Riri lagi mudik ke Cilacap. Tumben, biasanya kalo liburan kuliah atau weekend dia paling rajin ngajakin teman-temannya jalan. Kadang aku juga diajak, tapi seringnya aku nggak bisa ikut. Ya ke mal, bioskop, atau sekedar nongkrong di taman kota. Nggak betah di kamar, katanya.Â
Aku akui, si tomboy ini memang encer otaknya. Tugas-tugas kuliah hampir semua bisa dikerjakan tanpa ada masalah.Â
Aku yang memang tipe-nya pemalas, dengan sengaja memanfaatkan kelebihan Riri. Kalo ada tugas kelompok, aku langsung minta dia bergabung. Untungnya dia nggak menolak.Â
Sejak presentasi kuliah tiga minggu lalu, aku dan Riri semakin sering ngobrol. Sebagai 'rasa terima kasih' atas kepintarannya, aku sering menraktirnya di kantin kampus.Â
Dua hari sebelum libur semester, aku menraktirnya. Tapi yang bikin aku terkejut waktu itu, Riri bersikap agak lain dari sebelumnya. Ia sedikit lembut, dan jauh dari kesan yang biasanya tomboy.Â
"Yud, aku mau ngomong sedikit."
"Kenapa, Ri?"
"Kita kan udah sering bareng..."
"Iya, kita sering ngerjain tugas kuliah bareng. Di kantin bareng."
"Bukan itu maksudku."Â
Riri terdiam sejenak. Aku amat-amati wajahnya, penampilannya, yang memang hari itu tak setomboy biasanya.Â
"Ya udah, ngomong saja," kataku.
"Gini, Yud. Setomboy-tomboynya diriku, tetap aku seorang cewek."
"Maksudnya apa, Ri?"
"Banyak temen yang nanyain aku. Sebenarnya aku dan kamu cuma teman biasa atau..."
"Ya memang kita berteman, kan? Bukan musuhan?" Aku mencoba sedkit bercanda, meredakan suasana yang agak berbeda waktu itu.
"Dengar dulu, Yud. Kamu kan tahu kalo masih sendiri saja sampai saat ini. Dan kamu juga sama, masih belum punya pacar."
"Lalau kenapa, Ri?"
"Masa kamu nggak tahu maksudku sih, Yud?"Â
Obrolan di kantin kampus hari itu masih terngiang di pikiranku. Aku tahu Riri ada rasa kepadaku. Tapi nggak mungkin kalo cewek yang nembak ke cowok.Â
Aku sebenarnya juga punya rasa yang sama. Tapi aku masih mencari saat yang tepat untuk mengatakannya. Mungkin suatu hari nanti.Â
***