Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sekali Ini Saja

9 April 2020   01:29 Diperbarui: 9 April 2020   01:27 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yudha!!!"

Aku terkejut. Sebuah tepukan keras di punggungku hampir saja membuatku tersedak.

"Eh, Riri. Ngagetin aja!" kataku setengah berteriak. "Bisa mati jantungan aku."

Bukannya meminta maaf, perempuan tomboy berambut seleher di hadapanku itu malah terbahak. Agak kesal aku melihatnya.

"Eh, Yud. Udah lama di sini?"
"Baru sepuluh menitan. Pesen minum dulu sana!"

Riri melambaikan tangannya ke pelayan. Seorang pria dua puluhan tahun menghampiri meja kami. Ia mengenakan kaos kerah berwarna hitam polos dan celana blue jeans. 

"Mas, aku pesen lemon tea ya. Gulanya dikit aja," kata Riri. "Mau nambah nggak, Yud?"
"Ya, boleh. Samain aja," timpalku.
"Pesen dua ya, Mas!"

Riri membuka laptop, lalu menyalakannya. Diambilnya juga buku catatan dari dalam tas. Ia membolak-balik lembar buku tersebut. 

Di sudut sana dua penyanyi remaja masih menampilkan lagu-lagu barat sejak aku datang tadi. Yang satu memainkan gitar akustik, dan satunya lagi bernyanyi. Lumayan juga penampilan mereka. 

Pelayan tadi datang, dengan membawa dua gelas lemon tea di baki. Dengan sopan diletakkannya kedua gelas minuman tersebut ke atas meja.

"Makasih," kata Riri. "O ya, Mas. Bisa request lagunya pop Indo aja?" 

Pria berbaju putih itu mengangguk, lalu bergerak menuju ke arah dua remaja yang sedang perform. 

"O ya, Yud. Ini materi buat tugas presentasi kuliah minggu depan. Sudah aku buat, nanti tinggal kamu tambahin aja kalau ada yang kurang." 

Riri menyodorkan laptopnya kepadaku. Aku mulai memeriksa 20 slide powerpoint itu. Aku baca kalimat demi kalimat, slide demi slide. 

Sebuah tembang lawas tahun 90-an milik Glenn Fredly terdengar. Terpesona ku pada pandangan pertama, dan tak kuasa menahan rinduku. 

" Sudah Ok slide presentasinya, Ri. Tinggal tambahin aja teori-teori yang dipakai di bagian footnote," kataku.
"Ok, ok. Sudah cukup kayak gini aja, ya?"
"Ini udah lebih dari cukup. Kalo boleh usul, warna backgroundnya diubah saja."
"Emangnya kenapa?"
"Pink terlalu feminine sih. Biru saja yang netral. Lagi pula kamu tomboy kayak gitu kok seleranya warna pink," kataku sambil setengah bercanda.
"Ya biarin aja, suka-suka gue lah. Ya udah, besok aku tambahin footnote-nya." 

Laptop dimatikan. Lalu pemiliknya yang tomboy itu memasukkannya ke dalam tas. 

Kami masih berbincang malam itu. Tentang apa saja, mulai dari kuliah, kampus, sepakbola, sampai film Korea. 

Di ujung sana, si duo masih setia menemani pengunjung kafe. Lagu-lagu dengan beat pelan mengisi atmosfer ruangan. 

Biarkanlah kurasakan
Hangatnya sentuhan kasihmu
Bawa daku penuhiku
Berilah diriku kasih putih
Di hatiku

***

Kampus lagi libur semester. Sudah tiga hari ini aku rebahan saja di kamar, malas-malasan. Main hp, baca medsos, lalu tidur. Keluar kamar hanya untuk makan dan mandi saja. Begitu terus setiap hari. 

Riri lagi mudik ke Cilacap. Tumben, biasanya kalo liburan kuliah atau weekend dia paling rajin ngajakin teman-temannya jalan. Kadang aku juga diajak, tapi seringnya aku nggak bisa ikut. Ya ke mal, bioskop, atau sekedar nongkrong di taman kota. Nggak betah di kamar, katanya. 

Aku akui, si tomboy ini memang encer otaknya. Tugas-tugas kuliah hampir semua bisa dikerjakan tanpa ada masalah. 

Aku yang memang tipe-nya pemalas, dengan sengaja memanfaatkan kelebihan Riri. Kalo ada tugas kelompok, aku langsung minta dia bergabung. Untungnya dia nggak menolak. 

Sejak presentasi kuliah tiga minggu lalu, aku dan Riri semakin sering ngobrol. Sebagai 'rasa terima kasih' atas kepintarannya, aku sering menraktirnya di kantin kampus. 

Dua hari sebelum libur semester, aku menraktirnya. Tapi yang bikin aku terkejut waktu itu, Riri bersikap agak lain dari sebelumnya. Ia sedikit lembut, dan jauh dari kesan yang biasanya tomboy. 

"Yud, aku mau ngomong sedikit."
"Kenapa, Ri?"
"Kita kan udah sering bareng..."
"Iya, kita sering ngerjain tugas kuliah bareng. Di kantin bareng."
"Bukan itu maksudku." 

Riri terdiam sejenak. Aku amat-amati wajahnya, penampilannya, yang memang hari itu tak setomboy biasanya. 

"Ya udah, ngomong saja," kataku.
"Gini, Yud. Setomboy-tomboynya diriku, tetap aku seorang cewek."
"Maksudnya apa, Ri?"
"Banyak temen yang nanyain aku. Sebenarnya aku dan kamu cuma teman biasa atau..."
"Ya memang kita berteman, kan? Bukan musuhan?" Aku mencoba sedkit bercanda, meredakan suasana yang agak berbeda waktu itu.
"Dengar dulu, Yud. Kamu kan tahu kalo masih sendiri saja sampai saat ini. Dan kamu juga sama, masih belum punya pacar."
"Lalau kenapa, Ri?"
"Masa kamu nggak tahu maksudku sih, Yud?" 

Obrolan di kantin kampus hari itu masih terngiang di pikiranku. Aku tahu Riri ada rasa kepadaku. Tapi nggak mungkin kalo cewek yang nembak ke cowok. 

Aku sebenarnya juga punya rasa yang sama. Tapi aku masih mencari saat yang tepat untuk mengatakannya. Mungkin suatu hari nanti. 

***

"Cappucino satu ya, Mas. Sama french-fries," pesanku.
"Baik, Mas. Mohon ditunggu." 

Akhirnya aku nggak betah terus-terusan di rumah. Sengaja aku nongkrong di kafe langgananku. Tempat waktu aku dan Riri bikin tugas presentasi dulu. 

Tak ada live performance malam ini. Sebagai gantinya, lagu-lagu digital diputar. Beat-beat menghentak dari lagu rock 80-an membakar suasana malam. 

"Ini, Mas, Cappucino dan french-fries."
"Ok, makasih. O ya, Mas, boleh lagunya jangan terlalu nge-rock?"
"Baik, Mas." 

Aku mulai menyeruput cappucino sambil melihat-lihat lini masa di Instagram. Seperti biasa, si ini pamer foto-foto naik gunungnya. Lalu si itu pamer makanan. 

Dan dengarlah sayangku
Aku mohon kau menikah denganku
Ya hiduplah denganku
Berbagi kisah hidup berdua

Aku dengar suara khasnya Glenn. Lagu Kisah Romantis ini termasuk yang aku suka. Setiap mendengarnya, hatiku seakan ikut melompat-lompat kegirangan seperti anak menjangan di lapangan Monas. 

Bosan membuka Instagram, aku beralih ke Twitter. Sengaja aku pantau trending topic dulu. Lagi-lagi K-Pop yang merajai urutan teratas. 

Sebuah pesan WhatsApp muncul, dari nomor yang tidak terdaftar di kontakku. 

"Slmat mlm mas yudha. Mf klo m'ganggu." 

Aku lihat foto profilnya. Hanya gambar sepeda motor matic warna merah, sementara nama tidak dicantumkan. 

"Mlm jg. Siapa y?" balasku. 

Tanda dua centang warna hitam. Beberapa detik belum juga berubah jadi biru. Aku tak ambil pusing, lantas aku ambil beberapa potong kentang goreng yang ada di hadapanku. 

"Ms yudha. Ini farid, adikx mb riri yg di clcap."
"O ya Farid. Ad apa y?
" 

Lagi-lagi, lama sekali centang birunya muncul. 

"Ms yudha. Mb riri lg d rmh skit. Ms yudha bs dtg ke cilacap?"
"Riri sakit ap? Ok aku ksana. Sharloc ya.
" 

Aku buru-buru menuju kasir dan membayar pesanan. Lalu keluar meninggalkan tempat itu. 

***

Jam sebelas siang aku tiba di Cilacap, langsung menuju rumah Riri. Pagi tadi Farid memberitahuku, Riri sudah tiada. 

Riri mengalami kecelakaan kemarin siang, dan dibawa ke rumah sakit. Setelah beberapa jam koma, Riri menghembuskan nafas terakhir jam 8.12 pagi ini. 

Aku tiba satu jam sebelum pemberangkatan jenazah ke pemakaman. Sambil didampingi Farid di sampingku, aku masih sempat melihat Riri untuk terakhir kali. 

Wajahnya begitu cantik, tak terlihat ketomboyannya sama sekali. Ada beberapa lebam yang masih terlihat di dahi dan dagunya. 

Aku terdiam. Tak ada sepatah kata yang mampu terucap oleh bibirku. Fragmen-fragmen muncul di pikiranku, saat kau dan Riri terakhir kali berbincang di kantin kampus. 

"Maafkan aku, Ri." 

Aku bergumam pelan. Ada penyesalan, mengapa ia begitu cepat pergi. Mengapa aku tak menjawab pertanyaanya di kantin kampus itu. Kini semuanya sudah terlambat. Maafkan aku, Ri. 

Jam satu siang jenazah Riri dikebumikan di pemakaman keluarga. Tangis keluarga langsung pecah saat tanah merah mulai menutupi liang lahat. 

Aku tak kuasa menahan haru, lalu mundur beberapa langkah ke belakang. Sambil menahan pedih, aku lantunkan doaku. 

Tuhan, bila masih ku diberi kesempatan. Izinkan aku untuk mencintanya. Namun bila waktuku telah habis dengannya, biar cinta hidup s'kali ini saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun