konstitusi pertama yang telah disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dengan mengatasnamakan “bangsa Indonesia” dan ditandatangani oleh dua pemimpin bangsa—Dwitunggal Sukarno dan Hatta—menandakan satu tahapan baru dalam sejarah pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan di Indonesia. Sehari setelahnya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkanIndonesia yang telah merdeka dengan struktur kenegaraan yang telah disahkan, mulai mengonsolidasikan kekuasaannya dengan Republik Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden pun ditetapkan bersamaan dengan UUD 1945, Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Namun demikian, Indonesia yang belum tuntas mengonsolidasikan kekuasaannya, harus menghadapi Sekutu dan NICA yang datang kembali. Sekutu yang sebenarnya hanya menjalankan tugas pascaperangnya, ternyata membawa para elite politik dan tentara yang berasal dari NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Oleh karena itu, Republik Indonesia yang masih amat muda harus mempertahankan kedaulatannya, baik dengan revolusi fisik—bersama TKR dan Laskar-laskar Rakyat—maupun melalui cara politik dengan diplomasi atau perundingan internasional.
Maklumat No. X Wakil Presiden dan Pergeseran Kekuasaan
UUD 1945 yang mengkehendaki sistem pemerintahan presidensial ternyata mendapatkan sorotan negatif, bahkan dipropagandakan dengan masif, oleh Belanda sebagai buatan Jepang, boneka Jepang, dan struktur yang fasisme. Oleh karena itu, sebagai taktik untuk menghadapi propaganda itu semua dan mengakomodasi politik “diplomasi”, Syahrir-Hatta berkolaborasi untuk mengubahnya menjadi sistem parlementer dengan Presiden sebagai Kepala Negara yang bersifat simbolis belaka. Perubahan itu ditandai dengan disahkannya Maklumat No. X Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945.
Maklumat ini mengubah fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semulanya adalah badan penasihat pemerintahan (khususnya Presiden), menjadi badan perwakilan rakyat (parlemen). Maklumat yang diusulkan oleh KNIP ini pun menambahkan kelembagaan baru dalam KNIP, yaitu Badan Pekerja KNIP (BP KNIP) yang akan bertugas sebagai lembaga pelaksana keputusan KNIP.
Pada 17 Oktober 1945, BP KNIP dibentuk dengan 15 orang anggota, termasuk Sutan Sjahrir sebagai ketua. Misi pertama BP KNIP yang ingin dilaksanakan, tetapi terhalang oleh keadaan darurat akibat Sekutu dan NICA sehingga tidak dapat terwujud, adalah pembentukan MPR dan DPR.
Dalam mengondisikan situasi internasional yang masih memandang Indonesia sebagai negara buatan Jepang dan tidak demokratis (kurang lebih masih sama dengan propaganda Belanda), BP KNIP kemudian mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan akses kepada rakyat dalam menyalurkan aspirasi politik melalui partai-partai politik. Ide yang diusulkan ini bertolak belakang dengan visi revolusi Presiden Sukarno yang ingin menggunakan PNI sebagai Staatspartij, sehingga visi revolusi Presiden Sukarno batal. Presiden Sukarno kemudian menyepakati secara tidak langsung sebagai tanggapan atas internasional. Perubahan kedua ini disahkan melalui Maklumat Pemerintah No. X, 3 November 1945. Maklumat tersebut berisi dua hal: Pertama, pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena partai politik dipandang dapat mewadahi segala aliran yang ada dalam masyarakat; Kedua, pemerintah berharap agar partai-partai sudah tersusun sebelum Pemilu DPR yang direncanakan akan berlangsung pada 1946.
Sebagai respons dari rakyat dan pemuda pada masa itu terhadap Maklumat partai politik, muncul kurang lebih 40 partai politik dan partai-partai tersebut berusaha untuk bersama-sama berpartisipasi dalam percaturan politik nasional dan agenda utama, Revolusi Nasional Indonesia.
Perkembangan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 ini kemudian berubah drastis menjadi pemerintahan parlementer. Hal itu terjadi pada 11 November 1945, di mana Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk membentuk sistem pertanggungjawaban Menteri-menteri kepada Parlemen, yaitu kepada KNIP. Pengumuman Badan Pekerja itu menyatakan:
Seperti diketahui, maka dalam Undang-Undang Dasar kita tidak terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang, para Menteri bertanggung jawab. Pada lain pihak, pertanggungan jawab Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat itu, adalah suatu jalan untuk memperlakukan kedaulatan rakyat. Maka berdasarkan alasan tersebut, Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden untuk mempertimbangkan adanya pertanggungan jawab itu dalam susunan Pemerintahan. Presiden menerima baik usul Badan Pekerja, hingga dengan persetujuan tadi dimulai adanya pertanggungan jawab para Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat dalam susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Seperti diketahui, maka dalam Undang-Undang Dasar kita tidak terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang, para Menteri bertanggung jawab. Pada lain pihak, pertanggungan jawab Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat itu, adalah suatu jalan untuk memperlakukan kedaulatan rakyat. Maka berdasarkan alasan tersebut, Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden untuk mempertimbangkan adanya pertanggungan jawab itu dalam susunan Pemerintahan. Presiden menerima baik usul Badan Pekerja, hingga dengan persetujuan tadi dimulai adanya pertanggungan jawab para Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat dalam susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Oleh karena perubahan yang begitu besar tersebut, tepat pada 14 November 1945, kabinet presidensial Presiden Sukarno pun meletakkan jabatannya. Kemudian, disusun kabinet yang bertanggung jawab kepada KNIP. Dengan demikian, bergulirlah tahapan kabinet parlementer, dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan kemudian digantikan oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Setelah Amir Sjarifuddin, Perdana Menteri dijabat langsung oleh Wakil Presiden, Moh. Hatta. Pada masa Hatta ini, kabinet mengalami vacuum of power, sebab Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Namun, pada saat itu dibentuk Pemerintah Darurat dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden RI sementara.
Perubahan besar itu memang kontroversial. Ada yang menganggap bahwa Wakil Presiden Hatta bersama Sjahrir sedang mengudeta Presiden. Namun demikian, kondisi revolusi yang penuh dengan kedaruratan, UUD 1945 yang masih jauh belum sempurna, dan berbagai faktor lainnya yang mendorong perubahan ini terjadi. Maklumat ini kemudian dianggap sebagai Konvensi Ketatanegaraan pertama, sebab tidak tercantum dalam pasal per pasal mengenai perubahan ini.
Konsesi-konsesi Diplomasi dan Terbitlah Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)
Revolusi ternyata belumlah selesai. Dengan berubahnya situasi akibat Belanda datang kembali, Indonesia harus diserang dalam Agresi Militer I dan Agresi Militer II. Ketegangan pertama kali ditandai oleh perpindahan ibu kota Republik ke Yogyakarta.
Belanda yang telah bersedia berunding dengan desakan Amerika Serikat, ternyata masih menyerang Indonesia. Namun, terdapat pencapaian dalam segi pengakuan diplomatik berkat perubahan sistem pemerintahan yang dibahas sebelumnya. Indonesia diakui Belanda dalam Perundingan Linggarjati dan Renville, meski hanya sebesar “daun di pepohonan”. Belanda mengakui Jawa, Sumatra, dan Madura sebagai bagian dari Republik Indonesia pada Linggarjati Agreement. Kemudian mengecil pada Renville Agreement, yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta (ibu kota pada masa Revolusi), dan Sumatra sebagai bagian Republik.
Dalam kondisi demikian, wilayah di luar administrasi yang diakui dijalankan oleh Pemerintah Nederlands Indie dengan berdasarkan hukum Grondwet voor het Koninkrijk der Nederlanden yang memberikan status otonom kepada Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao, tetapi tetap bertanggung jawab langsung kepada Kerajaan Belanda, terutama kepada Ratu Belanda.
Meski Republik Indonesia diakui secara de facto dalam Perundingan Linggarjati, terdapat konsesi-konsesi yang harus diterima Republik. Konsesi iini antara lain menyepakati pembentukan Negara Indonesia Serikat. Undang-undang Dasar Negara Indonesia Serikat akan ditentukan dalam persidangan yang di dalamnya terdapat delegasi Republik dan negara-negara bagian. Bersamaan dengan itu, Belanda juga sudah mengakomodasi politik federalisme ini, yaitu melalui Konferensi Malino, dan pembentukan berbagai negara bagian atas inisiasi Van Mook.
Dalam hal penyesuaian sifat pemerintahan Hindia Belanda dengan kedudukannya yang baru, Negara Indonesia Serikat dan pemerintah Belanda akan mengadakan aturan-aturan, sementara menunggu terbentuknya Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda, sembari mengusahakan penyesesuaian kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara nantinya.
Tak lama kemudian, Belanda menyerang Indonesia dengan Agresi Militer I-nya. Jenderal Spoor memerintahkan untuk menghabisi kekuatan Republik. Kemudian, akibatnya permasalahan Indonesia menjadi sorotan internasional. Dewan Keamanan PBB menghimbau kedua belah pihak untuk cease fire dan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai badan PBB untuk permasalahan Hindia Belanda.
KTN berunding pada 8 Desember 1947 di atas kapal milik Amerika Serikat, USS Renville di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dilanjutkan di Kaliurang, Yogyakarta, pada 13 Januari 1948 dan diakhiri di atas USS Renville pada 17 Januari 1948, sehingga dikenal hingga sekarang sebagai Perundingan Renville.
Pasca-Renville Agreement, Belanda tetap gontok-gontokan kepada Republik. Belanda terus-menerus menggerus kedaulatan Republik dengan membentuk negara-negara bagian (negara boneka) sebanyak-banyaknya. Pada 18 Desember 1948, pemerintah Belanda menyatakan pihaknya tidak lagi terikat dengan Renville dan melancarkan Agresi Militer II, dengan sasaran utamanya adalah ibu kota Republik. Sukarno dan Hatta ditawan dan menyerahkannya kepada Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Sementara itu, perjuangan fisik melalui Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetap berlanjut dengan perintah gerilya semesta yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Pertempuran itu mendapatkan sorotan kembali, dengan resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949. DK PBB meminta agar pemerintah Republik segera dikembalikan ke Yogyakarta dan kedua belah pihak untuk cease fire dan melakukan perundingan. Belanda menyetujui pada 7 Mei 1949, di mana terjadi pertempuan antara Mr. Moh. Roem (delegasi Republik) dengan Dr. Van Roijen (delegasi Belanda), di bawah pengawasan United Nations Commision for Indonesia (UNCI). Dalam Roem-Roijen Agreement, disepakati akan diadakan Konferensi Mejad Bundar (KMB), setelah pemerintah Republik dikembalikan ke Yogyakarta.
Indonesia kemudian mempersiapkan untuk penyelenggaraan KMB dengan mengadakan Konferensi Inter-Indonesia yang dihadiri oleh Republik dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) atau Majelis Permusyawaratan Federal yang beranggotakan negara-negara bagian bentukan Belanda. KII diadakan dua kali, yang pertama diadakan di Yogyakarta pada 20-23 Juli 1949 di bawah pimpinan Moh. Hatta, sedangkan yang kedua di Jakarta pada 30 Juli sampai 2 Agustus 1949 di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak. Salah satu hasil monumental adalah perubahan nama Negara Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Serikat dalam konferensi-konferensi antara bangsa Indonesia tersebut.
Sidang KMB kemudian dimulai pada 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Konferensi ini terdiri dari tiga delegasi, yaitu delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Moh. Hatta, delegasi daerah-daerah bagian dengan aliansi Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dipimpin Sultan Hamid II, dan delegasi pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Mr. J. H. van Maarseveen. Konferensi ini pun difasilitasi oleh UNCI dan ditutup pada 2 November 1949. Konferensi ini menghasilkan tiga hal, antara lain:
- Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS);
- Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisikan tiga hal, yaitu: Piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS; Status Uni Indonesia-Belanda; dan Persetujuan perpindahan.
- Mendirikan Uni yang di antaranya beranggotakan RIS dan Kerajaan Belanda.
Hasil kesepakatan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diparaf oleh delegasi Republik dan BFO pada 29 Oktober 1949. Naskah Konstitusi RIS meliputi Mukaddimah, 197 pasal, dan lampiran pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat menurut Pasal 51 Konstitusi.
Konstitusi RIS ini mulai diberlakukan secara resmi pada 27 Desember 1949, setelah kNIP dan badan perwakilan masing-masing negara bagian memberikan persetujuan. Dasar hukum pemberlakuan Konstitusi RIS adalah dalam bentuk Keputusan Presiden RIS No. 48, 31 Januari 1950, (Lembaran Negara 50-3).
Pertimbangan Keppres No. 48 Tahun 1950, sebagai berikut:
Menimbang:
Bahwa naskah Undang-undang Dasar Sementara berisi Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang disetujui oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Daerah-daerah Bahagian dalam perhubungan Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal di Scheveningen, telah disetujui pula oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah masing-masing Daerah bahagian tersebut, demikian pula oleh Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat dari masing-masing Daerah Bahagian;
Menimbang:
bahwa menurut pasal 197 ayat 1, Konstitusi mulai berlaku pada saat pemulihan kedaulatan, yang telah terjadi pada tanggal 27 Desember 1949;
Menimbang:
Bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat perlu diumumkan agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya:
Memutuskan:
Mengumumkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat:
Piagam penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat;
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Berlakunya Konstitusi RIS tidaklah mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku kembali. Akan tetapi, UUD 1945 berlaku hanya di Negara Bagian Republik Indonesia di Yogyakarta dengan Presiden Mr. Moh. Asaat. Selama Konstitusi RIS diberlakukan, banyak aspirasi rakyat di daerah-daerah muncul pula, untuk mengembalikan bentuk negara kesatuan dan bersatu kembali dalam NKRI.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950)
Kembalinya negara kesatuan ini memang tampak nyata sekali dalam aspirasi rakyat Indonesia pada masa itu. Desakan rakyat pertama kali timbul di Jawa Timur, sehingga Negara Bagian Jawa Timur menjadi negara pertama yang mengusulkan penyerahan kedaulatan dan tugas pemerintahannya kepada RIS. Pada 15 Januari 1950, Kabinet RIS mengundangkan UU Darurat No. 10 Tahun 1950 yang mengatur penyerahan tugas-tugas pemerintahan di Jawa Timur kepada Komisaris Pemerintah.
Langkah Negara Jawa Timur diikuti oleh Negara Bagian Pasundan, pada 10 Februari 1950. Perkembangan selanjutnya, negara-negara bagian lainnya mengikutinya dan tersisa Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur saja. Patut dicatat pula bahwa Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur pun menerima penyerahan tugas-tugas pemerintahan dari negara-negara bagian di sekitar wilayahnya.
Kemudian dinamikanya berkembang dengan memuncak pada Mosi Integral yang dipaparkan oleh Moh. Natsir pada 13 April 1950. Natsir memelopori kembalinya kesatuan dengan Sumpah Pemuda, dan kemudian dirinya ditunjuk sebagai Perdana Menteri pertama NKRI berdasarkan UUDS 1950.
Kendati demikian, kesulitan mengubah menjadi kesatuan tetaplah ada. Bagaimana pun, RIS merupakan negara yang disusun secara konstitusional, sehingga perubahannya pun harus disusun secara konstitusional pula. Oleh karena itu, cara konstitusional adalah mengamandemen Konstitusi RIS yang dimungkinkan dengan ketentuan Pasal 190 ayat (1), (2), dan (3).
Pada 19 Mei 1950, ditandatangani Piagam Persetujuan antara Republik Indonesia Serikat dan RI untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pihak RIS diwakili oleh PM Moh. Hatta, yang mendapat mandat penuh dari NIT dan NST, sedangkan pihak Republik diwakili PM Abdul Halim.
“… Pemerintah Republik Indonesia Serikat, dalam hal ini bertindak juga dengan mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur, pada pihak kesatu; Pemerintah Republik Indonesia pada pihak kedua; …
Menyatakan:
Bahwa kami menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara kesatuan, sebagai jelmaan dari pada Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945…”
Pernyataan bersama Pemerintah RIS dan RI pada 20 Juli 1950 tersebut ditandatangani Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan Perdana Menteri RI A.Halim yang intinya sebagai berikut:
Menjatakan:
- Menyetudjui rentjana Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan “Republik Indonesia” seperti jang dilampirkan pada Pernjataan Bersama ini;
- Bahwa rentjana Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan “Republik Indonesia” itu akan disampaikan selekas-lekasnya. Oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat; serta Oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat untuk disahkan, supaja sebelum tanggal tudjuh belas Agustus tahun seribu sembilan ratus lima puluh Negara Kesatuan “Republik Indonesia” sudah terbentuk;
- Bahwa usul-usul Panitya Bersama Republik Indonesia Serikat-Republik Indonesia mengenai dasar-dasar penjelesaian kesukaran-kesukaran di lapangan politik, ekonomi, keuangan, keamanan dan sosial serta tindjauan Pemerintah Republik Indonesia atas usul-usul tersebut akan disampaikan sebagai pedoman: oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat; serta oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat.
Kesepakatan itu dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan Konstitusi. Dalam sidang yang diselenggarakan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Perubahan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. UU tersebut ditandatangani oleh Presiden Sukarno, Perdana Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman RIS Soepomo pada 15 Agustus 1950 (Lembaran Negara 50-56). Dengan berlakunya UUDS 1950, segala konstitusi, baik RIS, UUD 1945, maupun konstitusi yang berlakudi negara bagian, tidak berlaku lagi.
UUDS 1950 pada hakikatnya serupa dengan Konstitusi RIS. Namun, perbedaan mendasarnya adalah perubahan bentuk negara dari Federasi menjadi negara negara Kesatuan (Unitarisme). Peredaan lain yang mendasar akan dilanjutkan di dalam Konstituante, yang bertugas untuk menyusun UUD yang baru dan permanen sebagai pengganti UUDS 1950. Konstituante kemudian akan dibentuk melalui Pemilihan Umum yang baru diselenggarakan pada Pemilihan Umum 1955.
Hasil Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik pemenang, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 57 kursi DPR, Masyumi dengan 57 kursi DPR, Nahdlatul Ulama (NU) dengan 45 kursi DPR, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 39 kursi DPR. Sedangkan perolehan partai-partai lainnya tidak mencapai 10 kursi.. Sedangkan Pemilu untuk memilih anggota Konstituante, PNI memperoleh 119 kursi, Masyumi dengan 112 kursi, NU dengan 91 kursi, dan PKI dengan 80 kursi. Seorang calon perseorangan ini tercatat terpilih R. Soedjono Prawirosoedarso dengan usia 75 tahun.
Hasil Pemilu yang diharapkan untuk menyelesaikan instabilitas politik yang terjadi pascapenyerahan kedaulatan, ternyata tidak terjadi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, setidaknya pemilu ini menggambarkan perimbangan kekuatan politik yang ada di masyarakat.
Kabinet Ali Sastro II, atau kabinet hasil pemilu, tidak dapat menghadapi kekacauan politik yang diakibatkan oleh oposisi Partai Komunis Indonesia di paremen dan dibentuknya Dewan Banteng, Dewan Garuda, dsb. di daerah-daerah hanya berjalan 1 tahun saja, setelah Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet.
Kemudian terjadi kegagalan formatur Suwirjo, yang menyebabkan Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur Kabinet pada 4 April 1957. Selanjutnya, pada 9 April, dilantik Kabinet Djuanda (Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri) sebagai kabinet yang bertanggung jawab kepada Parlemen. Meski Kabinet Djuanda menjalani pemerintahan pada masa-masa yang amat genting, kabinet ini bertahan selama 2 tahun, lebih lama dari kabinet-kabinet sebelumnya.
Kembali kepada UUD 1945
Konstituante yang tidak kunjung menyelesaikan tugasnya akibat perdebatan dasar negara yang amat antagonistik, menyebabkan Konstituante yang sebelumnya membahas dasar negara dan batang tubuh UUD yang baru diubah menjadi pembahasan untuk Kembali ke UUD 1945 atas usul dari pemerintah di bawah Perdana Menteri Djuanda.
Hal itu ditengarai oleh karena pada 22 April 1959, Presiden memberikan amanat kepada sidang Konstituante yang memuat anjuran Kepala Negara dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tanpa melalui proses amendemen. Presiden menggunakan empat alasan untuk mendukung usul yang diajukannya. Pertama, dalam keadaan genting saat itu, UUD 1945 bisa menjadi jalan keluar. Kedua, makna simbolik UUD 1945 sangat besar, yakni sebagai UUD yang berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi Indonesia yang sesungguhnya. Ketiga, struktur organisasi negara yang digariskan UUD 1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan yang efektif. Keempat, kembali ke UUD 1945 benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Konstituante ternyata tidak dapat menyelesaikan perdebatan Kembali ke UUD 1945 juga, oleh karena terkait dengan dasar negara lagi, yaitu menggunakan Piagam Jakarta atau Pembukaan hasil kompromi dalam PPKI. Situasi semakin tidak terkendali ketika terjadi PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi yang mulai bersekutu dengan DI/TII di Daud Beureuh dan Kahar Mudzakar. Yang akhirnya menetapkan Keadaan Perang di seluruh wilayah Indonesia untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berdasarkan UU No. 74 Tahun 1957. Konsepsi Presiden 1957 dan ide Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Sukarno pun semakin kencang dibicarakan. Presiden Sukarno dan Kabinet Djuanda terus mengupayakan untuk Kembali ke UUD 1945 melalui Sidang Konstituante.
Sidang Konstituante tidak menemukan titik temu untuk UUD 1945 atas usul pemerintah untuk Kembali ke UUD 1945. Pimpinan Konstituante pada masa itu menyatakan untuk mengadakan reses. Pada masa reses, pemerintah menerbitkan larangan berpolitik adanya kegiatan-kegiatan politik. Di tengah larangan tersebut, Pemerintah menemui pimpinan Konstituante untuk membicarakan kembali usul kembali ke UUD 1945.
Usul kembali ke UUD 1945, tidak mendapatkan kuorum 2/3 dalam keputusannya. Ketika sidang itu, pemerintah tidak dapat menentukan sikap. Pemerintah kembali membicarakaan kepada Kepala Negara, Presiden Sukarno. Dengan sikap yang demikian, semakin menggambarkan politik hukum Kabinet Djuanda yang sudah berpihak secara implisit pada Presiden Sukarno. Ditambah dengan partai pemenang, peringkat pertama, Pemilihan Umum 1955, yaitu Partai Nasional Indonesia yang telah mendukung Dekrit Presiden untuk segera didekritkan pada 16 Juni 1959. Ketua Umum PNI, Suwirjo, menyatakan kepada Presiden Sukarno dua permintaan, yaitu: (1) Agar Presiden mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante; dan (2) Agar pada dekrit diucapkan, Kabinet Presidensial sudah terbentuk.
Tak lama berselang, Presiden Sukarno menetapkan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden yang dibacakan pada 5 Juli 1959. Presiden Sukarno menetapkan Dekrit Presiden ini dalam kondisi negara yang sedang dalam darurat dalam subjektivitas menurut “negara”. Di mana pemberontakan PRRI/Permesta terjadi, ditambah dengan Keadaan Perang diberlangsungkan oleh Angkatan Darat bersama dengan Presiden, serta demokrasi parlementer yang memang telah menemukan titik akhir dalam sejarah karena tidak berjalan dengan efektif untuk negara yang baru merdeka ini. Sejak saat itu, Konstituante tidak pernah bersidang lagi.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu pun mendapatkan persetujuan oleh DPR hasil Pemilihan Umum 1955 secara aklamasi pada 22 Juli 1959. Isi lengkap Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Jang Maha Esa,
Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang,
Dengan ini menyatakan dengan chidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS;
Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian terbesar anggota Sidang Pembuat UUD, untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar dari Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya djalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara;
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Djakarta
Pada tanggal 5 Djuli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
(SOEKARNO)
Semenjak 5 Juli 1959, dan disahkan pada 22 Juli 1959 oleh DPR dengan Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 (Lembaran Negara 159). Oleh karena itu, UUD 1945 yang hari ini berlaku adalah UUD 1945 sejak 5 Juli 1959, dan bukan 18 Agustus 1945.
Mengenai kontroversi pemberlakuan kembali UUD 1945 ini pun, dapat dijawab melalui teori Konvensi Ketatanegaraan, Hukum Tata Negara Darurat, dan pendapat para pakar hukum tata negara yang membenarkan adanya. Tidak hanya itu, diperkuat juga dengan amandemen pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang menjelaskan dengan konkret bahwa UUD 1945 adalah sah tetap berlaku di Republik Indonesia.
Begitulah jejak sejarah panjang pemberlakuan UUD 1945. Dinamika hukum dan konstitusi di Republik ini memanglah penuh dengan “revolusi-revolusi hukum”, sehingga perlu kiranya generasi muda untuk memahami sejarah konstitusi. Hal itu ditujukan supaya bangsa Indonesia kedepannya akan lebih memahami konstitusinya dan konstitusionalismenya.
Referensi
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia . Disunting oleh Tarmizi. Ed. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.
Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Disunting oleh Candra Gautama. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999.
Mahmodin, Mohammad Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Revisi. Depok: Rajawali Pers, 2023.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Dinov ProGRESS Indonesia, 2009.
Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 Tentang Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, Berita Negara Republik Indonesia § (1959).
Prodjodikoro, Wijono. Azaz-azaz Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1977.
Soenario. Banteng Segitiga. Disunting oleh Ruben Nalenan. Cetakan II. Jakarta: Yayasan MARINDA, 1988.
Suny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif: Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tata Negara. Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H