Menyatakan:
Bahwa kami menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara kesatuan, sebagai jelmaan dari pada Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945…”
Pernyataan bersama Pemerintah RIS dan RI pada 20 Juli 1950 tersebut ditandatangani Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan Perdana Menteri RI A.Halim yang intinya sebagai berikut:
Menjatakan:
- Menyetudjui rentjana Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan “Republik Indonesia” seperti jang dilampirkan pada Pernjataan Bersama ini;
- Bahwa rentjana Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan “Republik Indonesia” itu akan disampaikan selekas-lekasnya. Oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat; serta Oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat untuk disahkan, supaja sebelum tanggal tudjuh belas Agustus tahun seribu sembilan ratus lima puluh Negara Kesatuan “Republik Indonesia” sudah terbentuk;
- Bahwa usul-usul Panitya Bersama Republik Indonesia Serikat-Republik Indonesia mengenai dasar-dasar penjelesaian kesukaran-kesukaran di lapangan politik, ekonomi, keuangan, keamanan dan sosial serta tindjauan Pemerintah Republik Indonesia atas usul-usul tersebut akan disampaikan sebagai pedoman: oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat; serta oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat.
Kesepakatan itu dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan Konstitusi. Dalam sidang yang diselenggarakan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Perubahan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. UU tersebut ditandatangani oleh Presiden Sukarno, Perdana Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman RIS Soepomo pada 15 Agustus 1950 (Lembaran Negara 50-56). Dengan berlakunya UUDS 1950, segala konstitusi, baik RIS, UUD 1945, maupun konstitusi yang berlakudi negara bagian, tidak berlaku lagi.
UUDS 1950 pada hakikatnya serupa dengan Konstitusi RIS. Namun, perbedaan mendasarnya adalah perubahan bentuk negara dari Federasi menjadi negara negara Kesatuan (Unitarisme). Peredaan lain yang mendasar akan dilanjutkan di dalam Konstituante, yang bertugas untuk menyusun UUD yang baru dan permanen sebagai pengganti UUDS 1950. Konstituante kemudian akan dibentuk melalui Pemilihan Umum yang baru diselenggarakan pada Pemilihan Umum 1955.
Hasil Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik pemenang, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 57 kursi DPR, Masyumi dengan 57 kursi DPR, Nahdlatul Ulama (NU) dengan 45 kursi DPR, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 39 kursi DPR. Sedangkan perolehan partai-partai lainnya tidak mencapai 10 kursi.. Sedangkan Pemilu untuk memilih anggota Konstituante, PNI memperoleh 119 kursi, Masyumi dengan 112 kursi, NU dengan 91 kursi, dan PKI dengan 80 kursi. Seorang calon perseorangan ini tercatat terpilih R. Soedjono Prawirosoedarso dengan usia 75 tahun.
Hasil Pemilu yang diharapkan untuk menyelesaikan instabilitas politik yang terjadi pascapenyerahan kedaulatan, ternyata tidak terjadi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, setidaknya pemilu ini menggambarkan perimbangan kekuatan politik yang ada di masyarakat.
Kabinet Ali Sastro II, atau kabinet hasil pemilu, tidak dapat menghadapi kekacauan politik yang diakibatkan oleh oposisi Partai Komunis Indonesia di paremen dan dibentuknya Dewan Banteng, Dewan Garuda, dsb. di daerah-daerah hanya berjalan 1 tahun saja, setelah Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet.
Kemudian terjadi kegagalan formatur Suwirjo, yang menyebabkan Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur Kabinet pada 4 April 1957. Selanjutnya, pada 9 April, dilantik Kabinet Djuanda (Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri) sebagai kabinet yang bertanggung jawab kepada Parlemen. Meski Kabinet Djuanda menjalani pemerintahan pada masa-masa yang amat genting, kabinet ini bertahan selama 2 tahun, lebih lama dari kabinet-kabinet sebelumnya.
Kembali kepada UUD 1945
Konstituante yang tidak kunjung menyelesaikan tugasnya akibat perdebatan dasar negara yang amat antagonistik, menyebabkan Konstituante yang sebelumnya membahas dasar negara dan batang tubuh UUD yang baru diubah menjadi pembahasan untuk Kembali ke UUD 1945 atas usul dari pemerintah di bawah Perdana Menteri Djuanda.