Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Berkawan Kabut

29 Februari 2020   23:32 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena keinginan mendapatkan uang sendiri agar bisa mengirim jatah buat Ibu dan mengisi tabunganku, aku cukup antusias ketika ada tawaran dari kawan perempuanku yang bekerja di sebuah resort. Apalagi posisi yang ditawarkan bagian marketing. Dengan ijazah diploma yang baru aku peroleh, posisi itu sangat cocok. Wah, aku mungkin bisa meminta bagian luar kota agar bisa merancang pertemuan dengan Nda.

Beberapa hari aku tidak memberitahukan kepada si monster soal tawaran itu. Aku sengaja mencari waktu yang tepat agar ia mengizinkanku bekerja.

"Pokoknya, kamu ndak boleh bekerja. Kamu di rumah saja, jadi istri yang baik. Titik," bentak lelaki itu ketika aku meminta izin bekerja selepas dia menumpahkan hasrat seksualnya.

"Aku bosan di rumah, Mas. Setiap hari hanya nonton teve, memasak, mencuci, lalu tidur."

"Apa masih kurang uang yang aku berikan tiap hari? Apa masih kurang semua materi yang aku berikan kepadamu? Kamu ini benar-benar perempuan tak tahu diuntung." Lelaki itu benar-benar marah. Dibantingnya vas bunga di meja ruang tamu.

"Kamu pikir perempuan tidak butuh tabungan, Mas!? Aku juga butuh ngirim uang ke Ibu di Wanawetan. Bilang saja kalau kamu takut aku melirik lelaki lain. Iya kan?" tanyaku mulai berani.

"Kamu ini memang....." Belum selesai kata-katanya, lelaki itu menamparku sekeras-kerasnya.

Aku tidak menangis. Aku tidak merasakan rasa sakit. Aku hanya diam, memendam gemuruh amarah. Sepanjang hidupku, belum ada satu pun lelaki yang berani menampar mukaku. Bahkan Bapak tidak pernah melakukannya, meski aku sering membuatnya kerepotan dengan tangisan-tangisan kecilku ketika meminta mainan di kota. Aku memandangi monster itu dengan kemarahan. Dia hanya memasang muka sinis. Lelaki itu segera keluar, sambil membanting pintu. Suara mobil kesayangannya keluar dari garasi. Aku tidak tahu ia akan pergi ke mana.

Segera aku membuka album pernikahan. Aku robek semua foto pernikahan kami. Prasasti yang selalu ia banggakan kepada teman-temannya yang main ke rumah kami itu berubah menjadi serpihan-serpihan kertas. Biar. Biar hilang semua kenangan indahnya. Lelaki itu benar-benar brengsek.

Lima belas menit berlalu, tiba-tiba HP-ku berdering. Ah, dari Bapak. Pasti monster sialan itu madul, seperti biasanya ketika kami sedang ada masalah. Benar. Bapak bertanya kepadaku perihal pertengkaran kami.

"Aku sudah tidak kuat, Pak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun