Hari demi hari aku mencoba meyakinkan batinku, bahwa aku masih hidup, aku masih bisa kembali ke mereka, menghadirkan seutas senyum sederhana ketika senja hadir. Tapi, ketika aku menghadapi kenyataan di jurang ini, jurang yang kamu sebut Sajiwo ini, tak mampu lagi aku rangkai semua keinginan itu. Tetapi, seperti kata Emak, biarlah aku memahami kenyataan yang ada di sini, di Jurang Sajiwo. Suatu saat, biarlah aku nikmati semua sejarah, memori, dan masa depan itu dalam ketakterhinggaan, karena aku sudah di depan. Paling tidak, aku masih punya teman untuk bercerita tentang hidup saja. Meski, sebenarnya aku masih takut memikirkan masa depan." Â Â
"Mengapa masih saja memperbincangkan masa depan kalau masih banyak keindahan di hari ini? Kita tidak akan pernah tahu masa depan, Van. Sama ketika kamu tidak pernah tahu kalau kamu akan hadir di tempat ini. Sama ketika aku dan kamu tidak pernah bisa memahami, mengapa kita masih hidup. Apa yang terjadi biarlah terjadi, dan kita harus bisa menikmatinya, bukan meratapi atau menyesalinya. Aku pikir dengan seperti itu semua akan lebih baik. Dan, kita memang tidak perlu lagi membincangkan keterikatan kita. Biarlah kali itu menjadi contoh yang baik, mengalir. Biarlah suatu saat kita kembali ke masa lampau, ke masa depan, tapi kita tetaplah di sini, merangkai bermacam kisah."
Aku larut dalam pikiranku sendiri. Aku yang selama ini sangat optimis dalam memandang hidup, mengapa jadi orang tanpa masa depan. Atau, mungkin itu yang benar? Jangan-jangan selama ini aku menjadi orang yang tidak bisa menikmati apa-apa yang terjadi. Jangan-jangan hidupku berjalan dalam skenario yang salah? Belum selesai aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Vee memelukku. Membelai rambutku. Mengantarkan berjuta bintang ke dalam batinku.
"Van, lebih baik kita menjalani apa-apa yang sedang terjadi. Karena begitu banyak rencana hanya menimbulkan ketakutan. Ya, anggap saja tempat ini adalah secuil surga yang dipinjamkan Sang Penghidup kepada kita berdua. Mungkin Dia ingin bereksperimen menciptakan Adam dan Hawa kedua, di tengah-tengah kegagalan eksperimen pertama-Nya yang hanya melahirkan manusia-manusia penebar kebiadaban dan bencana. Orang-orang yang dikaruniai agama, tetapi saling membunuh dengan agama itu.Â
Aku pikir tidak salah kalau kita memposisikan diri sebagai manusia yang berhak melakukan apa yang ingin kita lakukan demi kebahagiaan, demi kebaikan, dan demi kehidupan kedua kita. Biarlah Dia menjadi pengawas yang baik dan bijaksana. Aku yakin Dia juga tidak ingin mencampuri kehidupan manusia secara berlebihan. Sudahlah, lebih baik kita tidur. Besok pasti akan menjadi hari yang lebih indah."
Yang terjadi berikutnya, sungguh menakjubkan. Dalam tidur, Vee menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku membelai rambutnya. Meskipun aku sudah berulangkali bercumbu dengan perempuan, namun kali ini, mengalir sebuah perasaan yang begitu aneh. Entah apa itu namanya. Meski awalnya hanya membelai rambut dan memperhatikan wajahnya, aku seperti melukis romansa yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi.Â
Maka, pertemuan bibir kami adalah luapan angin yang jatuh dari bukit di atas; adalah derasnya air sumber yang memberi kehidupan; adalah hembusan segar nafas yang dipinjamkan Sang Penghidup. Perpaduan batin dan pengembaraan sunyi kami, semakin memuncak dengan hujan gerimis yang menjadi orkestra alam; perpaduan gemericik suara air kali, gesekan dedaunan dan ranting, serta jiwa kami yang mengalir dalam kesederhanaan kisah. Â
Kami baru terbangun ketika sebuah dahan kering jatuh menimpa atap rumah sehingga memunculkan bunyi yang cukup mengagetkan. Aku dan Vee segera keluar rumah, takut akan terjadi apa-apa. Ternyata di luar hujan gerimis. Setelah mengambil dahan kering itu, kami segera menuju emperan depan.
"Van, aku mau masak dulu ya. Mumpung di tungku masih ada bara apinya, biar ndak susah-susah nggosok kayu kering untuk buat api. Kamu mandi dulu sana, biar cakep. Biasanya kalau gerimis air sumber terasa lebih hangat."
"Iya, sebentar lagi. Aku masih ingin menikmati suasana gerimis di pagi yang masih berkabut ini."
Vee segera menuju dapur. Aku masih saja diam di emperan depan. Aku tetap berusaha mengingat apa-apa yang terjadi semalam. Aku masih berusaha merasakan sisa-sisa percumbuan semalam. Bagaimana itu semua bisa terjadi? Ah, ini sungguh di luar kuasaku. Atau, mungkin itu semua memang sudah ditakdirkan untuk terjadi? Atau, jangan-jangan aku dan Vee hanya terjebak suasana jurang yang begitu dingin dan senyap ini? Atau, jangan-jangan aku memang selalu berdoa dalam batin agar ini semua terjadi? Betapa kejamnya aku.