Hal itu ditengarai oleh karena pada 22 April 1959, Presiden memberikan amanat kepada sidang Konstituante yang memuat anjuran Kepala Negara dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tanpa melalui proses amendemen. Presiden menggunakan empat alasan untuk mendukung usul yang diajukannya. Pertama, dalam keadaan genting saat itu, UUD 1945 bisa menjadi jalan keluar. Kedua, makna simbolik UUD 1945 sangat besar, yakni sebagai UUD yang berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi Indonesia yang sesungguhnya. Ketiga, struktur organisasi negara yang digariskan UUD 1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan yang efektif. Keempat, kembali ke UUD 1945 benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Konstituante ternyata tidak dapat menyelesaikan perdebatan Kembali ke UUD 1945 juga, oleh karena terkait dengan dasar negara lagi, yaitu menggunakan Piagam Jakarta atau Pembukaan hasil kompromi dalam PPKI. Situasi semakin tidak terkendali ketika terjadi PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi yang mulai bersekutu dengan DI/TII di Daud Beureuh dan Kahar Mudzakar. Yang akhirnya menetapkan Keadaan Perang di seluruh wilayah Indonesia untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berdasarkan UU No. 74 Tahun 1957. Konsepsi Presiden 1957 dan ide Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Sukarno pun semakin kencang dibicarakan. Presiden Sukarno dan Kabinet Djuanda terus mengupayakan untuk Kembali ke UUD 1945 melalui Sidang Konstituante.
Sidang Konstituante tidak menemukan titik temu untuk UUD 1945 atas usul pemerintah untuk Kembali ke UUD 1945. Pimpinan Konstituante pada masa itu menyatakan untuk mengadakan reses. Pada masa reses, pemerintah menerbitkan larangan berpolitik adanya kegiatan-kegiatan politik. Di tengah larangan tersebut, Pemerintah menemui pimpinan Konstituante untuk membicarakan kembali usul kembali ke UUD 1945.
Usul kembali ke UUD 1945, tidak mendapatkan kuorum 2/3 dalam keputusannya. Ketika sidang itu, pemerintah tidak dapat menentukan sikap. Pemerintah kembali membicarakaan kepada Kepala Negara, Presiden Sukarno. Dengan sikap yang demikian, semakin menggambarkan politik hukum Kabinet Djuanda yang sudah berpihak secara implisit pada Presiden Sukarno. Ditambah dengan partai pemenang, peringkat pertama, Pemilihan Umum 1955, yaitu Partai Nasional Indonesia yang telah mendukung Dekrit Presiden untuk segera didekritkan pada 16 Juni 1959. Ketua Umum PNI, Suwirjo, menyatakan kepada Presiden Sukarno dua permintaan, yaitu: (1) Agar Presiden mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante; dan (2) Agar pada dekrit diucapkan, Kabinet Presidensial sudah terbentuk.
Tak lama berselang, Presiden Sukarno menetapkan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden yang dibacakan pada 5 Juli 1959. Presiden Sukarno menetapkan Dekrit Presiden ini dalam kondisi negara yang sedang dalam darurat dalam subjektivitas menurut “negara”. Di mana pemberontakan PRRI/Permesta terjadi, ditambah dengan Keadaan Perang diberlangsungkan oleh Angkatan Darat bersama dengan Presiden, serta demokrasi parlementer yang memang telah menemukan titik akhir dalam sejarah karena tidak berjalan dengan efektif untuk negara yang baru merdeka ini. Sejak saat itu, Konstituante tidak pernah bersidang lagi.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu pun mendapatkan persetujuan oleh DPR hasil Pemilihan Umum 1955 secara aklamasi pada 22 Juli 1959. Isi lengkap Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Jang Maha Esa,
Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang,
Dengan ini menyatakan dengan chidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS;
Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian terbesar anggota Sidang Pembuat UUD, untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya;