"Tapi, aku lelah, Van. Aku tidak pernah merasakan rasa lelah seperti ini sebelumnya. Semua terasa berat."
"Tidak akan terasa berat kalau kamu selalu mengingat bahwa sedikit pengorbananmu akan membawa kebahagiaan yang luar biasa."
"Tapi, mengapa kamu tidak menemaniku, Van?" tanya Nandi yang membuat Ivan diliputi sebuah kesedihan mendalam.
"Ingin sekali aku melakukannya, Dee. Tapi, sebuah kisah nun jauh di sana menyebabkanku tidak berada di sisimu. Lagipula aku yakin, tanpa kehadiranku, kamu tetap akan berhasil. Aku yakin seyakin-yakinnya. Percayalah, pasti kamu akan membawa kabar baik untuk mereka."
Setelah mengatakan itu, Ivan beranjak berdiri, Nandi kaget menatapnya. Dengan sebuah senyum, ia perlahan melangkahkan kedua kakinya. Nandi berusaha mencegahnya dengan berteriak, tetapi lelaki itu tidak menghiraukan teriakan itu. Angin kencang menyambar, membawanya terbang, entah kemana. Nandi berteriak, mengejarnya, tetapi sia-sia. Ia menangis sampai suaranya hanya terdengar pelan.
"Van...."
Ketika ia membuka mata, Ibu begitu senang dengan air mata menetes. Gandi mencoba menenangkannya.
"Kamu sudah sadar, Nduk?"
"Aku di mana, Bu? Ivan...Ivan di mana?" tanyanya dengan suara pelan.
Cairan infus mengalir ke tubuhnya melalui lengan kirinya. Cairan itu seperti energi yang tetap menjaga kekuatan fisik Nandi; seolah tahu bahwa perempuan itu membutuhkan kehadirannya untuk tetap menghidupkan perjuangan yang belumlah usai.
"Kamu di rumah sakit, Nduk, di Banyuwangi. Tadi sore kamu sama Bapak kecelakaan, ditabrak jeep. Soal Nak Ivan...dia tidak ada di sini. Dia belum tahu kalau kamu di rawat di sini." Ibu mengusap keningnya. Mendengar jawaban itu, ia baru sadar bahwa ia baru saja bermimpi. Kenapa Ivan pergi meninggalkannya? Kenapa ia terbang di bawa angin?