Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Berkawan Kabut

29 Februari 2020   23:32 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada setiap kabut turun,
aku mengabdi pada keluhuran.
Meski, angin akan menghempaskannya,
aku belum berani menerobos kabut itu.
Tapi, suatu saat pasti aku berani.
Entah itu kapan...


Sendiri, siang ini, aku berjalan menyusuri segara wedi, lautan pasir menuju Gunung Bromo yang suci itu. Angin berhembus kencang menerbangkan butiran pasir tak terhitung, sampai-sampai aku harus menutup wajahku dengan syal. Sepuluh lebih mobil jeep hard top berlalu-lalang mengantarkan para wisatawan bule. Ya, Bromo--gunung suci wong Tengger tempat di mana kami setiap tahun menggelar upacara suci Kasada sebagai penghormatan kepada para leluhur dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Hong Pukulun--memang masih menjadi milik kami dalam hal adat, tetapi milik negara dalam hal aset. Negara memiliki Bromo dan kawasan sekitarnya dengan dalil taman nasional yang perlu dijaga kelestariaannya. Selain itu, pesonanya telah menjadi andalan pariwisata kabupaten, provinsi, dan negara untuk mendatangkan devisa. 

Kami harus rela berbagi makna Bromo dengan para turis, baik domestik maupun mancanegara. Bagi mereka, Bromo adalah sebuah keindahan yang bisa memanjakan mata, menghilangkan sejenak beban hidup, memberikan hawa dingin sebagai alasan untuk menikmati minuman beralkohol atau jahe dan kopi panas di kafe hotel, ataupun mengantarkan mereka menuju pertemuan romantis. Bagi kami, Bromo adalah kesucian dan kehidupan itu sendiri.

Kesucian karena wong Tengger selalu meyakini bahwa arwah mereka yang sudah meninggal akan dilebur, disucikan dari dosa-dosa duniawi, sebelum menuju Gunung Mahameru, tempat "persinggahan antara" sebelum dikirim ke swargaloka. Kehidupan karena setiap dia meletus, mengeluarkan abu dan pasir--yang oleh para pengamat gunung api dianggap berbahaya--tidak pernah membuat kami mengungsi, tapi mensyukurinya karena beberapa bulan kemudian panen kentang, wortel, kubis, bawang pre, ataupun tomat akan melimpah.

Dari hasil panen itulah wong Tengger bisa membeli beras, bahan makanan dari pasar kecamatan atau dari para mlijoh perempuan Madura dari desa-desa di bawah, membeli pakaian ala kota, hingga alat-alat elektronik, seperti televisi, VCD player, handphone, maupun kulkas, serta sepeda motor dan mobil jeep atau mobil keluarga.

Kehadiran para turis juga memberi kehidupan yang lain kepada wong Tengger. Bagi yang mampu membeli jeep, mereka akan mengoperasikannya untuk mengantar para turis menikmati sunrise dari Puncak Penanggungan. Para pemilik kuda bisa mengantarkan turis dari segara wedi sampai tangga Bromo. Dari hasil uang panen dan jasa jeep ataupun ojek kuda itulah wong Tengger menghidupi hidup, berkawan dingin dan kabut, tanpa harus merasa ketinggalan dari masyarakat di dataran rendah ataupun kota-kota besar. Dari uang itu pula, setelah ditabung selama beberapa tahun, kami bisa menggelar upacara adat yang membutuhkan biaya besar, seperti Entas-entas--upacara terakhir untuk mengentas arwah dan mengantarkan mereka menuju nirwana.  

Siang ini, langkah-langkah kecilku, Amelia Puji Rahayu, seorang perempuan Tengger, anak seorang petani di sisi timur Bromo, menapaki kembali ingatan-ingatan tentang keluhuran masyarakatku, sebagaimana sering diceritakan para dukun--pemimpin adat--setiap kali aku dan teman-teman sebayaku bersembahyang dengan cara Hindu di pura desa, di tengah-tengah pergeseran hidup yang kami alami.

Aku jadi ingat-kembali semua cerita Ibu ketika masih duduk di bangku SD, ketika setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan malam sebelum berangkat tidur, aku menemaninya cethik geni--memasak di perapen/tungku. Ibu bercerita tentang perjuangan suci Rara Anteng dan Jaka Seger untuk bertapa di segara wedi, memohon kepada para Dewata agar diberi keturunan. Setelah sekian lama bersemedi, pepuji mereka didengar Dewata. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi, yakni mengorbankan anak terakhir ke kawah Gunung Bromo. Karena sangat ingin memiliki keturunan, mereka berdua bersepakat untuk memenuhi permintaan mereka.  Akhirnya, mereka menjalani hidup bahagia di tengah-tengah kabut gunung dengan 25 anak. Pernah aku bertanya kepada Ibu, "Kenapa mereka punya anak banyak sekali. Sementara orang Tengger sangat jarang yang punya anak lebih dari 2 atau 3?" Ibu menjawabnya dengan sedikit bercanda, "Mereka meluapkan kegembiraan karena sudah lama tidak punya anak, makanya begitu dikasih anak, bikin terus." Tapi, Ibu segera mengatakan, "Mereka itu sadar bahwa keturunan mereka akan melanjutkan kehidupan di kawasan Bromo, sehingga semakin banyak anak, semakin banyak kesempatan menghidupkan wong Tengger."

Mengetahui Rara Anteng dan Jaka Seger tidak juga mengurbankan anak terakhir mereka, Raden Kusuma, Dewata marah. Gunung Bromo meletus, halilintar menghajar bumi, angin ribut memporak-porandakan rumah keluarga besar mereka. Dalam kekalutan dan ketakutan itulah, Rara Anteng mencoba merayu para Dewata dengan bersemedi, tetapi tidak berhasil. Dewata tetap marah. Kusuma mendengar perkataan Rara Anteng tentang janji kepada Dewata. Akhirnya, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, dia menceburkan diri ke kawah Bromo. Beberapa hari berikutnya terdengar suara Kusuma dari dalam kawah menerobos kabut dan segala kekalutan orang dan saudara-saudaranya. Dia meminta kepada orang tua dan saudara-saudaranya agar setiap tahun mereka mengurbankan segala hasil bumi dan hewan ternak ke kawah Brahma sebagai wujud syukur kepada pawa Dewata.

Di depan tungkulah dongeng tentang keluhuran hidup, ketaatan adat, dan asal-muasal wong Tengger mewujud dalam khayalanku sebagai kebenaran yang harus diyakini dan dilakoni meskipun sejak kecil, aku dan kawan-kawan sebayaku sudah terbiasa dengan aktivitas menonton teve; menikmati indahnya hidup di kota besar seperti Jakarta, melalui acara musik, sinetron, maupun film. Ya, jagat bawah yang penuh fasilitas yang memanjakan hidup manusia memang menarik untuk dibayangkan, meskipun Ibu selalu mengingatkan kalau orang di bawah--di kota--tidak sebaik wong Tengger. Mereka senang bertengkar, pamer kekayaan, suka berfoya-foya, suka makan dan minum berlebihan, dan gampang melupakan ajaran leluhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun