Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berpisah di Sebuah Padang

2 November 2021   20:03 Diperbarui: 2 November 2021   20:18 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebelumnya saya mohon maaf, Pak Haji. Ini semua berawal dari mimpi saya. Lalu, saya mendapatkan penjelasan dari Mbah Karso dan Bapak tentang kuburan itu. Saya pikir, tidak ada salahnya, kalau mereka mendapatkan pemakaman yang lebih layak, bukankah agama kita juga memerintahkannya. Saya tahu, dalam hati yang paling dalam, Njenengan juga tidak suka membiarkan mereka dikubur di hutan itu. Bagaimana keluarga mereka bisa berziarah, kalau mereka tidak pernah tahu di mana kuburan para anggota keluarga mereka? Kami sudah mendatangi Haji Dzofir, dan beliau bersikeras menolak rencana pembongkaran itu, Pak Haji. Kalau boleh, kami meminta pertolongan Njenengan untuk membujuk Haji Dzofir."

"Hemmm, jujur, saya sendiri sejak penguburan mereka di hutan larangan, merasakan sebuah dosa besar yang terus membayangi hari-hari saya. Sebagai orang beragama, itu semua salah. Tapi, bagaimana lagi? Keadaan masa itu memang serba kacau, kami tidak tahu lagi siapa kawan, siapa lawan. Kami mudah sekali diprovokasi, bahasa orang sekarang. Yang membuat saya takut sampai sekarang, tentara tentu tidak akan suka dengan rencana itu, Nduk." Haji Darobi kembali menghela nafas panjang.

"Sekali lagi mohon maaf, Pak Haji, zaman sudah berubah. Memang, tentara tidak akan suka, tetapi pembongkaran itu bisa dilakukan dengan izin polisi, asalkan warga desa kompak mendukung. Salah satu kuncinya adalah Haji Dzofir. Kalau beliau setuju, saya yakin warga lainnya akan mendukung," ujar Nandi.

"Ya sudah, biar besok saya coba ngomong dengan Dik Dzofir. Semoga dia mau mengerti."

"Maturnuwun, Ji. Semoga beliau mau mendengarkan," sahut Bapak. Tidak lama kemudian mereka berdua pamit

Ketika mereka melewati bulakan, jalan panjang di tengah lahan persawahan, sebuah mobil jeep tampak dari kejauhan melaju dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya, Bapak sudah mengambil sisi kiri pinggir jalan beraspal, tetapi mobil jeep itu tampak ingin menabrak mereka berdua. Benar saja, mobil jeep itu menyerempet sepeda motor yang mereka kendarai.

"Innalillahi...." teriak mereka berdua ketika terlempar ke arah selokan di pinggir jalan. Semua menjadi gelap bagi mereka berdua. Tubuh Bapak masuk ke dalam selokan becek, sedangkan tubuh Nandi membentur sebuah gundukan tanah di atas selokan. Beberapa petani yang pulang dari sawah berusaha mengejar mobil itu, tetapi sia-sia. Mereka segera menolong Nandi dan Bapak, berusaha menyadarkan mereka berdua. Karena tak juga sadarkan diri, mereka membawa keduanya ke puskesmas terdekat.

Salah satu petani yang mengenal Bapak segera menghubungi Ibu dan kedua adiknya. Mereka bertiga menangis mendengar berita itu. Gandi segera membonceng Ibu menuju puskesmas, sementara Kresna menjaga rumah. Sampai di sana, ternyata Bapak dan Nandi belum sadarkan diri. Ibu sangat khawatir karena dari kepala Bapak keluar darah, begitupula dari hidung Nandi. Tapi, menurut suster mereka masih hidup.

Karena fasilitas di puskesmas tidak memadai, suster merekomendasikan untuk segera membawa mereka ke Banyuwangi dengan ambulans. Tanpa pikir panjang, Ibu dan Gandi menyetujui usulan itu. Tidak lupa Gandi mengemasi tas Mbakyunya yang berisi buku catatan, daftar para anggota PKI, dan telepon genggam. Sebelum ia masuk ke ambulans, salah satu petani memberikan nomor mobil yang menabrak Bapak dan Mbakyunya.

Sebuah padang nan hijau, sebuah gubuk berdiri di tengahnya. Nandi, mengenakan gaun serba putih, berjalan sendirian menuju gubuk itu. Di sana Ivan, mengenakan pakaian serba hitam, tersenyum, mengulurkan kedua tangannya, menyambut perempuan yang sangat ia sayangi itu. Ia mencium keningnya, lalu memeluknya untuk sekian lama. Ada kerinduan mendalam di antara mereka berdua. Setelah itu, Nandi segera duduk di sebelahnya, menyandarkan tubuh di atas pundaknya, sebuah kebiasaan yang sangat ia sukai. Lama mereka diam memandangi hijaunya hamparan rumput yang diterpa angin semilir. Begitu damai.

"Perjuanganmu belumlah berakhir, Dee," tutur Ivan sambil mengelus rambutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun