Sebenarnya, saya cukup berpengalaman menghadapi gadis milenialis nyaris eksentrik semacam Anggi. Mahasiswi jurusan hokum yang sekarang tampaknya lebih focus pada pengembangan bisnis media sosialnya daripada pendidikan. Tapi, sebagai pemandu wisata yang punya pengalaman tiga bulan dan harus menghadapi gadis rewel ini tampaknya menjadi tantangan tersendiri.
Setiap kali berbicara, Anggi masih sempat menyisipkan pasal -- pasal yang mungkin saya langgar demi membela dirinya sendiri. Anggi membawa Kanaya bersamanya, adik kelas beda dua semester yang semua biaya ditanggung oleh seniornya.
Terlebih lagi, Kanaya mendapat keuntungan lain sebab menurut cerita mereka Anggi punya kedekatan khusus dengan salah satu asisten dosen yang mengajar di mata kuliah Kanaya, semacam nepotisme terselubung agar Anggi tidak "kesepian" dalam perjalanannya.
Berbeda dengan Anggi yang sama sekali tidak perduli dengan pengetahuan yang akan dia dapatkan dalam perjalanan ini, saya juga harus membawa Fred. Pria yang menghabiskan waktunya untuk ilmu alam, dan hamper mengenal semua spesies yang kami temukan didalam hutan. Didalam perjalanan ini, Fred yang berkebangsaan Belanda itu lebih mengambil peran sebagai pemberi pengetahuan daripada saya.
Kanya beberapa kali mengangguk tidak mengerti dengan penjelasan Fred, sedangkan Anggi lebih sibuk mengambil gambar dirinya untuk sekedar dipublikasikan di media social.
Selain itu, saya juga bertanggung jawab atas keluarga kecil Lukman dan Prita. Pasangan muda itu hadir disini, dihutan ini bersama anak mereka Kevin yang masih berusia delapan tahun.
Sebelum perjalanan pagi hari tadi, Prita berulang kali mengingatkan saya kalau anaknya penderita ashma. Saya hendak protes, sebelum Prita melanjutkan kalau mengenal dunia luar seperti hutan cukup membantu masalah kesehatan anaknya. Fred pun memberi pembelaan kecil mengatakan hutan yang hijau itu akan membantu Kevin.
Mereka sama sekali tidak berucap tentang kemungkinan si kecil keletihan dalam perjalanan. Seolah -- olah Prita sudah mempersiapkan semua perbekalan, seolah -- olah wanita itu cukup berpengalaman.
Saya dibantu Her sebagai supir sekaligus asisten. Her sendiri punya riwayat penyakit jantung, berulang kali saya meminta Her untuk bertahan di penginapan agar digantikan oleh salah satu karyawan penginapan saja. Karyawan penginapan setuju, Her tidak. Jadilah, kami berdelapan berada disini dihutan belantara yang saya yakin Fred lebih memahami kondisinya daripada Her apalagi saya.
Masalah muncul, ketika hendak kembali ke penginapan bus tua yang kami tumpangi mogok dijalan. Hari semakin gelap, matahari mencoba meninggalkan langit dan rembulan bersiap menggantikan menyinari bumi. Semua orang panic, Fred tidak. Anggi justru sibuk merekam keadaan, untuk kemudian dibagikan pada dunia. Kanya mulai bercerita tentang ketakutannya akan kegelapan. Prita sedikit lebih membingungkan saya, wanita itu lebih cemas esok tidak bisa ke Jakarta sebab akan mengahidiri kompasianival -- entah acara apa itu -- daripada kondisi anaknya yang mulai kringat dingin.
Her mencoba mencari titik masalah pada bus, saya mencoba menghubungi pihak penginapan untuk diberi sedikit bantuan. Her menyerah, saya belum. Pihak penginapan akan mendatangkan satu kendaraan lain untuk menjemput, mereka tidak lupa mengatakan bahwa kendaraan yang akan dating hanya sanggup membawa empat penumpang selain supir. Selain itu, karena jalan yang akan segera gelap, siapapun yang akan menjemput kami tidak mungkin datang sendiri. Artinya siswa tiga tempat, sebab supir harus ditemani satu orang lainnya.
"Udah gelap, kita ga balik ke penginapan" Anggi berhenti memainkan ponselnya, seolah -- olah baru saja sadar kalau dirinya terjebak didalam bus yang berhenti beroprasi.
"saya perlu kedalam, mau buang air" Fred, sebenarnya saya mulai akan mengandalkan lelaki tua itu, tapi dia pergi tanpa aba -- aba dari saya.
"Bus-nya mogok, kita akan dijemput mobil dari penginapan sekitar dua jam lagi" kata saya, berusaha tidak memperdengarkan suara panic dari saya sendiri.
"apaaaaa... dua jam?" Kanaya berontak kali ini
Saya tidak bisa mengontrol keadaan yang semakin riuh. Prita sesekali memperhatikan Kevin, tapi dari raut wajahnya wanita itu jelas lebih khawatir akan ketinggalan pesawat besok pagi.
"tenang... tenang... kita pasti bisa keluar dari sini" kata Lukman berusaha membantu, walaupun ucapannya tidak cukup membantu juga sebenarnya.
Kevin semakin tidak terkontrol, kali ini ashmanya kambuh. Kanaya yang didalam tasnya hanya ada kacang -- kacangan mencoba memberikan kepada Kevin. Anggi juga mencoba memberi cokelat yang dia miliki pada siswa Sekolah Dasar itu.
"Kalian gila?!!!" Prita mengamuk "anak saya ini kena ashma, kalau dikasih makan begituan makin parah yang ada"
"mereka hanya mencoba membantu" kata Lukman mencoba menenangkan Prita
Fred belum kembali, ketika saya mencoba menghubungi penjaga pintu hutan konservasi dan dia bersedia untuk menjemput menggunakan sepeda motor miliknya. Waktu yang dibutuhkan pria itu sepuluh menit. Sekarang saya harus menggunakan pikiran, siapa yang harus diselamatkan penjaga itu, dan siapa yang kembali ke penginapan.
Suara sepeda motor mendekati kami tepat pada pukul 17.50. Pria dengan badan tangguh mirip koboi Amerika menunggangi sepeda motor itu.
"siapa yang pertama" katanya tanpa basa -- basi. Saya jelas belum siap dengan pertanyaan itu.
Membiarkan Kevin menjadi yang pertama, bisa jadi berdampak buruk. Saya khawatir diperkampungan yang sebenarnya jaraknya hanya sepuluh menit perjalanan tidak ada yang paham cara menangani ashma yang dideritanya.
Saya melihat Prita yang mencoba membongkar isi tas Fred.
"Hey... apa yang anda lakukan?" Kata saya protes
"Dia belum kembali, dia pasti membawa persediaan obat untuk keadaan seperti ini" Prita membela diri
"Kamu..."
"Obatnya ketinggalan di penginapan" Lanjut Prita sebelum Lukman selesai berbicara.
Kanaya dan Anggi hanya terdiam, Her berdiri membelakangi bus penuh penyesalan. Sejenak Prita tampaknya mendapatkan apa yang dia butuhkan, dan memberikannya kepada Kevin.
"Biar kamu duluan yang ke perkampungan, ibu menyusul" Prita berharap sambil menatap kepada saya.
"tidak ... tidak... saya tidak mau terjebak dalam gelap, bu Prita tidak bisa memutuskan sendiri" Kanaya merasa lebih berhak menjadi yang pertama.
"tunggu... saya belum ngetwit sejak seharian, belum update instagram dan facebook... kalau orang -- orang yang mengenal saya berpikir saya mati bagaimana? Saya yang seharusnya lebih dulu sampai disana" Kali ini giliran Anggi yang protes.
"Saya memilih, Kevin yang pergi terlebih dahulu... kemudian Prita, selanjutnya Kanaya dan Anggi" saya memberi keputusan.
"tidak... tidak mungkin" Anggi mengambil alih pembicaraan "menurut perhitungan saya, mobil akan sampai disini dalam waktu dua jam, kalau saya yang terakhir diangkut motor jelek itu sama saja saya menunggu mobil yang akan datang... saya tidak mau"
"lagi pula, apa anak kecil ini bisa hidup sendiri selama tiga puluh menit kedepan?" kata Anggi lagi.
Anggi tidak salah, artinya saya harus memperhitungkan keadaan dengan lebih cermat. Tapi Kevin bisa saja menjadi panic sewaktu -- waktu dan berakibat fatal. Begitu pula Her, yang baru saja menyisip ke pikiran saya setelah melihat wajahnya mulai pucat.
"Biarkan bapak itu duluan, tampaknya dia lebih membutuhkan suasana yang tenang" kata Lukman pada akhirnya "Kevin, selama masih ada saya dan ibunya, semua masih terkendali"
Anggi dan Kanaya terpaksa setuju, khawatir kalau -- kalau justru Her yang badannya sebenarnya lebih besar dairapada kami semua itu justru mengalami serangan jantung dadakan setelah saya ceritakan keadaannya.
Kanaya mulai sibuk menyalakan senter lewat telepon genggamnya. Anggi mondar -- mandir mengatasi kepanikannya. Sedangkan Prita mencari alternative lain untuk menyelamatkan Kevin lewat ponselnya yang terhubung ke Internet. Fred... belum juga kembali.
Pukul 18.00, hari menjadi gelap. Kami memutuskan menunggu bantuan didalam bus, menghindari serangan binatang buas yang kapan saja bisa terjadi. Dan saya, harus mulai mencari Fred.
"Bagaimana dengan Fred" kata Lukman
"Tidak bisa dihubungi" jawab saya
"Hpnya jatuh waktu didalam hutan tadi" Kanaya menjawab seenaknya.
"Saya harus keluar" kata saya lagi "saya harus mencari Fred"
"tidak..." Prita yang berbicara kali ini "dia cukup berpengalaman pastinya didalam hutan, kita tidak bisa kehilangan satu orang lagi malam ini"
Pukul 18.20
Penjaga pintu hutan konservasi kembali, kali ini dia tidak sendiri. Datang bersama satu orang lainnya untuk menjemput kami dengan sepeda motor. Kevin dan Prita menjadi dua orang yang harus terselamatkan terlebih dahulu. Ketakutan Kanaya pada gelap, masih terbantu dengan cahaya remang senter ponsel yang batrenya mulai menipis itu. Tapi Kevin, bisa kapan saja menjadi lebih buruk kondisinya. Dan kami semua sepakat, Kevin seharusnya ditemani Ibunya. Fred belum kembali.
Pukul 18.50
Kali ini sebuah mobil hadir siap membantu. Dibelakangnya penjaga pintu hutan konservasi dan temannya itu mengikuti. Lukman, Anggi dan Kanaya menumpang didalam mobil untuk sampai ke perkampungan tempat Prita, Her dan Kevin menunggu. Sedangkan saya bersama dua orang tersisa mencari keberadaan Fred.
Pukul 21.00
Kami menemukan Fred lewat api yang dibuatnya ditengah hutan. Fred berlasan, dia tidak bisa kembali sebab petunjuk jalan yang dibuatnya tidak terlihat. Sehingga dia nyasar dan menunggu bantuan dengan api unggun itu. Saya tidak bisa marah, walaupun sebenarnya kami tidak bias menyembunyikan khawatir yang berlebihan kalau -- kalau kehilangan seorang Warga Negara Asing dihutan ini.
Pukul 21.30
Kami sampai di perkampungan terdekat. Fred tampaknya masih tidak terima ranselnya diacak -- acak oleh Prita. Saya berusaha memberi penjelasan bahwa Kevin membutuhkan pengobatan secepatnya, dan Fred satu -- satunya yang membawa perbekalan obat pertolongan pertama. Tetap saja Fred tidak terima, dia akan meluapkan amarahnya kalau saja Prita masih ada disana.
"Prita, Kevin dan Pak Her lebih dulu dibawa ke penginapan" kata Lukman, sebelum saya sempat bertanya.
"Batre hp gue masih ada, kita photo dulu yuk" kata Anggi, tidak perduli dengan kondisi.
Pukul 22.00
Mobil kembali, siap mengangkut Anggi, Lukman dan Kanaya yang sedari tadi masih saja menyalakan senter dari ponselnya. Saya sendiri akan ke penginapan bersama Penjaga Pintu Hutan Konservasi itu.
Pukul 23.50
Kami semua sudah berada di penginapan. Betapa bahagianya Prita yang memastikan diri tidak akan terlambat bertemu dengan Bu Susi Pudjiastuti yang katanya akan menjadi tamu kompasianival tahun ini. Saya sendiri masih belum mengerti acara apa yang tampaknya begitu penting itu, sampai -- sampai sekelas mentri siap meluangkan waktunya untuk hadir sebagai pembicara.
Anggi segera mencari sumber listrik terdekat, siap mempublikasi semua rekaman dan photo yang diambilnya tadi didalam hutan.
Kanaya langsung memburu kasur beristirahat dengan tenang diterangi pencahayaan yang cukup.
Fred masih akan meluapkan amarahnya, kalau saja tidak melihat Kevin yang sudah tertidur dengan tenang.
"Maaf ... dan terimakasih" kata Prita singkat, Fred tersenyum.
Lukman masih akan sibuk, membersekan semua barang -- barang mereka untuk besok ke bandara.
"Jangan sampai telat!" kata Prita dengan nada mengancam
Her sudah tertidur, meskipun dalam tidur saja pria itu masih menunjukkan wajah yang sangat kelelahan.
Saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada penjaga pintu hutan konservasi yang sudah membantu kami, juga kepada karyawan penginapan itu.
***
Kompasianival adalah acara tahunan yang diadakan kompasiana, salah satu platform blog yang dibuat oleh kompas.com. mereka seringkali mengundang tamu -- tamu penting bahkan terkadang member kompasiana diundang oleh presiden untuk jamuan makan. Kamu pasti punya banyak cerita untuk dituangkan dan dibagikan kepada teman -- teman yang lain. Jangan ragu, bergabunglah dalam keluarga besar kompasiana, dan nikmati perjalananmu bersama kami semua.
Dan
Terimakasih sudah memberikan pengalaman menarik tentang hutan (yang kamu sendiri tidak mengerti) kepada kemi kemarin.
Salam
Prita
Prita menyisipkan surat kecil itu saat pamitan akan melakukan penerbangan bersama suami dan anaknya. Sembari membaca, saya masih harus dihantui dua gadis seperti Anggi dan Kanaya yang penerbangannya masih dua jam lagi tapi meminta untuk ditemani menanti. Fred dan Her ada di penginapan, setelah dua gadis ini mendapatkan penerbangan mereka, saya akan kembali ke penginapan dan melanjutkan perjalanan bersama Ahli biologi itu.
"Eh Video kita yang terjebak mogok bus kemarin, dapat banyak komentar dan like" kata Anggi bersemangat. Gadis itu melupakan saya yang mulai bosan masih harus menunggu penerbangan yang bukan untuk saya, bahkan kawannya sendiri yang masih kelelahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H