Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Berkawan Kabut

29 Februari 2020   23:32 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudahlah, Ndok. Kamu itu anak Bapak. E, kalau boleh tahu, kenapa sampai kamu nekat kayak gitu."

"Derry menamparku, Pak."

"Apa menamparmu?!! Kurang ajar banget dia."

Bapak benar-benar marah. Aku berusaha menenangkannya.

"Aku benar-benar ingin punya tabungan, Pak. Makanya aku mau bekerja. Itu yang membuatnya marah. Aku ingin ngirim uang bulanan buat Ibu dan Bapak. Asal Bapak tahu, aku tidak pernah diberi uang bulanan."

"Oalah, Ndok. Kok jadi gitu nasibmu. Maafkan Bapak sudah memaksamu menikah dengan Derry." Bapak memelukku sambil menangis.

"Sudahlah, Pak. Aku mungkin sudah ditakdirkan untuk menjalani semua itu."

"Kalau memang alasanmu seperti itu, aku tidak akan memaksamu kembali ke Derry. Bapak ndak mau kamu kembali mengalami penderitaan itu, Ndok. Segera kamu urus perceraianmu. Kalau perlu biar Bapak sewakan kepada orang ladang di sebelah selatan desa untuk biaya perceraianmu. Meski tradisi di masyarakat kita tidak menyukai perceraian, biarlah daripada kamu selalu menderita."

"Terima kasih, Pak, sudah mendukungku," sahutku penuh rasa haru.

Hari kedua di desa, aku memilih jalan-jalan ke ladang. Di jalan aku berpapasan dengan beberapa kawan masa kecilku, Suryani, Melati, dan Ajeng. Mereka sudah punya anak. Mereka baru saja dari pura karena ada acara sembahyang. Di desaku ini memang hanya sedikit yang beragam Islam. Mayoritas warga beragama Hindu-Tengger. Lima belas menit kami bercanda. Mereka tampak bahagia dengan kehadiran buah hati. Sementara, aku tidak pernah mengharap kelahiran dari rahimku, karena yang menjadi suamiku adalah lelaki itu. Seandainya, aku benar-benar mendapatkan seorang suami yang aku cintai, pastilah aku juga segera ingin punya momongan.     

Sampai di ladang, aku melepaskan semua beban pikiranku. Aku membentangkan kedua tanganku, menghirup angin gunung, menyegarkan batinku. Di gubuk favoritku setiap ke ladang, aku duduk. Aneh, tiba-tiba aku membayangkan Nda menemaniku. Ah, lelaki itu pasti sedang tidur. Tiba-tiba HP-ku berdering. Ternyata dari Nda; sebuah kebetulan yang sangat indah. Setelah saling menanyakan kabar, aku memberitahu dukungan Bapak atas rencana perceraianku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun