PKI di hutan larangan akan lebih baik dilakukan sembari menunggu kesempatan yang lebih tepat untuk menggali kuburan itu. Meskipun demikian, tidak mungkin untuk langsung menulisnya di media massa, koran, misalnya. Menulis melalui media internet bisa menjadi pilihan yang relatif aman untuk saat ini ketika banyak mata yang mengawasi dan kebencian yang masih mendendam terhadap PKI. Pilihan itulah yang dilakukan oleh Nandi. Ia menulis di situs Komnas HAM, terkait kuburan itu.
Seperti yang dikatakan Mbah Karso, menulis dan, kalau bisa, menyampaikan kepada publik tentang kuburanTak disangka, tulisan itu menarik perhatian salah satu staf sebuah LSM di Jakarta yang bergerak di bidang advokasi korban politik. Â Staf itu, seorang perempuan muda bernama Dewi Sri, mengundangnya, melalui e-mail, untuk mengikuti diskusi terbatas tentang korban tragedi 1965 di Yogyakarta, kota tempat Eyang Uti dan Eyang Kakung-nya dilahirkan. Awalnya, ia ragu untuk datang ke acara tersebut, karena takut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pengeluaran anggaran dari pemerintah atau dari lembaga donor internasional. Tetapi, setelah Dewi meyakinkannya bahwa LSM itu didanai dari donasi pribadi-pribadi dari dalam negeri yang concern terhadap persoalan korban politik, Nandi bersedia untuk hadir pada acara yang akan diselenggarakan pada 1 Oktober tersebut.
Malam sebelum berangkat, Nandi sempat menawari Ivan untuk ikut ke Yogya, tetapi karena harus ngebut mengerjakan skripsi, ia tidak bisa menerima tawaran itu. Mereka sempat sedikit berdebat tentang pendanaan LSM itu. Karena, Ivan takut LAM itu sama dengan LSM-LSM lainnya yang mengeksploitasi dan menjual isu-isu marjinalitas ke donor luar negeri.
"Bukan, Van. LSM ini bukan seperti itu. Pendanaannya diperoleh dari donasi yang tidak mengikat. Para donaturnya hanyalah para pribadi yang punya perhatian besar terhadap isu korban politik. Lagi pula, tujuannya untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat secara luas terkait persoalan HAM. Nanti, kalau aku menemukan fakta yang berbeda, pasti, tanpa kamu minta, aku akan keluar dari kegiatan itu. Kamu percaya aku kan?" ucap Nandi ketika Ivan menemaninya berbelanja beberapa bungkus snack dan minuman vitamin untuk bekal perjalanan ke Yogya.
"Iya, aku percaya. Semoga, LSM itu benar-benar tidak ingin melakukan eksploitasi. Kasihan, para arwah di hutan larangan, Dee. Mereka bukan barang dagangan. Dan, aku ndak ingin kamu terlibat dalam perdagangan seperti itu."
Jadilah, Nandi berangkat sendirian ke Yogya, naik bus dari Surabaya. Di bus, dia duduk bersebelahan dengan seorang lelaki muda asli Surabaya yang, ternyata, juga akan menghadiri acara itu. Devgan, nama lelaki tampan yang usianya 4 tahun di atasnya. Di perjalanan, mereka terlibat perbincangan seru tentang peristiwa 65 dan kehidupan tragis para anggota PKI. Devgan adalah dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya yang concern melakukan riset tentang 65 di beberapa daerah Jawa Timur bagian selatan: Blitar, Kediri, Trenggalek, dan Tulungagung.
"Kamu tahu, Nan, di Kediri, dendam terhadap PKI sengaja dipelihara oleh beberapa tokoh agama yang masih meyakini partai palu arit itu tetap ada sampai sekarang. Paling tidak, mereka mencurigai aktivis dan peneliti muda yang getol melakukan riset tentang PKI sebagai penerus cita-cita partai ini di Indonesia. Dendam mereka benar-benar keterlaluan," tutur Devgan sambil menawarkan snack kepada Nandi. Ia serius mendengarkan tuturan itu. Setelah menikmati snack, Nandi juga mengutarakan pengalamannya. Gantian, Devgan yang manggut-manggut.
"Kata salah satu sesepuh di desaku, bangsa ini akan sulit menjadi besar kalau masih belum bisa berdamai dengan sejarah kelamnya. Semua peristiwa yang kabur pada 65, memang sudah semestinya dibuka, bukan ditutupi dan dijadikan senjata untuk mengkebiri hak hidup anggota PKI, keluarga, atau simpatisannya. Masalahnya, selama negara ini masih dikuasai kekuatan militer, selama itu pula masalah 65 akan ditutupi. Takutnya, apa-apa yang dilakukan Komnas HAM selama ini hanya akan menjadi sebuah ritual pendokumentasian, karena negara masih enggan membuka peristiwa-peristiwa menyedihkan itu, Mas."
"Itulah yang menyedihkanku selama ini, Nan. Aku sering merasa semua riset yang sudah aku publikasikan melalui jurnal dalam negeri maupun luar negeri menjadi ritual akademis yang tidak membekaskan apa-apa kecuali ketenaran namaku. Jujur, itu permasalahan yang masih mengganjalku selama ini." Nandi kagum dengan pernyataan jujur dosen muda ini. Ia tidak mau mengingkari bahwa banyak karya akademis selama ini hanya menjadi tumpukan berkas yang tidak membawa perubahan apa-apa karena penentu kebijakan tidak mau ambil pusing. Memikirkan itu, ia menjadi berpikir-ulang untuk bekerja sebagai dosen.
"Tapi, dengan menjadi dosen, paling tidak, kita bisa menulari virus kritis ke mahasiswa yang akan menjadi penerus bangsa ini."
Mendengar omongan itu, Nandi seketika ingat Ivan. Dari tadi, sejak berkenalan dengan Devgan, wajah lelaki itu tidak muncul di pelupuk matanya. Tetapi, mendengar omongan Devgan tadi, wajah sahabatnya itu tiba-tiba muncul. Hemmm, pasti ia sedang nongkrong di sekretariat organisasi kesenian. Tidak lama kemudian, ia tertidur dengan posisi kepala bersandar di pundak kiri Devgan. Lelaki itu hanya diam menyaksikan perempuan di sampingnya tidur pulas, meskipun ia mulai dirambati sebuah perasaan kagum kepadanya. Devgan baru membangunkannya, ketika bus akan beristirahat di Ngawi, untuk memberikan servis makan kepada para penumpang. Nandi tampak malu ketika tersadar kepalanya berada di pundak Devgan.