Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berpisah di Sebuah Padang

2 November 2021   20:03 Diperbarui: 2 November 2021   20:18 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maaf, ya."

"Ndak, pa-pa, namanya juga tertidur. Yuk, kita dapat servis makan."

Tiga puluh menit kemudian bus berangkat dari rumah makan. Di perjalanan melintasi hutan jati di sebelah barat Ngawi, mereka asyik ngobrol ngalor-ngidul tentang dinamika aktivis mahasiswa selepas Reformasi 1998. Devgan menginisiasi pembicaraan terkait aktivis mahasiswa yang seperti kehilangan "musuh bersama", setelah lengsernya rezim Soeharto. Menurutnya, mahasiswa sekarang kesulitan mencari isu besar, paling-paling yang digembar-gemborkan urusan buruh, kenaikan BBM, korupsi, itu-itu saja. Tidak seperti zaman Soeharto, utamanya mendekati 98. Mereka bersatu, untuk menyerang musuh bersama yang semakin rentah itu.

"Sebenarnya masih banyak isu yang bisa dimainkan, Mas. Ingat, rezim boleh berganti, peraturan boleh di-reformasi, tetapi mental para birokrat negeri ini tetap mewarisi virus akut Orde Baru. Dugaanku, militer pasti akan kembali berkuasa, meskipun sekarang para politisi sipil banyak bersuara."

"Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Nan?"

"Militer itu sudah terlanjur meyakini dalam darah dan daging mereka, bahwa merekalah yang membuat Republik ini masih berdiri, dalam format sucinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makanya, mereka tidak akan rela kalau format itu diacak-acak oleh kekuatan sipil. Memang, mereka tidak akan melakukan kudeta, karena itu bisa menjadi blunder, tapi mereka bisa saja masuk ke dalam partai atau mendirikan partai baru sebagai basis gerakan politik untuk mempertahankan dominasi."

"Tapi, bukankah elit-elit sipil kita saat ini cukup kuat, ada Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan banyak aktivis-aktivis LSM yang kredibel."

"Mas, mereka boleh saja kita posisikan sebagai pemimpin gerakan sipil, tetapi ingat, mereka itu mewakili ideologi yang berbeda-beda. Sejarah bangsa ini mencatat, itulah awal kekalahan mutlak kekuatan sipil. Boleh saja mereka tampak rukun, tetapi gerbong yang mereka bawa menghendaki perbedaan, bukan konsolidasi terus-menerus. Si nasionalis, si Islam modernis, si Islam tradisional, sulit untuk bersatu dalam bingkai sipil. Dalam kondisi itu, militerlah yang akan diuntungkan, karena kekuatan sipil tidak bisa melakukan konsolidasi."

Kini, ganti Devgan yang kagum pada kecerdasan analitik Nandi. Dia tidak menyangka kalau perempuan yang baru saja menggondol gelar Sarjana Sastra untuk bidang Ilmu Sejarah dan belum diwisuda itu memiliki nalar kritis selevel dosen yang sudah bergelar master seperti dirinya, atau bahkan selevel dengan mereka yang bergelar doktor. Semua yang diomongkan perempuan yang mengenakan sweater biru donker, celana jeans biru, dan memasang syal di lehernya itu menyiratkan sebuah ketegasan prinsip akademis.

"Kok kamu bisa sepandai dan sekritis itu, Nan?"

"Kok kamu bertanya seperti itu, Mas? Kayak perempuan ndak bisa berpikir kritis saja," balas Nandi dengan mata sedikit terbuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun