Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Seorang Perempuan di Jurang Sajiwo

1 Maret 2020   07:21 Diperbarui: 8 November 2021   19:01 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tunggu. Kamu jangan sendiri, mari aku antar, jalannya sangat licin."

Dengan hati-hati perempuan itu menggandeng pundakku. Kami berdua perlahan menuju kamar kecil di pinggir kali yang hanya ditutupi dedaunan. Setelah mengantarku sampai kamar kecil itu, ia beranjak menjauh. Aku mengerti maksudnya. Sembari buang air kecil aku memandang ke atas. Ternyata jurang itu sangat curam. Sungguh keajaiban aku masih hidup. Di atas jurang sesekali terlihat cahaya mobil melintas di tikungan tajam. Ya, pasti di tikungan itu aku kehilangan kendali dan akhirnya jatuh.

Setelah selesai, perempuan itu menggandengku kembali ke dalam gubuk. Sambil berjalan itulah aku sempatkan menanyakan siapa namanya. Aku begitu senang karena ia tidak merahasiakan soal nama.

"Kalau memang aku tidak boleh tahu sejarahmu, bolehkah aku tahu siapa namamu?"

"Orang tuaku menyematkan nama Savitri Arumbumi kepadaku. Cukup panggil aku Vee saja, dengan dua huruf e. Kalau kamu?"

"Ivan Sandyawan. Paggil aku Van. Budhe-ku, seorang guru SD, yang memberi nama itu. Katanya Ivan itu nama orang bule, tetapi juga dekat dengan konsep Islam, ikhwan, yang berarti sahabat. Sandyawan, katanya bermakna yang menjaga rahasia. Aku sendiri tidak ambil pusing atas makna itu. Yang penting aku punya nama, dan kawan-kawan memanggilku, Van."

Sesampai di dalam, Vee menyuruhku berganti pakaian. Bentuk pakaian itu begitu aneh dan primitif. Aku berpikir demikian karena sudah terbiasa memakai pakaian buatan pabrik.

"Aku membuatnya dari kulit pohon yang masih muda. Aku menghaluskan, mengeringkannya, lalu merajutnya. Lumanyanlah bisa menutupi tubuh. Aku belajar memaklumi kondisi di jurang ini. Aku harus beradaptasi agar bisa hidup di sini. Termasuk dalam hal pakaian. Mungkin inilah cara hidup purba. Baiklah, aku akan memasak bubur singkong di dapur, kamu bergantilah pakaian. Sebentar lagi kita akan makan malam."

Selesai berganti pakaian dari kulit, aku merasa ada yang aneh. Aku seperti menjadi manusia purba. Tapi benar kata Vee, aku harus belajar memaklumi dan beradaptasi dengan kondisi. Vee, perempuan itu begitu baik. Perempuan itu begitu kuat. Aku masih tidak bisa bernalar, bagaimana mungkin bisa ia hidup seorang diri di sini. Apakah ia tidak ingin kembali ke alam manusia di atas? 

Apakah dia tidak lagi mempunyai keinginan menikmati masa-masa yang indah? Vee, ia tetaplah perempuan misterius. Aku yakin sepenuhnya Vee adalah perempuan terpelajar. Dari kalimat-kalimat yang ia utarakan aku tahu, perempuan itu minimal pernah mengenyam pendidikan tinggi.

"Saatnya makan malam," ujarnya membuyarkan kebingunganku, "Van, ini aku buatkan bubur singkong. Kamu pasti belum pernah merasakan. Emm, enak, lho. Kamu harus makan yang banyak biar badanmu cepat sehat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun