"Hei, nglamun lagi," tegurnya menyadarkanku dari pertanyaan-pertanyaan di otakku yang tidak jelas.
"E, anu, aku,...aku,"
"Aku tahu, pasti kamu masih memikirkan tentang kejadian semalam. Iya kan?"
Aku tidak kuasa menjawabnya. Aku hanya kebingungan tanpa bisa berbuat apa-apa mendengar pertanyaan itu. Mata Di menyergap seluruh tubuhku dalam kekakuan yang tak terbahasakan.
"Sudahlah, Van. Kan aku sudah bilang, mungkin kita ini hanya bisa mengikuti jalan cerita yang akan dituliskan di tempat ini. Sudahlah, nikmati saja apa yang akan terjadi, jangan terlalu diributkan. Toh, aku juga tidak akan menuntut apa-apa dari kamu. Asal kita masih bisa mengendalikan diri, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa. Kalaupun terjadi apa-apa, anggap saja itu anugrah. Santai, jangan terlalu dipikir serius. Lebih baik sekarang kita mandi, sembari menunggu bubur singkong masak."
"Apa? Kita mandi bersama?" Tanyaku setengah tidak percaya.
"Iya, memang kenapa? Kan, kita cuma mandi bersama, tidak ngapa-ngapain kok. Awas, jangan berpikir macam-macam," ancamnya sambil tersenyum.
Akhirnya aku hanya bisa mengikuti ajakannya dengan kekacauan dan kebingungan pikiran yang tidak mampu aku kendalikan. Aku seperti anak kerbau yang dituntun menuju pemandian, diiringi gerimis, tanpa bisa berbuat apa-apa, kecuali menurut. Selama beberapa saat lamanya, kami berdua mandi tanpa sehelai pakaianpun di badan. Air sumber terasa hangat membasai tubuh kami berdua. Vee dengan santai mengusap seluruh bagian tubuhnya di depanku dan sesekali menenggelamkan tubuhnya sampai leher ke dalam air. Sementara, aku memilih untuk tetap menenggelamkan badanku ke dalam air. Entah aku masih merasa malu.Â
Dan, aku berusaha untuk tidak melihat apa-apa yang dilakukan Vee. Namun, tidak semua usahaku berhasil. Toh, naluriku tetap saja menggiring saraf mataku untuk sesekali melirik pada tubuhnya. Tapi, hanya sebatas itu yang bisa aku lakukan. Sampai pada suatu saat, Vee memegang pundakku. Kami sama-sama menenggelamkan badan sebatas leher. Dan, kami hanya bisa saling pandang, untuk waktu yang sangat lama. Semua tenang. Semua diam. Air gerimis mengantarkan kinanti yang tidak mungkin aku lupakan.
Sebuah kinanti yang menyajikan tetes air satu demi satu, menyegarkan lelah dan sakit dalam tubuh dan jiwaku, mungkin juga melenyapkan semua kesedihan yang dirasakan Vee. Semua lepas, bersama sentuhan-sentuhan anugrah Sang Bumi. Perlahan sekali, energi Adam dan Hawa kedua menggerakkan semua sel dalam tubuh kami, menelusuri jejak-jejak peradaban manusia yang dibangun dari sebuah perjumpaan suci.Â
Sebuah kepasrahan bergerak, memberi keberanian bagi kami untuk sama-sama menemukan celah-celah kekosongan dalam pengembaraan; menempuh sebuah perjalanan senyap, merasakan semua yang berhak dan wajib kami rasakan di sini, di Jurang Sajiwo, di ambang batas segala kekosongan, di ambang batas kenyataan, di ambang batas akal, di ambang batas yang menghilangkan mimpi; sebuah perjalanan yang kami sendiri tidak tahu bagaimana Sang Penghidup menilainya; sebuah perjalanan yang belum bisa kami tebak kapan akan berakhir, karena kami memang tidak ingin tergesa-gesa mengakhirinya.