Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jangan Menolak Komjen Listyo Sigit Prabowo karena Agamanya

19 Januari 2021   12:04 Diperbarui: 19 Januari 2021   12:16 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon tunggal Kapolri, Komjen Listyo Sigit Prabowo (Foto - Antara)

Pada umumnya dari Kepolisian RI, pakar, politisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk KontraS sampai masyarakat luas dapat menerima Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri kelak menggantikan Jenderal Idham Azis, tanpa mempermasalahkan agama Kristen  yang dianut Listyo, termasuk termasuk dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammidyah.  

Bahkan dari beberapa petinggi generasi muda  di Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menyuarakan suara toleran,  dapat menerima pilihan Presiden Jokowi tersebut tanpa mempermasalahkan agama Listyo.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI, Ikhsan Abdullah Ikhsan menyatakan menerima calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Jokowi itu, dengan harapan Listyo harus dapat menguatkan harmoni antara pemerintah dengan masyarakat. Secara khusus, Polri harus membangun harmoni dengan umat Islam dan ulama.

Demikian juga dengan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI Pusat Zainut Tauhid Sa'adi yang mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi menunjuk Komjen Listyo Sigit Prabowo  sebagai calon tunggal Kapolri tunggal. Dia meminta masyarakat turut mendukung keputusan tersebut.

Yang menolak datang dari beberapa petinggi MUI angkatan tua "konservatif" dan "intoleran". Mereka menolak Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri, bahkan jauh sebelum Presiden Jokowi menentukan pilihannya. Apalagi faktor yang membuat mereka menolak Listyo, kalau bukan karena semata-mata faktor agama.

Menurut mereka, seorang Kapolri itu harus beragama Islam, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, jika Jokowi memilih Kapolri beragama bukanIslam itu merupakan suatu hal yang sangat aneh. Padahal yang aneh justru sikap mereka itu. Seolah-olah yang dipilih Jokowi adalah pimpinan sebuah lembaga dakwah agama Islam, padahal sangat jelas institusi Polri adalah alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Pada 25 November 2020, Wakil Ketua Umum MUI saat itu  Muhyiddin Junaidi (sekarang Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI), memberi pernyataan persnya, mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak memilih calon Kapolri yang bukan beragama Islam.

Pada 12/1/2021, atau sehari sebelum Jokowi memastikan pilihannya kepada Kombes Listyo Sigit Prabowo, Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas membuat pesan khusus tertulis kepada Presiden Jokowi, yang dia sebarkan ke berbagai kantor media.

Muhyiddin mengatakan, meskipun Indonesia bukan negara Islam, sangat aneh bila pemimpin aparat keamanan berlatar belakang nonMuslim memimpin penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

"Seorang pemimpin nonMuslim mengendalikan keamanan negara di mana mayoritas penduduknya Muslim adalah sebuah keanehan dan tugasnya pasti amat berat," kata Muhyiddin ketika itu.

Padahal, yang aneh justru pernyataan Muhyidin. Dia mengatakan, Indonesia bukan negara agama, tetapi pandangannya seolah-olah Indonesia itu negara agama. Ia mengatakan, Kapolri itu pimpinan aparat keamanan, terus apa hubungannya dengan ia harus beragama Islam? Apa hubungannya dengan penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam?

Tugas Kapolri memang sangat berat, tetapi bukan karena agamanya, melainkan karena berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban nasional. Untuk itu kita harus mendukungnya.

Muhyiddin menyebut wajar bila pemimpin di negara manapun memiliki agama yang sama dengan yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Contohnya seperti Amerika Serikat yang penduduknya mayoritas nonMuslim, maka presiden atau kepala aparat keamanannya juga mengikuti latar belakang nonMuslim.

Ia memprediksi akan banyak kendala psikologis yang akan dihadapi oleh pemimpin beragama nonMuslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Yang aneh itu bukan jika ada seorang Kapolri beragama bukanIslam, tetapi justru sikap yang mempermasalahkan hal tersebut. Karena tidak sesuai dengan konstitusi, dan bertentangan dengan fakta bahwa Indonesia bukan negara agama. Sesuatu yang bukan masalah dipermasalahkan, sesuatu yang tidak berkaitan dengan agama, dikait-kaitkan dengan agama, masyarakat luas tidak mempermasalahkannya, mereka yang mempermasalahkannya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sama sekali tidak menentukan syarat menjadi Kapolri harus beragama tertentu, termasuk Islam. Hal tersebut sangat wajar karena lembaga Polri adalah alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), bukan lembaga agama, bukan lembaga dakwah. Ia tidak mengurus tentang agama.

UUD 1945 juga menjamin bahwa semua WNI mempunyai hak dan kewajiban yang sama baik sebagai masyarakat biasa, maupun sebagai pejabat negara.

Juru bicara Kompolnas Poengky Indarty mengatakan, dalam menentukan siapa yang layak dicalonkan sebagai Kapolri, agama tidak pernah dijadikan bahan pertimbangannya, setiap perwira Polri dengan agama apapun memiliki kesempatan sama.

"Kompolnas berpegang pada track record dan prestasi. Integritas juga jadi bagian yang penting. Tapi kalau agama tidak menjadi pertimbangan," kata Poengky (24/11/2021).

Dalam sejarahnya, Polri juga pernah dipimpin dua kali oleh Kapolri beragama Kristen. Yang pertama adalah Jenderal Pol Soetjipto Danoekoesoemo, yang merupakan Kapolri ketiga Indonesia. Masa jabatannya dari tahun 1963-1965. Ia meninggal dunia pada  1998.

Yang kedua adalah Jenderal Pol. Widodo Budidarmo. Ia merupakan Kapolri ketujuh Indonesia. Masa jabatannya dari tahun 1974-1978. Ia meninggal dunia pada 5 Mei 2017, dalam usia 89 tahun.

Jadi, Kombes Listyo Sigit Prabowo kelak jika sudah dilantik akan menjadi Kapolri, akan menjadi Kapolri beragama Kristen ketiga yang pernah dimiliki Indonesia.

Untuk memperkuat argumennya Muhyiddin membandingkan kondisi di Amerika Serikat, menurutnya di sana, karena penduduknya mayoritas nonMuslim (Kristen), maka (semua) pemimpinnya pun nonMuslim, termasuk di kepolisian.

Tetapi ia tidak membandingkan dengan kota London, Inggris, yang meskipun penduduknya mayoritas Kristen, tetapi mereka memilih wali kotanya seorang Muslim, yaitu Sadiq Khan. Sadiq Khan yang juga beretnis India, menjabat sebagai Wali Kota London sejak 2016 sampai sekarang. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Transportasi Inggris (2009 -- 2010).

Di Amerika Serikat pun, ada kepala polisi yang beretnis Turki dan beragama Islam. Yaitu di kota Paterson, New Jersey. Namanya Ibrahim "Mike" Baycora. Ia dilantik dengan sumpahnya dengan Al Quran sebagai Kepala Polisi ke-17 kota Paterson, pada tanggal 4 Februari 2020.

**

Pada Selasa, 12 Januari 2020, Wakil Ketua MUI yang baru terpilih Anwar Abbas membuat pesan peringatan tertulis khusus untuk Presiden Jokowi tentang calon Kapolri, yang ia sebarkan ke berbagai media.  Pesan khusus Anwar Abbas ini lebih ekstrim, karena mengaitkannya dengan tudingan Pemerintahan Jokowi yang sering mengkriminalisasi ulama, dan memusuhi Islam.

Di dalam peringatannya itu Anwar Abbas mengingatkan, Jokowi agar dalam menjalankan wewenangnya menentukan calon Kapolri  itu tidak hanya dengan pertimbangan kedekatan, loyalitas dan profesionalitas saja, tapi harus lebih luas dari itu yaitu, mana yang lebih besar maslahat dan manfaatnya bagi bangsa dan negara.

"Apalagi akhir-akhir ini seperti kita ketahui, hubungan antara Pemerintah dan umat Islam agak terganggu karena ada sebagian umat Islam yang melihat bahwa di negeri ini sekarang telah terjadi kriminalisasi terhadap ulama," katanya.

Menurut Anwar, meskipun Pemerintah menolak anggapan tersebut, tapi sikap dan pandangan ini tentu tidak boleh dianggap enteng oleh Pemerintah karena bisa menjadi seperti api di dalam sekam.

"Apalagi kalau seandainya sebagian besar umat Islam merasa terus menerus disakiti dan dikecewakan, ditambah lagi dengan persoalan krisis kesehatan karena Covid-19 yang tidak jelas kapan berakhirnya dan juga krisis ekonomi yang cukup berat yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara ini maka tentu tidak mustahil berbagai kemungkinan yang tidak kita inginkan akan bisa terjadi."

Sebagai anak bangsa, dirinya merasa khawatir penunjukan Kapolri baru bila salah pilih akan melahirkan reaksi yang tidak baik bagi perkembangan kehidupan bangsa ke depan.

"Saya berharap dalam penunjukan dan penetapan seorang Kapolri di tengah-tengah situasi seperti ini, tentu saja Presiden sangat diharapkan dan dituntut kearifannya untuk bisa memilih sosok seorang Kapolri yang bisa diterima oleh masyarakat secara luas agar kita sebagai bangsa bisa berkonsentrasi penuh di dalam mengatasi masalah yang sangat-sangat berat yang kita hadapi saat ini, yaitu mengatasi Covid-19 dan krisis ekonomi yang sangat memerlukan persatuan dan kesatuan dari seluruh warga bangsa."

Bukan hanya kali ini, MUI pernah menolak Listyo Sigit Prabowo karena faktor agamanya.

MUI juga sudah pernah menolak Listyo di Banten, yaitu ketika ia hendak dilantik oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolda Banten yang baru, menggantikan Brigjen Pol. Ahmad Dofiri.

Ketika itu, MUI Banten didukung MUI Pusat, menulis surat keberatan kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian, isinya meminta Tito membatalkan Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolda Banten, alasannya semata-mata karena Listyo beragama Nasrani.

"Kami minta agar Kapolri bisa menyesuaikan dengan kondisi wilayah. Banten ini kan sembilan puluh persennya orang Islam, pejabatnya, ya harus orang Islam," tulis Mahmudi ketika itu.

Dia menjelaskan, permohonan tersebut bukan hanya berasal dari MUI Kota Serang, melainkan MUI dari delapan kabupaten/kota di Banten. Menurutnya, jika Kapolda Banten dipimpin oleh seorang nonMuslim, maka akan menemukan kesulitan saat berkomunikasi dan sinergi dengan para tokoh ulama.

Faktanya, kekhawatiran itu tidak terbukti. Meskipun, sebagaimana yang pernah diakui sendiri oleh Listyo Sigit Prabowo, saat ia mulai menjabat sebagai Kapolda Banten, memang suasana Banten sempat "panas".

Panasnya suasana tersebut justru dikarenakan sikap MUI Banten dengan para pendukungnya yang memanas-manasi suasana dengan nuansa agama untuk menolak Listyo sebagai Kapolda Banten. Seiring berlalunya waktu, Listyo terbukti sanggup menjalani jabatannya dengan  baik sampai pada akhir masa jabatannya.

Listyo Sigit Prabowo menjabat sebagai Kapolda Banten mulai 5 Oktober 2016 sampai dengan 13 Agustus 2018. Salah satu prestasinya adalah sukses mengamankan Pilkada Banten 2017.

Sebelum menjadi Kapolda Banten, Listyo Sigit Prabowo juga pernah menjadi Kapolres Pati (2009), Kapolres Sukoharjo (2010), dan Kapolres Solo (2011), semuanya di kota yang mayoritas besar penduduknya beragama islam. Tidak ada masalah.

Pada Agustus 2018, pangkat Listyo Sigit Prabowo dinaikkan menjadi Inspektur Jenderal (Irjen).

Pada 2018 itu juga ia dipromosikan menjadi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri. Lalu, pada Desember 2019 dipercaya sebagai Kepala Bareskrim Polri menggantikan  Jenderal Idham Azis yang diangkat menjadi Kapolri menggantikan Jenderal (Purn) Tito Karnavian yang diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Dalam Negeri.

Sekarang, saat Listyo Sigit Prabowo dicalonkan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi, lagi-lagi ada beberapa petinggi MUI khususnya generasi tua "konservatif" menolak dengan alasan yang sama: karena agama Listyo.

Melihat dari aspek tupoksi MUI saja sangat aneh dan tidak pada tempatnya MUI ikut-ikutan "mengurus" tentang calon Kapolri, seolah-olah mau mengeluarkan fatwa bahwa Kapolri nonMuslim adalah haram. Padahal memilih dan mengangkat seorang Kapolri sepenuhnya merupakan urusan ketatanegaraan, merupakan hak prerogatif Presiden (dengan persetujuan DPR), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di dalam Undang-Undang Polri tersebut agama bukan syarat untuk menjadi Kapolri, hal tersebut sangat wajar karena institusi Polri adalah alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) secara nasional, bukan lembaga agama atau lembaga dakwah.

Perpektif tersebut  bukan perpektif kebangsaan. Bertentangan dengan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Anwar Abbas mengatakan, Presiden Jokowi dalam memilih calon Kapolri hendaknya tidak hanya dengan pertimbangan kedekatan, loyalitas dan profesionalitas saja, tapi harus lebih luas dari itu yaitu, mana yang lebih besar maslahat dan manfaatnya bagi bangsa dan negara.

Hal tersebut sesungguhnya yang telah dilakukan oleh Jokowi dalam pertimbangannya sampai dengan memutuskan siapa calon Kapolri yang tepat itu, sebaliknya penolakan yang dilakukan oleh MUI tersebut justru mempersempitkannya, yaitu secara eksklusif lebih kepada kepentingan golongan mereka sendiri yang intoleran. Karena tidak suka dengan calon Kapolri yang bukan agama Islam, maka mereka menolak Listyo. Padahal tidak ada korelasi antara jabatan Kapolri dengan agama apa yang dianutnya.

Syarat untuk menjadi Kapolri diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tak ada syarat harus beragama Islam di dalam Undang-Undang tersebut.

Mengenai tuduhan kepada Pemerintahan Jokowi yang memusuhi umat Islam dan mengkriminalisasi ulama, dan memusuhi umat islam

Apakah menurut Anwar Abbas (MUI) anggapan tersebut benar?

Jika menurut Anwar Abbas (MUI)  anggapan tersebut salah -- dan memang sangat salah, -- adalah seharusnya mereka memberi edukasi kepada sebagian umat Islam itu bahwa anggapan itu sangat keliru. Bukan malah terkesan mengakomodirnya, membiarkan ketidakbenaran tersebut seperti api dalam sekam, dan bahkan terkesan memanfaatkan sebagai pembenaran sikap intoleran mereka.

Apakah benar "sebagian besar umat Islam" merasa tersakiti karena menganggap pemerintah telah mengkriminalisasi ulama? Saya yakin tidak. Bukan sebagian besar umat Islam, tetapi hanya segelintir yang beranggapan demikian, karena mereka terprovokasi dengan informasi-informasi yang sengaja dimanipulasi. Tidak ada yang namanya pemerintah mengkriminalisai ulama, yang terjadi adalah penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan perbuatan melanggar hukum.

Pemerintah tidak pernah dan tidak mungkin memusuhi Islam. Bagaimana bisa Pemerintah dituduh  memusuhi dan menyakiti umat Islam sedangkan Presidennya sendiri beragama Islam yang taat. Bahkan Wakil Presiden Ma'aruf Amin adalah tokoh besar Islam di Indonesia, mantan Ketua Umum MUI sendiri, sekarang Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, para menterinya sampai dengan kepala-kepala desanya kebih dari sembilan puluh persen beragama islam.

Pemerintah tidak mungkin memusuhi Islam karena selain di Pemerintah sendiri mayoritas besar adalah umat Islam itu sendiri, juga penduduk Indonesia lebih dari 90 persen adalah umat Islam. Indonesia adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Ada pula dua organisasi Islam sangat berpengaruh di Indonesia dan terbesar di dunia di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, ada ribuan ormas Islam lainnya yang tumbuh kembang di Indonesia.

Sebaliknya Pemerintah (Presiden Jokowi)  sangat besar perhatiannya terhadap Islam di Indonesia. Buktinya-buktinya banyak sekali. Penetapan Hari Santri Nasional yang jatuh pada setiap tanggal 22 Oktober, yang ditetapkan Jokowi pada 22 Oktober 2015, adalah salah satu contohnya.

Bukti-bukti lain, misalnya, perhatian Jokowi terhadap ekonomi berbasis syariah, dengan pada 3 November 2016 meneken Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), yang kemudian dicabut dan ubah dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

KNEKS adalah lembaga non-struktural yang dipimpin oleh Presiden sebagai ketua dan Wakil Presiden sebagai ketua harian, dengan misi  akan menjadikan Indonesia sebagai pusat Ekonomi Syariah terkemuka dunia pada tahun 2024.

Pada 29 Juni 2016, dengan Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016, Presiden Jokowi menetapkan pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) atau International Islamic University Indonesia (IIUI). UIII diproyeksikan sebagai perguruan tinggi Islam berstandar Internasional yang akan menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam bidang studi agama Islam, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan sains teknologi.

Adalah berkat lobi-lobi intens dari Jokowi pula, maka kuota bagi jemaah haji Indonesia yang dikurangi Pemerintah Arab Saudi kembali dinormalkan, setelah sempat dipangkas 20 persen akibat renovasi Masjidil Haram.

Pada KTT Arab-Amerika Serikat, 21 Mei 2017, Jokowi mengajak para pemimpin yang hadir untuk berhenti melihat Islam sebagai musuh, terutama dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak terorisme.

Pada Kamis, 7 Januari 2021, Presiden Jokowi telah meresmikan diselesaikannya renovasi masjid terbesar di Asia tenggara, Masjid Istiqlal. Renovasi tersebut menelan biaya sebesar Rp. 511 miliar, melibatkan 1000 pekerja, dikerjakan dalam waktu 14 bulan.

Presiden Jokowi sendiri diakui sebagai salah satu tokoh Islam yang paling berpengaruh di dunia.

Pusat Pembelajaran Strategis Kerajaan Islam di Amman, Yordania, Desember 2020 lalu kembali merilis buku publikasi tahunan "The Muslim 500" untuk tahun 2020, yang berisi 500 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia. Jokowi berada di urutan 13 para tokoh Islam dunia tersebut, persis di bawah Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamid Al-Thani.

Sejak 2016 sampai dengan yang terbaru (2020) Jokowi selalu masuk 20 besar tokoh Islam dunia menurut versi Pusat Pembelajaran Strategis Kerajaan Islam di Yordania tersebut.

Daftar Top 50 muslim paling berpengaruh di dunia versi publikasi The Muslim 500 untuk edisi tahun 2012, Presiden Jokowi ada di urutan ke-13.

**

Dengan fakta-fakta tersebut di atas sungguh tidak masuk akal menuduh Pemerintah memusuhi dan menyakiti umat Islam. Tidak mungkin juga Pemerintah mengkriminalisasi ulama. Kalau ada orang berpredikat ulama yang diproses hukum, ditahan, sampai divonis penjara, maka itu karena perilaku oknum itu sendiri yang melanggar hukum, yang tidak mencerminkan perilaku ulama sebagaimana mestinya.

Ulama dari agama apapun tetap saja adalah manusia biasa, yang bisa saja melakukan tindak pidana, dan semua orang sama di hadapan hukum, siapa pun dia jika melanggar hukum, berbuat kejahatan, maka harus menanggung konsekuensi hukumnya. Yang dihukum bukan ulamanya, tetapi orangnya yang melakukan tindak pidana tersebut.

Adalah fakta pula bahwa ada beberapa tokoh yang karena perilaku dan perbuatannya lebih menunjukkan dia seorang kriminal daripada seorang ulama. Ia kerap melakukan perbuatan melanggar hukum/tindak pidana,  dalam dakwah/ceramahnya sering  memprovokasi pengikutnya dan masyarakat dengan hasutan-hasutan kebencian SARA, kabar bohong dan hasutan-hasutan untuk memberontak (makar) Pemerintah yang sah.

Adalah fakta bahwa ada tokoh-tokoh tertentu berpredikat ulama yang dari perilaku dan tindakannya jauh dari karakter ulama yang sejati, karena kerap melakukan pelanggaran hukum, seperti hasutan-hasutan kebencian SARA, penganiayaan, bahkan sampai pada upaya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain (khilafah), hingga kejahatan terorisme.

Terhadap yang begini tentu tidak tepat masih layak disebut ulama. Jika Pemerintah dan aparat kepolisian melakukan tindakan tegas terhadap mereka berdasarkan hukum yang berlaku, sama sekali tidak dapat disebut sebagai "kriminalisasi ulama". Sebaliknya janganlah tetap menganggap mereka layak disebut ulama. Jangan "mengulamakan" pelaku kriminal, lalu menuduh pemerintah melakukan kriminalisasi ulama, apalagi memusuhi Islam.

Yang sebenarnya terjadi adalah atas nama hukum dan demi kesatuan dan persatuan bangsa Pemerintah melalui alat negara Kepolisian RI bilamana perlu dibantu TNI akan selalu menindak dengan tegas siapa saja, termasuk mereka sebagai individu dengan predikat ulama, maupun ormas yang hanya menggunakan agama untuk membenarkan tindakan pelanggaran hukum, premanisme, penghasutan, sampai terorisme.

Mayoritas ulama Indonesia adalah ulama yang sejati, karena mereka mendakwah agama yang benar, penyampaian ajaran-ajaran agama yang sejuk, damai, pemaaf, kasih di antara sesama, meskipun berbeda keyakinan, bahkan mengayominya. Sehingga mereka bukan hanya didengar dan dicintai oleh umat Islam saja, tetapi juga oleh umat agama lain.

Gus Dur merupakan salah satu contoh ulama pembawa kesejukan, kedamaian, persatuan dan kesatuan yang sudah melegenda lintas agama, golongan dan etnis. Dicintai dan dihormati bukan hanya umat Islam, tetapi juga umat agama lain.

Almarhum Syeikh Ali Jaber, sekadar menyebutkan contoh lain. Dakwah-dakwahnya yang sejuk enak didengar, karena membawa kasih dan persaudaraan, terasa sejuk di hati,  sampai hinggap di hati umat agama lain.

Ulama-ulama sejati seperti itu tidak pernah berurusan dengan hukum karena mereka tidak pernah melakukan tindakan apapun yang melanggar hukum.

Fakta-fakta tersebut mematah semua argumen yang diajukan oleh dua petinggi MUI tersebut di atas, Muhyiddin Junaidi dan Anwar Abbas. Tidak ada yang namanya kriminalisasi ulama oleh pemerintah, maupun tindakan-tindakan yang disengaja pemerintah menyakiti umat Islam.

Kita berharap Anwar Abbas, dan juga Muhyiddin Junaidi sebagai petinggi MUI  bersikap lebih arif dalam melihat sosok calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai bagian dari anak bangsa yang mempunyai kesempatan yang sama dengan WNI lainnya untuk menjadi seorang Kapolri. Tidak usah dibenturkan dengan masalah agama yang sesunguhnya memang tidak ada korelasinya.

Masyarakat luas justru bisa menerima Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri, yang tidak bisa menerimanya justru hanya segelintir yang suaranya seperti yang diwakili oleh dua petinggi MUI itu.

Jadi tidak usah mempermasalahkan hal yang bukan masalah itu, jangan sampai membuat beban bangsa yang sudah sangat berat dengan masalah Covid-19 ini ditambah lagi beratnya dengan masalah-masalah primodialisme yang tidak perlu, seperti mempermasalahkan Kapolri hanya karena faktior agama.

Pemahaman dan wawasan  seperti itulah yang seharusnya disampaikan kepada "sebagian umat Islam yang merasa tersakiti karena menganggap pemerintah mengkriminalisasi ulama, dan memusuhi Islam", yang dijadikan argumen oleh Muhyiddin Junaidi dan Anwar Abbas untuk menolak Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri. 

**

Sebelum Presiden Jokowi memilih Komjen Kabareskrim Listyo Sigit Prabowo  sebagai calon tunggal Kapolri, yaitu dengan Surat Presiden (Surpres) yang telah diterima DPR pada 13/1/2021, pada 7/1/2021 Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah mengirim nama lima nama unggulan calon pemimpin Korps Bhayangkara itu untuk dipilih kepada Presiden Jokowi, selain Komjen Listyo Sigit Prabowo, empat nama lainnya adalah Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komjen Arief Sulistyanto, dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen Agus Andrianto.

Kompolnas tentu saja tidak sembarang mengajukan lima nama unggulan  tersebut. Mereka pasti mempunyai rekam jejak, prestasi, dan kemampuan untuk layak sebagai Kapolri. Tetapi pilihan akhir berada di tangan Presiden. Presiden Jokowi tentu mempunyai kriteria tertentu untuk menentukan siapa yang paling ia inginkan sebagai Kapolri berdasarkan hak prerogatif Presiden dengan pertimbangan obyektif, maupun subyektifnya. Pilihan itu sudah ia jatuhkan kepada bekas Komjen Listyo Sigit Prabowo.

Pertimbangan obyektif berdasarkan rekam jejak dan prestasi yang dimiliki Listyo, seperti keberhasilannya menangkap dan membawa pulang dari Serbia, Maria Pauline Lumowa, buronan kakap pembobol Bank BNI sebanyak Rp. 1,7 triliun, yang telah buron selama 17 tahun, dan buronan kakap lainnya terpidana kasus cessie Bank Bali, yang telah buron selama 11 tahun, Djoko Tjandra.

Sedangkan pendekatan subyektif adalah faktor kedekatan Jokowi dengan Listyo yang membuat ia semakin dipercaya sebagai Kapolri. Diketahui pada 2011 saat Jokowi Wali Kota Solo, Listyo Kapolres Solo. Sebagaimana lazimnya terjadilah hubungan kerjasama keamanan dan ketertiban kota antara kepala daerah dengan Kapolres.  

Salah satu kasus yang menonjol ketika itu adalah terjadinya peristiwa bom bunuh diri  di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Kepunton, Solo. Peristiwa tersebut, menewaskan pelaku dan melukai sembilan orang yang berada di sekitar gereja.

Pada 2014 saat Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, ia menarik Listyo sebagai ajudannya. Listyo menjadi ajudan Presiden Jokowi selama dua tahun.

Faktor "nilai tambah" pada Listyo yang membuat ia yang dipilih Jokowi diduga adalah karena keduanya sudah saling mengenal dekat, sehingga Jokowi merasa adanya chemestry di antara mereka dia dengan Listyo. Sehingga dengan demikian visi dan misi Jokowi dapat dilaksanakan dengan sebaik mungin oleh Listyo, sebaliknya masukan-masukan Listyo tentang masalah keamanan dan penangaannya juga bisa diterima Jokowi.

Kedekatan hubungan keduanya itu juga memang wajar menimbulkan kekhawatiran adanya konflik kepentingan, tetapi saya dan juga banyak orang percaya terhadap integritas Jokowi dan Listyo dalam menjalankan tugas jabatannya masing-masing. Kedekatan hubungan keduanya justru akan menjadi nilai tambah dalam menjalankan visi dan misi untuk memajukan Polri, mengayomi rakyat, penegakan hukum secara tegas dan seadil-adilnya.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, DPR mempunyai waktu 20 hari terhitung dari diterimanya Surpres tentang nama calon Kapolri yang dipilih Presiden, untuk menentukan setuju atau tidak setuju dengan calon yang dipilih Presiden itu.

Kamis (14/1/2021) Komisi III DPR telah menggelar rapat bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengetahui transaksi keuangan Komjen Listyo Sigit Prabowo dan anggota keluarganya, sampai pada teman dekatnya. Menurut Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni, sejauh ini semua transaksi keuangan Listyo dengan keluarganya tersebut tergolong wajar.

Senin (18/1), Listyo menjalani kewajiban membuat makalah, dan Rabu (20/1) akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR.

Meskipun DPR belum menentukan sikapnya, sudah hampir dapat dipastikan bahwa DPR akan menyetujui Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru. Itu terindikasi kuat dari berbagai pernyataan pendapat beberapa anggota DPR tentang sosok Komjen Listyo Sigit Prabowo.

Misalnya, Ketua Komisi III DPR Herman Hery tentang sosok Listyo Sigit Prabowo, menilai, calon tunggal Kapolri itu sebagai figur Jenderal muda yang reformatif, yang diharapkan akan membawa pembaruan di tubuh Polri. "Jenderal muda ini bisa menjadi seorang pemimpin Polri yang negarawan, yang bisa mengakomodasi semua pihak." (dht).

(dht)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun