgan semakin terpesona oleh kecerdasan dan kecantikan Nandi yang semakin tampak dewasa ketika mempresentasikan makalahnya. Para peserta semakin serius memperhatikan Nandi, ketika ia menampilkan foto kuburan-kuburan di hutan larangan. Mereka menangkap kesan angker yang menakutkan.
"Kuburan-kuburan yang diduga berisi 50 anggota PKI di hutan larangan itu, paling tidak, menunjukkan kepada kita semua, kepada bangsa ini, bahwa bangsa ini masih menyimpan sebuah tragedi yang dibungkam atas nama ketertiban dan keamanan, atas nama pembangunan. Di rumah, keluarga para korban sudah kehabisan air mata, karena tak juga menemukan maesan orang-orang yang mereka cintai dan tunggu selama ini. Semoga pertemuan kita ini bukan hanya menambah daftar panjang ketidakberdayaan kita menghadapi rezim yang sampai saat ini masih memusuhi PKI, meskipun mereka sudah dikubur di hutan larangan, di desa saya.Â
Sejenak ia diam, mengambil nafas.
"Pada kesempatan ini, meskipun mereka berada di tempat yang jauhnya 12 hingga 14 jam perjalanan dari hotel mewah ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mbah Karso yang telah mengantarkan cerita tentang hutan larangan sejak saya masih kecil dan yang telah melakukan slametan kecil untuk sedikit menenangkan arwah mereka, kepada Bapak yang mau mengerti hasrat saya untuk membuka misteri hutan larangan, kepada seorang pensiunan tentara yang menyerahkan 50 daftar anggota PKI yang dikubur, kepada para keluarga mereka yang dikubur, dan kepada seorang sabahat, Ivan, yang telah memberikan dorongan dan membantu saya dengan pergi ke hutan larangan bersama Mbah Karso di tengah dinginnya malam yang mencekam serta memotret kuburan-kuburan itu untuk kita yang hadir di sini. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan berdiri di depan Anda semua. Terima kasih."Â
Nandi menutup presentasinya dengan beberapa tetes air mata di tengah-tengah tepuk tangan para peserta. Dewi tampak larut dalam semua pernyataan Nandi, sampai-sampai ia ikut meneteskan air mata. Berbeda dengan Devgan yang segera menyadari bahwa Ivan adalah sahabat istimewa yang disebutnya ketika di bus. Setelah bertepuk tangan, ia sibuk memainkan bulpen sembari mencari cara bagaimana agar ia bisa lebih dekat lagi dengan Nandi.
Setelah dua peserta sesudah Nandi, dari Medan dan Lombok, mempresentasikan makalah, mereka bertiga harus menjawab secara bergantian pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh peserta lain dan staf LSM. Â
"Menurut evaluasi Nandi, kira-kira cara terbaik seperti apa yang bisa ditempuh untuk bisa membongkar kuburan massal itu?" tanya salah satu staf laki-laki.
"Saya sebenarnya meyakini bahwa semua persoalan bisa diselesaikan dengan dialog. Tapi, melihat kecenderungan trauma masyarakat terhadap peristiwa 65 dan dendam keluarga para laskar yang ikut membantai, serta kekerasan hati tentara, saya semakin pesimis cara dialog bisa berjalan dengan baik. Tapi, saya memang belum mencobanya."
"Mungkin Nandi perlu mencobanya. Nanti, kalau memang menemui jalan buntu, silahkan membuat laporan kepada kami. Setelah itu kami akan pikirkan cara agar kuburan itu segera bisa dibongkar," tutur si staf.
"Baiklah, akan saya usahakan, Pak." Jawab Nandi singkat setelah selesai mencatat.
"Mungkin Nandi bisa meminta bantuan Ivan untuk melakukan dialog," celetuk Devgan yang sebenarnya dimaksudkan memancing Nandi. Beberapa peserta tersenyum geli mendengarnya.