"Mey, lelaki mana sih yang tidak mau melakukan hal itu. Kamu cantik, seksi, segalanya deh. Tapi, lelaki itu benar-benar penakut untuk urusan itu. Biarlah ketakutan itu tetap ia pelihara, karena ia anggap itu yang menyelamatkan perjanjian batin kalian; perjanjian yang tidak harus selalu dimaknai dengan keliaran tubuh, Mey."
"He, he, paham deh."
"Terima kasih, Mey."
Memang, lelaki yang aku panggil Nda itu berhak berprinsip seperti itu. Benar yang dikatakan perempuan itu. Mungkin benar, biarlah hubungan batin kami tidak teracuni oleh persetubuhan. Mungkin itu akan selamanya menjaga hubungan kami, meski aku terkadang merasa kasihan karena harus menanamkan perasaan aneh di batinnya. Mungkin hubungan seperti inilah yang bisa menyembuhkan luka jiwaku; luka yang aku sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Hubungan di ambang batas inilah yang mungkin akan menciptakan keindahan-keindahan baru setiap kami bertemu, meski hanya di telepon.
Meskipun semester akhir aku baru bertemu dengan Nda, rasanya kami sudah bisa merasakan keakraban yang tidak pernah menuntut. Ketika aku mengajaknya untuk menikmati perpisahan dengan pergi ke Bali selepas kelulusanku, ia menolak karena tidak ingin menghadirkan keindahan yang hanya menjadi pelarian. Bahkan ketika aku memintanya memintaku ke kedua orang tuaku, setelah ia wisuda, ia dengan tegas menolak karena tidak ingin membuat runyam urusan keluargaku. Ya, akhirnya, kami hanya menjalin hubungan via telepon, meskipun tidak rutin.Â
Satu minggu setelah aku menelepon perempuan itu, mens-ku berakhir. Malam ini aku sudah menyiapkan diri di atas ranjang. Sebentar lagi, monster jahat itu pasti akan memperagakan keperkasaan tubuhnya. Benar. Setelah beberapa menit aku mengamati gambar fashion di sebuah majalah perempuan, lelaki itu masuk ke kamar dengan senyumannya yang tidak pernah menarik simpatiku. Aku segera menutup majalah, menyambutnya dengan pura-pura tersenyum.
Perlahan-lahan ia melahap bibirku dengan segala kerakusan seorang lelaki, menyentuh semua bagian peka tubuhku. Seperti biasanya, aku selalu berpura-pura larut dalam permainannya. Mendesah sekeras-kerasanya, karena monster itu memang menyukainya. Dia pasti akan menarik rambutku kalau aku tidak menyuarakan desahan-desahan itu. Setelah puas dengan segala kegilaannya, lelaki itu membuka seluruh pakaian yang melekat di tubuhku. Seperti mendapatkan energi dari para Kurawa yang tengah menelanjangi Durupadi, monster itu selalu membelalakkan matanya. Detik-detik ini adalah detik-detik yang paling menjengkelkan bagiku karena sebentar lagi aku harus berubah menjadi batang pisang yang begitu pasrah; tanpa perasaan, tanpa cinta, tanpa kepuasan, karena aku selalu berusaha menyingkirkan itu semua.
Ketika dia sedang melakukan aksinya, aku segera memperkuat otot-otot keperempuananku, bersiaga sambil men-sugesti pikiranku bahwa sperma yang dihujamkannya tidak akan bisa menembus rahimku. Tidak sampai 15 menit, monster itu sudah jatuh tersungkur. Aku berpura-pura tersenyum puas ketika dia tersenyum kepadaku. Seperti biasanya, dia segera bangun menuju ruang teve.
Aku segera berlari ke kamar mandi di dalam kamar tidur kami. Aku buka lebar-lebar kedua kakiku sambil memasukkan jemari ke lubang yang baru saja dia cemari dengan sperma. Aku tidak ingin bibit-bibit anaknya masuk ke rahimku. Setelah yakin kalau sperma itu keluar, aku baru mandi besar. Membersihkan semua tubuh dan jiwaku dari bau monster itu. Kebiasaan inilah yang aku lakukan selama dua tahun pernikahan kami. Mungkin karena itulah spermanya tidak pernah hidup di rahimku. Mungkin. Aku sendiri tidak tahu pasti. Yang pasti, onilah kemenanganku. Kemenangan yang selalu menjadi rahasia kamar mandi ini. Kemenangan yang selalu membuatku tersenyum ketika keluar dari kamar mandi. Kemenangan yang, paling tidak, bisa membuatku menang, meskipun aku sebenarnya kalah ketika menikah dengan monster itu.
Hari demi hari, aku menjalani rutinitas sebagai seorang istri yang tidak pernah merasakan kebahagiaan. Memang, lelaki itu selalu berusaha membahagiakanku. Sering, sehabis gajian, dia mengajakku berbelanja pakaian baru di beberapa mall di Malang. Jujur, aku senang belanja. Paling tidak, aku bisa mengoleksi pakaian-pakaian 500 ribu ke atas. Sering pula, dia mengajakku menginap di hotel-hotel mewah, menghabiskan malam minggu dengan segala nafsunya. Nafsu yang membuatku jijik.
Yang membuatku semakin benci ke monster itu adalah kebiasaan jeleknya, membatasi uang belanja. Setiap hari aku dijatah 25 ribu. Aku juga tidak pernah dikasih uang bulanan. Sering aku harus berpura-pura merengek-rengek agar ia mau memberi beberapa lembar ratusan ribu yang akan aku kirim ke Ibu di Wanawetan. Ternyata lelaki ini pelitnya minta ampun untuk urusan uang buat keluargaku. Kadang-kadang, aku berpikir kalau Bapak sampai tahu hal ini, pasti Beliau merasa tertipu oleh kebaikan keluarganya dulu. Karena, anak mereka tidaklah demikian.