Â
Ketika peraturan tentang DPO diberlakukan dengan harga begitu rendah, lebih dari separoh harga internasional, beberapa produsen dan eksportir CPO pun memilih lebih baik untuk sementara tidak berproduksi, sehingga akibatnya tidak ada alokasi CPO untuk kebutuhan dalam negeri dari mereka.
Akibatnya produsen minyak goreng kekurangan CPO, tidak bisa berproduksi, dan ujung-ujungnya minyak goreng pun semakin langka.
Selain itu penetapan mengenai DMO, DPO, dan HET minyak goreng tersebut justru memunculkan perdagangan black market.
Produsen minyak goreng yang tidak punya atau tidak terintegrasi dengan produsen sawit mengalami kesulitan memperoleh CPO dengan harga DPO. Karena produsen-produsen CPO yang tidak memproduksi minyak goreng juga kesulitan memenuhi DMO 20 persen hingga banyak yang terpaksa mengurangi produksi sawitnya atau untuk sementara berhenti berproduksi.
Produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan produsen CPO jika masih mau berproduksi terpaksa membeli CPO dari pasar gelap dengan harga di atas DPO (sekitar Rp. 18.000 per kilogram). Sehingga mereka tak mungkin bisa menjual produk minyak gorengnya ke distributor dengan harga di bawah Rp. 14.000. Dengan demikian dari distributor ke toko ritel dan sampai ke konsumen mustahil bisa dijual sesuai dengan HET Rp. 14.000.
Pilihannya adalah menurunkan kapasitas produksinya jauh dari kapasitas normal. Atau berhenti berproduksi untuk sementara waktu.
Ketika HET Rp. 14.000 diberlakukan secara mendadak, distributor yang mempunyai stok minyak goreng dengan harga modal lama (yang dibeli dari produsen), jauh di atas Rp. 14.000, tentu tidak mau merugi. Maka mereka menahan stoknya. Berhenti menyalurkan ke toko ritel atau pasar tradisional. Kalau disalurkan pun hanya dicicil sedikit-sedikit, hanya beberapa karton. Terkesan asal ada saja, Â tidak sampai terjadi kekosongan total.
Demikian pula dengan kondisi di pihak produsen. Produk minyak gorengnya yang sudah terlanjur diproduski dengan biaya tinggi (di atas Rp. 14.000 per liter), berhenti mengirim produknya ke distributornya. Karena mereka tidak mungkin menjual produknya ke distributor dengan harga di bawah biaya produksi dan pengiriman. Sedangkan distributor tentu tidak mau membeli dari produsen dengan harga mahal, lalu dijual ke pengecer dengan harga di bawah Rp. 14.000 per liter.
Tidak ada pengusaha yang mau merugi, apalagi dalam jumlah besar dan dalam tempo yang tidak tahu sampai kapan.
Kondisi inilah yang terungkap ketika Mendag Lutfi dan Satgas Pangan Polri melakukan inpeksi mendadak ke beberapa gudang distributor dan produsen, dan menemukan stok minyak goreng yang melimpah di sana. Â Seolah-olah telah terjadi praktik penimbunan dengan sengaja untuk menunggu harga tinggi baru mau dijual.