Dalam batas sunyi, yang ada hanyalah kesungguhan
menembus segala kemungkinan, yang terlalu takut
untuk diadakan oleh pikiran.
Ada kecupan manis malam, ada sentuhan lembut embun,
menyatu dalam batas kesadaran dan mimpi,
yang menaklukkan kesombongan-kesombongan manusia.
Tiba-tiba semua menjadi gelap, panas, lalu tiba-tiba berganti dingin. Begitu selama beberapa saat lamanya. Tak ada kepastian di mana dan dalam waktu apa sebenarnya ini semua berlangsung. Batas dan kejelasan menjadi kabur pada warna-warna yang begitu gelap, lalu tiba-tiba terang. Semua sepi, segalanya sendiri. Ketika melihat tubuhku di bebatuan kecil, seketika itu aku menyadari bahwa ini semua sudah berlangsung sekian lamanya, dalam beberapa jam, atau beberapa hari, mungkin.
Susah payah aku melihat-lihat tubuh tanpa darah itu. Dari kaki, pantat, perut, leher, kepala, hingga kuku dan rambut. Ah, inilah yang ditakutkan banyak manusia ketika tubuh tidak menjadi apa-apa. Menjadi semata-mata daging, tanpa makna. Kecuali satu, ya, aku masih mempunyai nyawa yang melayang-layang dalam ketakterhinggaan, menjadi raja bagi nyawa itu sendiri. Semua menjadi indah, melebihi keindahan tubuh, melebihi keinginan, melebihi percumbuan mesra dengan kekasih. Keterbebasan dari beban tubuh ternyata mengundang kenikmatan yang luar biasa.
Lagi-lagi, tiba-tiba, kutangkap sekelebat bentuk tubuh melalui indra yang aku tak tahu namanya, bukan mata. Ternyata tubuh seorang perempuan yang bergerak-gerak. Ah, ia bermain air kali yang jernih. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi aku tidak ingat siapa dan di mana pernah bertemu. Semua menjadi tidak jelas, ingatanku, apakah masih menempel dalam otak? Tapi aku merasa begitu dekat, sangat dekat, semakin dekat. Mungkin lebih baik aku mendekat, toh ia tidak tahu akan kehadiranku. Mungkin.
"Kenapa engkau datang kemari?"
Suara itu membuat berhenti semua yang aku rasakan sebelumnya. Kenikmatan berhenti pada hitungan detik. Koma, sesaat aku diam, tanpa tahu harus berbuat apa. Bagaimana mungkin ia tahu? Ataukah ia sedang bicara dengan tubuh lain? Tapi, di sini tidak ada tubuh yang lain, yang ada hanyalah aku sebagai daging mengerikan. Bingung membawa nyawaku menghantam keangkeran pohon yang sangat lampau.
"Aku tahu, pasti ada sejarah yang coba kau ingat. Sejarah tentang tubuhmu yang pernah datang kemari. Menjumpaiku dalam semangat besar, seorang manusia, seorang lelaki."
Rupanya dia benar-benar bicara denganku. Dan, sepertinya dia memang mengenalku. Siapa sebenarnya dia? Lalu, dengan apa harus aku balas semua perkataannya. Semuanya menjadi senyap. Bulan tak lagi kuasa menembus kecilnya daun. Air kali berhenti mengalir. Tak ada suara jengkerik. Tak ada hembusan angin. Semesta begitu hening. Aku tidak tahu berapa lama ini semua berlangsung. Karena tak ada waktu yang bergerak.
"Kamu masihlah manusia yang berhak untuk menemui dan menemukan tubuhmu kembali. Kamu masihlah manusia."
Suara perempuan itu terdengar seperti mantra. Begitu cepat mengumpulkan partikel-partikel nyawaku, menariknya-kembali ke dalam tubuh manusiaku. Cuma, aku melihat tubuhku yang tampak lebih bersih dan bersinar. Perempuan itu hanya memandangi tubuhku. Sepertinya ia tahu bahwa tubuhku belum bisa diajak bicara secara wajar sebagai manusia.
"Kembalilah ke tubuhmu. Sudah aku katakan, kamu tetap berhak menjadi manusia yang utuh. Aku tahu kamu juga belum rela melepaskan tubuhmu sepenuhnya. Tidak usahlah kamu takut masa lalu. Itu semua memang harus terjadi, meski tidak pernah diharapkan. Aku tidak akan marah atau mengutukmu. Bagiku, masa lalumu, bukanlah alasan tepat untuk membiarkan dirimu terus menjadi daging yang selamanya harus diam, mengering. Maka, kembalilah ke tubuhmu dan marilah kita bercengkrama tentang hidup saja."