Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Berkawan Kabut

29 Februari 2020   23:32 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun kabut pekat, pernikahan kami sangat meriah. Teman-teman dan para kerabat Bapak datang, meski harus menempuh perjalanan jauh, melintasi jalan gunung yang terjal. Mereka datang dari kawasan Tengger Probolinggo, Malang, Pasuruan, dan Lumajang. Bapak dan Ibu tampak bahagia. Kedua mertuaku juga demikian. Teman-teman sekantor Derry juga datang. Aku memang tersenyum kepada suamiku, orang tuaku, kedua mertuaku, dan para undangan, tetapi semua serba terpaksa.

Keterpaksaan itu pula yang aku rasakan ketika tubuhku dikuasai Derry pada malam pertama dan kedua. Tubuhku dijalari rasa sakit yang luar biasa ketika tangan-tangan itu menyentuh setiap bagian tubuhku. Jujur, aku berusaha mengikuti naluri keperempuananku ketika tangan lelaki memberikan belaian. Namun, aku hanya sedikit merasakan kenyamanan, selebihnya hanya sakit karena hatiku memang tidak pernah menerimanya. Bhakti kepada kedua orang tua dan keterpaksaan tersenyum kepada Derry telah menjadikan hidupku benar-benar diliputi kabut. Apalagi ketika Derry melarangku bekerja. Benar-benar aku merasakan hidup dalam penjara suami. Satu-satunya hiburanku adalah obrolan-obrolan dengan perempuan itu.

***

Mengisi hari-hariku yang menjengkelkan aku semakin sering menelpon perempuan itu. Waktu sore aku pilih karena saat itulah aku selesai mengerjakan segala tetek-bengek yang berurusan dengan rumah. Aku melakukannya bukan karena terpaksa, tetapi untuk membunuh waktu agar bisa melupakan segala kebrengsekan si monster dan kemarahan yang aku rasakan. Kami bercakap tentang banyak hal, dari soal Bromo, Tengger, hingga kehidupan pribadiku. Seru sekali. Kalau sudah seperti itu kami biasanya tertawa lepas.

"Jujur, aku beberapa kali bermimpi bertemu sahabat lelakiku, lulusan sebuah universitas di Jember. Kami bersahabat sejak berkenalan di bus ketika sama-sama berangkat ke Malang, ketika kami masih mahasiswa. Kadang, kami bertemu dalam cinta yang luar biasa. Aku benar-benar merasakan bahagia. Kadang, aku bermimpi kami membangun sebuah rumah mungil di lereng gunung. Kami mengasuh anak-anak dengan berkawan kabut. Alangkah indah itu semua. Aku sadar itu tidak bisa menjadi kenyataan. Paling tidak, aku masih bisa bermimpi indah."

"Indah banget mimpi itu, sayang belum bisa terwujud. Tapi, kamu berhak punya mimpi kok, Mey. Dan, aku bahagia banget kamu bahagia dalam mimpimu."

"Seandainya kami bertemu di kamar sebuah hotel, apa yang akan kami lakukan, ya?" tanyaku menggoda.

"Apa ya? Mungkin ia akan memeluk dan mencumbumu, Mey," jawabnya singkat.

"Halah, aku ndak percaya. Pasti dia akan nggituin aku, iya kan?"

"Asal kamu tahu, lelaki itu, meskipun kamu akrab dengannya, tidak mungkin berani melakukannya, Mey. Dia takut akan karma dan kutukan."

 "E, memang kenapa kok dia takut? Kan kita sudah sama-sama dewasa? Lagipula apa benar kutukan dan karma itu masih ada?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun