Sore hari berikutnya, ketika semua peserta bersiap meninggalkan hotel, termasuk Dewi dan para staf LSM lainnya, Devgan menghampiri Nandi untuk diajak naik bus. Namun, Nandi menolak, karena ia memilih naik travel jurusan Jember dengan alasan ingin menikmati suasana berbeda. Jelas Devgan kecewa. Ketika berpamitan hendak masuk ke mobil travel yang menjemputnya, Nandi memeluk hangat Dewi yang meneteskan air mata. Beberapa staf menatap mereka dengan penuh haru.
***
Nandi sangat kecewa ketika sampai di tempat kos Ivan, ternyata lelaki itu tidak ada, kamarnya terkunci. Menurut salah satu temannya, sudah sejak kemarin sore Ivan pergi meninggalkan kos, tanpa memberitahu akan ke mana. Padahal, Nandi ingin mengajaknya makan malam sambil membahas rencana ke lapangan, ke desanya, untuk mencoba melakukan dialog dengan keluarga para laskar sipil terkait rencana pembongkaran kuburan di hutan larangan, sekaligus memberinya kaos. Ingin sekali ia memarahinya, karena dalam saat-saat seperti ini mestinya ia, sebagai sahabat, bisa memberikan masukan-masukan bernas.
"Apakah dia ke Papuma, untuk menyepi lagi? Ataukah, dia pulang ke Lamongan? Kalau iya, apakah aku harus menyusulnya ke sana? Ah, tidak, itu tidak boleh aku lakukan. Mungkin ia butuh waktu untuk menyendiri lagi." Suara-suara dalam batinnya, mengiringi kepulangannya dari tempat kos Ivan.
Siang itu juga, ia memutuskan untuk pulang sendirian ke Banyuwangi. Dalam perjalanan, ia masih tidak habis pikir, kenapa Ivan pergi tanpa memberitahunya. Bukankah dia sudah berjanji untuk membantu menyelesaikan persoalan di hutan larangan?
"Apa, jangan mentang-mentang kamu anak kuliahan, terus seenaknya saja mau membongkar kuburan PKI di hutan larangan. Kamu bisa celaka. Kasus ini bukan kasus kecil, bisa berakibat luas. Dan, ingat, negara kita masih melarang PKI, kamu bisa dianggap merongrong negara. Kamu tidak tahu bagaimana kejamnya PKI pada zaman dulu, mereka menghasut rakyat, mau merampas tanah. Memangnya, tanahnya Mbahe. Pokoknya, aku ndak setuju dengan rencan gilamu itu, Nan." Haji Dzofir, salah satu anak laskar sipil yang menjadi ketua takmir masjid desa, benar-benar marah ketika selepas Dzuhur ia mendatanginya ditemani Mbah Karso. Nandi mencoba untuk tetap tenang.
"Begini, Pak Haji, saya mengerti bahwa masih ada permasalahan dengan PKI, tapi saya mohon kita lupakan sejenak permasalahan itu. Kita berpegang pada prinsip agama saja, bahwa orang meninggal harus dikuburkan secara layak. Saya pikir orang-orang PKI itu juga berhak untuk dikubur secara layak."
"Nan, PKI itu ndak beragama, kenapa harus dikuburkan secara layak, di kuburan desa kita lagi. Di kuburan itu banyak dimakamkan para pejuang yang meninggal pada masa Belanda, Jepang. Di kuburan itu juga dimakamkan secara terhormat jenasah para laskar yang dulu ikut membunuh PKI sebagai musuh negara dan agama. Warga desa tentu tidak akan setuju kalau tempat terhormat itu ditempati oleh musuh negara dan agama."
Lagi-lagi, Nandi hanya bisa diam, menahan semua amarah yang bercampur kesedihan. Betapa tidak, bahkan sampai meninggal pun, orang-orang PKI masih dimusuhi dan dilarang dikuburkan di tempat yang layak.
"Begini, Ji. Kamu waktu terjadi peristiwa itu masih bayi, tidak tahu-menahu tentang PKI. Kamu hanya tahu PKI itu kejam dan tidak beragama dari film yang diputar setiap 1 Oktober itu kan? Aku yang tahu dengan mata kepala sendiri, banyak para anggota PKI yang sembahyang ke masjid di samping rumahmu itu. Bahkan, dulu waktu masjid ini diperbaiki, para anggota PKI itu ikut bergotong royong memperbaikinya. Jadi, tidak benar kalau mereka tidak beragama. Memang ada yang tidak beragama formal, tetapi mereka itu ber-Tuhan dengan cara mereka sendiri. Almarhum bapakmu tahu itu semua. Hasutan tentaralah yang menjadikan bapakmu dan para tokoh agama di desa ini dan desa-desa tetangga bergabung dalam laskar sipil. Sekarang begini saja, bagaimana seandainya dulu PKI yang menang dan membunuh bapakmu serta menguburkannya tanpa maesan, kamu pasti akan marah, Ji." Mbah Karso mencoba meluruskan pemahaman keliru Haji Dzofir.
"Mbah, aku mohon jangan membolak-balikkan cerita seperti itu. Bisa tambah ruwet masalahnya nanti. Prinsipnya aku tetap menolak. Dan, ingat aku punya jama'ah di masjid, aku bisa saja mengomando mereka untuk menggagalkan rencana jahat itu. Kita ini sudah hidup tentram, ndak perlu lagi meributkan persoalan kuburan di hutan larangan itu."