Mohon tunggu...
DAFFA FAADILLAH
DAFFA FAADILLAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa semester 5 Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Optimalisasi Peran Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan dan PKPU Perspektif Hukum Perusahaan

5 November 2024   18:15 Diperbarui: 5 November 2024   18:27 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Daffa Fa'adillah

Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Email: daffafaadillah@students.unnes.ac.id

Abstrak

Penelitian ini menganalisis efektivitas optimalisasi peran Pengadilan Niaga dalam menangani perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari perspektif hukum perusahaan. Pengadilan Niaga memiliki fungsi krusial dalam menyelesaikan sengketa kepailitan dan PKPU guna melindungi kepentingannya para kreditur dan debitur serta memastikan keberlanjutan operasional perusahaan. Permasalahan dalam penanganan perkara kepailitan dan PKPU sering kali mencakup lambatnya proses persidangan, ketidakjelasan penafsiran hukum, dan inkonsistensi dalam penerapan putusan. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana peran Pengadilan Niaga telah dioptimalkan dalam mendukung prinsip keadilan, efisiensi, dan transparansi dalam penyelesaian sengketa kepailitan dan PKPU. Meskipun Pengadilan Niaga telah berupaya meningkatkan efektivitas kinerjanya, masih terdapat tantangan signifikan seperti perbedaan interpretasi hukum dan kurangnya sumber daya manusia yang kompeten. 

Dari perspektif hukum perusahaan, optimalisasi peran Pengadilan Niaga sangat penting untuk menjaga stabilitas bisnis dan mencegah dampak negatif yang lebih luas terhadap perekonomian. Penelitian ini menekankan perlunya reformasi dalam penguatan regulasi, pelatihan hakim, dan pembaruan prosedur hukum untuk memastikan proses penyelesaian perkara yang lebih cepat, konsisten, dan adil. 

Rekomendasi kebijakan mencakup peningkatan kolaborasi antara otoritas peradilan dan lembaga pemerintah terkait serta penguatan mekanisme pengawasan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar yang ditetapkan. Dengan demikian, optimalisasi peran Pengadilan Niaga diharapkan dapat mendukung perkembangan sistem hukum perusahaan yang lebih baik, menciptakan iklim usaha yang kondusif, dan meminimalisir risiko likuidasi perusahaan yang merugikan berbagai pihak terkait.

Kata Kunci: Pengadilan Niaga, Perkara kepailitan, Hukum Perusahaan, PKPU, Optimalisasi dan Efektivitas.

Abstract

This research analyzes the effectiveness of optimizing the role of the Commercial Court in handling bankruptcy cases and Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU) from a company law perspective. 

The Commercial Court has a crucial function in resolving bankruptcy and PKPU disputes to protect the interests of creditors and debtors and ensure the continuity of company operations. Problems in handling bankruptcy and PKPU cases often include slow trial processes, unclear legal interpretation, and inconsistencies in the application of decisions. 

This research aims to evaluate the extent to which the role of the Commercial Court has been optimized in supporting the principles of justice, efficiency and transparency in resolving bankruptcy and PKPU disputes. Although the Commercial Court has made efforts to improve the effectiveness of its performance, there are still significant challenges such as differences in legal interpretation and a lack of competent human resources.

 From a company law perspective, optimizing the role of the Commercial Court is very important to maintain business stability and prevent wider negative impacts on the economy. This research emphasizes the need for reforms in strengthening regulations, training judges, and updating legal procedures to ensure a faster, more consistent and fair case resolution process. 

Policy recommendations include increasing collaboration between judicial authorities and relevant government agencies as well as strengthening oversight mechanisms to ensure compliance with established standards. Thus, optimizing the role of the Commercial Court is expected to support the development of a better company legal system, create a conducive business climate, and minimize the risk of company liquidation which is detrimental to various related parties.

Keywords: Commercial Court, Bankcrupty Cases, Company Law, Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU), Effectiveness and Optimizing.

Pengertian

Pembentukan Pengadilan Niaga tidak terlepas dari Memorandum Tambahan Kesepakatan Ketiga Indonesia dengan IMF (International Monetery Fund), yang disepakati pada tanggal 8 April 1998, khususnya kesepakatan yang tertuang dalam Lampiran VII, yaitu tentang Indonesia: Bankruptcy and Judi cial Reforms dalam ketentuan ini Indonesia sepakat untuk memperbaharui UU Kepailitan, dimana salah satu yang akan diperbaharui adalah dibentuknya Peradilan Komersial Khusus (Special Commercial Court). 

Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu Republik Indonesia No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. 

Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan. 

Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. 

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di bawah Lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. 

Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum secara tegas disebutkan pada penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan. 

Pembentukan Pengadilan Niaga yang merupakan peradilan khusus diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukan nya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Kepailitan merupakan proses di mana seorang debitur yang mempunyai ketidakmampuan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditornya sesuai dengan peraturan pemerintah. 

Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan melindungi para kreditor dengan memberikan jalan yang jelas untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar. 

Kepailitan di Indonesia pada hakikatnya untuk mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak dalam proses kepailitan yang menjamin kepastian hukum bagi para pihak terkait penyelesaian utang piutangnya.

 Permohonan kepailitan dapat dimohonkan oleh debitur maupun kreditor. Dalam UUK-PKPU tidak ada batas minimum jumlah utang untuk dapat diajukan permohonan pailit, terkait hal tersebut diharapkan baik kreditur maupun debitur sama-sama beritikad baik dalam menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternatif penyelesaian utang piutang diantara para pihak.

PKPU atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Undang -- Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (UU KPKPU), khususnya dalam Bab III, pasal 222 sampai dengan pasal 294. 

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah sebuah proses hukum yang mengizinkan debitur yang mengalami kesulitan keuangan untuk menunda pembayaran utang kepada kreditur. PKPU bertujuan untuk mencapai perdamaian antara debitur dan kreditur agar dapat mencapai kesepakatan tentang bagaimana utang-utang tersebut akan dibayarkan.

 Ini adalah langkah hukum yang dapat membantu debitur menghindari pailit dan likuidasi aset. Tujuan utama dari PKPU adalah untuk mencapai perdamaian antara debitur dan kreditur. Pasal 222 ayat (2) UU KPKPU menyatakan bahwa PKPU bertujuan untuk membuat kesepakatan bersama yang termasuk dalam rencana perdamaian.

Kendala-kendala yang dihadapi Pengadilan Niaga dalam mengoptimalkan perannya menangani perkara kepailitan dan PKPU

Kendala Sumber Daya Manusia: Terbatasnya jumlah hakim niaga yang memiliki sertifikasi khusus. Kurangnya tenaga kurator yang profesional dan berpengalaman. Minimnya pelatihan berkelanjutan bagi aparatur pengadilan niaga. Kendala Teknis: Kompleksitas perkara kepailitan yang membutuhkan pemahaman multidisipliner. Kesulitan dalam eksekusi putusan terutama terkait aset debitur.

 Keterbatasan waktu penyelesaian perkara yang sangat singkat (maksimal 60 hari). Kendala Struktural: Belum meratanya sebaran Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia. Tumpang tindih kewenangan dengan pengadilan lain. Keterbatasan infrastruktur dan fasilitas pendukung. Kendala Substansi Hukum: Masih adanya kekosongan hukum dalam UU Kepailitan. 

Penafsiran berbeda terhadap norma-norma dalam UU Kepailitan. Belum sempurnanya harmonisasi dengan peraturan terkait lainnya. Kendala Budaya Hukum: Kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi Pengadilan Niaga. Resistensi debitur dalam proses kepailitan. Rendahnya kesadaran hukum para pihak.

Peran Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) Perspektif Hukum Perusahaan

Menerima dan Memeriksa Permohonan Kepailitan dan PKPU: Pengadilan Niaga berwenang menerima dan memeriksa permohonan kepailitan dan PKPU yang diajukan oleh debitur (kepailitan sukarela) maupun kreditur (kepailitan dan PKPU paksa). 

Dalam tahap ini, Pengadilan Niaga akan memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan, termasuk adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta minimal dua kreditur. 

Perspektif hukum perusahaan di sini menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menyusun permohonan agar memenuhi syarat formal dan materil yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 

Mengeluarkan Putusan Pernyataan Pailit atau Penetapan PKPU: Setelah memeriksa permohonan dan bukti-bukti yang diajukan, Pengadilan Niaga akan mengeluarkan putusan. Dalam perkara kepailitan, putusan tersebut berupa putusan pernyataan pailit jika permohonan dikabulkan. Putusan ini memiliki konsekuensi hukum yang signifikan bagi perusahaan debitur, seperti pengangkatan kurator dan sita umum atas aset debitur. 

Dalam perkara PKPU, pengadilan akan mengeluarkan penetapan PKPU yang menunjuk hakim pengawas dan pengurus serta menetapkan jangka waktu PKPU. Perusahaan debitur dalam PKPU masih memiliki kesempatan untuk merestrukturisasi utangnya dan mencapai perdamaian dengan para kreditur. 

Mengawasi Proses Kepailitan dan PKPU: Pengadilan Niaga berperan dalam mengawasi jalannya proses kepailitan dan PKPU. Dalam kepailitan, pengadilan mengawasi tindakan kurator dalam mengelola dan menjual aset debitur. Dalam PKPU, pengadilan mengawasi proses perundingan antara debitur dan kreditur yang difasilitasi oleh hakim pengawas dan pengurus. 

Pengawasan ini penting untuk memastikan bahwa proses kepailitan dan PKPU berjalan sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip keadilan. Memutuskan Perselisihan yang Timbul dalam Kepailitan dan PKPU: Selama proses kepailitan dan PKPU, seringkali timbul perselisihan antara para pihak, misalnya antara debitur dan kreditur, atau antara kurator/pengurus dengan kreditur. 

Pengadilan Niaga berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Peran ini penting untuk menjaga ketertiban dan kepastian hukum dalam proses kepailitan dan PKPU. Menetapkan Putusan Homologasi atau Putusan Pailit dalam PKPU: Pada akhir proses PKPU, Pengadilan Niaga akan memutuskan apakah proposal perdamaian yang diajukan oleh debitur disetujui oleh mayoritas kreditur dan memenuhi persyaratan undang-undang. 

Jika disetujui, pengadilan akan menetapkan putusan homologasi yang mengikat debitur dan kreditur. Jika proposal perdamaian ditolak, pengadilan dapat menyatakan debitur pailit.

Implikasi Hukum dari Keterlambatan Penyelesaian Perkara Kepailitan Terhadap Going Concern Perusahaan

Kerugian Bagi Kreditur: Keterlambatan penyelesaian perkara kepailitan dapat menyebabkan kerugian bagi kreditur, karena mereka tidak dapat segera menerima pembayaran atas piutang mereka. Hal ini dapat menyebabkan kreditur kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan dan tidak lagi ingin melakukan bisnis dengan perusahaan tersebut. 

Pengaruh terhadap Nilai Perusahaan: Keterlambatan penyelesaian perkara kepailitan dapat mempengaruhi nilai perusahaan, karena perusahaan yang sedang dalam proses kepailitan dianggap memiliki risiko yang lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan nilai saham perusahaan dan mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mendapatkan pinjaman atau investasi. 

Pengaruh terhadap Operasional Perusahaan : Keterlambatan penyelesaian perkara kepailitan dapat mempengaruhi operasional perusahaan, karena perusahaan harus terus-menerus menghadapi proses hukum yang berkepanjangan. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan kehilangan fokus pada operasional bisnis dan tidak dapat menjalankan bisnis dengan efektif. 

Pengaruh terhadap Reputasi Perusahaan: Keterlambatan penyelesaian perkara kepailitan dapat mempengaruhi reputasi perusahaan, karena perusahaan yang sedang dalam proses kepailitan dianggap memiliki masalah keuangan yang serius. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan kehilangan kepercayaan dari pelanggan, karyawan, dan mitra bisnis. Pengaruh terhadap Kemampuan Perusahaan untuk Membayar Utang: Keterlambatan penyelesaian perkara kepailitan dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk membayar utang, karena perusahaan harus terus-menerus menghadapi proses hukum yang berkepanjangan. 

Hal ini dapat menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar utang dan harus melakukan likuidasi. Dalam kesimpulan, keterlambatan penyelesaian perkara kepailitan dapat memiliki implikasi hukum yang signifikan terhadap going concern perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus berusaha untuk menyelesaikan perkara kepailitan dengan cepat dan efektif untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Tantangan Pengadilan Niaga dalam menangani perkara kepailitan perusahaan multinasional

Pengadilan Niaga di Indonesia memiliki peran penting dalam menangani perkara kepailitan perusahaan, termasuk perusahaan multinasional. Namun, dalam menangani perkara kepailitan perusahaan multinasional, Pengadilan Niaga dihadapkan pada beberapa tantangan. 

Berikut adalah beberapa tantangan yang dihadapi: Keterbatasan Yurisdiksi: Pengadilan Niaga di Indonesia memiliki keterbatasan yurisdiksi dalam menangani perkara kepailitan perusahaan multinasional yang memiliki aset dan operasi di beberapa negara. 

Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam mengumpulkan bukti, memanggil saksi, dan melaksanakan putusan pengadilan. Perbedaan Hukum dan Regulasi: Perusahaan multinasional sering kali tunduk pada hukum dan regulasi yang berbeda-beda di setiap negara. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan hukum yang berlaku dan menginterpretasikan regulasi yang relevan. 

Kompleksitas Struktur Perusahaan: Perusahaan multinasional sering kali memiliki struktur yang kompleks, dengan beberapa anak perusahaan dan afiliasi di beberapa negara. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi aset dan utang perusahaan, serta menentukan siapa yang bertanggung jawab atas utang-utang perusahaan. Keterlibatan Pihak Ketiga: Perusahaan multinasional sering kali memiliki hubungan dengan pihak ketiga, seperti kreditor, supplier, dan pelanggan. 

Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan hak dan kewajiban pihak ketiga dalam proses kepailitan. Keterbatasan Sumber Daya: Pengadilan Niaga di Indonesia memiliki keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran maupun sumber daya manusia. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menangani perkara kepailitan perusahaan multinasional yang kompleks dan memerlukan sumber daya yang besar

 Kesimpulan

Optimalisasi peran Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan efektivitas hukum perusahaan di Indonesia. Pengadilan Niaga harus menjadi pusat resolusi sengketa dalam perkara kepailitan dan PKPU. Dengan demikian, Pengadilan Niaga dapat memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa dapat berjalan secara efektif dan efisien.

 Peningkatan kemampuan hakim Pengadilan Niaga dalam menangani perkara kepailitan dan PKPU sangat penting. Hakim harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum perusahaan, kepailitan, dan PKPU untuk dapat menangani perkara dengan efektif.

 Penggunaan teknologi dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Niaga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses. Penggunaan teknologi seperti e-filing, e-court, dan lain-lain dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa. Koordinasi antara Pengadilan Niaga dengan lembaga lain seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Otoritas Jasa Keuangan, dan lain-lain sangat penting dalam menangani perkara kepailitan dan PKPU. 

Dengan demikian, optimalisasi peran Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan dan PKPU dapat meningkatkan efektivitas hukum perusahaan di Indonesia. Pengadilan Niaga harus menjadi pusat resolusi sengketa yang efektif dan efisien, dengan peningkatan kemampuan hakim, penggunaan teknologi, koordinasi dengan lembaga lain, dan pengembangan hukum perusahaan yang lebih komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Putu Eka Trisna Dewi, (2023), KARAKTERISTIK KHUSUS PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI PERKARA KEPAILITAN, Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Volume. 05, Nomor 01, https://e-journal.unmas.ac.id/index.php/JHS.

Dr. H. M. Amin, S.H., M.H. (2020), Tantangan Pengadilan Niaga dalam Menangani Perkara Kepailitan Perusahaan Multinasional, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 40, No. 1.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (2004). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Hartanto, J. Andy. (2022). "Going Concern dalam Hukum Kepailitan Indonesia: Perspektif Perlindungan Bisnis." Rajawali Pers, Jakarta.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Kepailitan: Perspektif Teori dan Praktik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016.

Sujitno, (2022), Konflik Yurisdiksi antara Arbitrase dan Pengadilan Niaga, Jurnal Hukum, Volume 9 Nomor 19 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Jono. (2023). Hukum Kepailitan dan PKPU: Perspektif Teori dan Praktik Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Situmorang, Victor M., & Hendri Soekarso. (2020). Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun