Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Seorang Perempuan di Jurang Sajiwo

1 Maret 2020   07:21 Diperbarui: 8 November 2021   19:01 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Emm, kok baunya harum sekali ya. Apa mungkin karena terlalu lapar hingga bubur singkong pun beraroma bubur ayam?" kelakarku.

"E, kamu jangan menghina. Bubur ini adalah penemuan terbesarku selama di sini. Aku meracik singkong yang sudah dihaluskan dengan rempah dan umbi-umbian yang banyak terdapat di sini. Di dunia atas sana, kamu pasti tidak pernah makan ini sebelumnya."

"Ya, jelas saja. Di atas sana, masih banyak beras. Mengapa harus susah-susah memasak singkong jadi bubur. Buang-buang waktu, Vee."

"Iya. Orang-orang di atas memang terlalu fanatik pada beras sehingga makanan lain yang sebenarnya melimpa, mereka lupakan. Padahal gizinya tidak jauh berbeda. Ketika orang-orang semakin fanatik beras, harganya semakin tinggi, banyak orang tidak mampu membelinya lagi. Kelaparan adalah konsekuensi, khususnya bagi mereka yang miskin," tutur Vee seperti seorang profesor.

"Dan...itu pulah yang membuatmu lebih memilih tinggal di sini. Karena kamu tidak tergantung lagi pada beras. Begitukan?" tanyaku memancing.

"Aku tidak mengatakan seperti itu. Ah, sudahlah, ayo kita makan. Nanti buburnya dingin. Nggak enak. E, jangan lupa yang kayak dadar telur itu perkedel singkong ala Vee. Itu lauk yang paling pas untuk bubur singkong ini."

Akhirnya, kami berdua menikmati bubur singkong. Kami berdua bercanda dan bercengkrama tentang bubur itu. Sesekali Vee bercerita tentang suka duka ia tinggal di dasar jurang ini. Selesai makan, Vee menaruh piring kayu di dapur. Setelah itu, sejenak kami melanjutkan percakapan di meja makan sembari menikmati jahe hangat, tanpa gula. Semua berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, meskipun Vee mungkin tidak merasakannya.

"Vee, mungkin pertanyaanku ini terkesan seperti anak kecil. Tapi aku merasa perlu untuk menanyakannya. Apakah kamu tidak takut tinggal sendiri di dasar jurang yang sepi ini?"

"E, jangan memancingku untuk bercerita tentang sejarahku, ya," sanggahnya sebelum menenggak jahe hangat.

"Tidak, tidak. Ini bukan tentang sejarahmu. Ini tentang yang kamu alami di sini. Semacam kisah aktual."

"Ehmm, kalau dibilang takut, aku sudah menjalaninya. Kalau dibilang tidak, aku manusia biasa. Yang pasti, mungkin karena sudah terbiasa merasa takut, aku jadi tidak takut lagi. Semua kondisi ini aku anggap sebagai apa-apa yang memang harus aku jalani. Salah satu kenikmatan hidup, menurutku, adalah ketika aku tidak lagi merasa takut kepada apa-apa yang semula aku takuti. Dan, itu bernama kesunyian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun