Mohon tunggu...
Dadang Sukandar
Dadang Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis dan Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Rambutan

31 Januari 2011   00:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/pohon-rambutan/

Sepulang dari kampus aku mendekati kamar kosku dengan berjalan termindik-mindik, mengawasi sekeliling menghindari Bu Kawi. Tapi gagal. Ibu pemilik kos-kosan itu meneriakkan namaku dari arah pintu rumahnya.

“Kusnooo…!”

“Gawat!” pikirku.

“Kusno, kamu sudah dua bulan menunggak uang kos,” kata Bu Kawi ketika ia sudah di hadapanku. “Kapan bayarnya?”

“Maaf, Bu! Saya belum punya uang.  Mohon beri saya tempo seminggu lagi,” jawabku tanpa terkira dari mana akan mendapatkan uangnya.

Aku tidak seperti mahasiswa lainnya di komplek kos-kosan itu yang setiap awal bulan menerima kiriman uang dari orang tua mereka. Uang kuliah, sewa kos, bahkan untuk makan sehari-hari semuanya kuperas dari keringatku sendiri. Ayahku di kampung sudah lama kularang mengirimi uang. Alasanku karena ingin mandiri. Untuk pemasukan aku sering membantu penelitian dosen-dosenku di fakultas hukum. Terkadang aku juga bekerja memerah susu di peternakan sapi kecil beberapa rumah di belakang kosku. Juga Bu Kawi, kepada janda satu ini aku sering memberi bermacam-macam bantuan: memperbaiki genteng kos-kosan yang bocor, saluran air yang mampet, atau aliran listrik kalau anjlok, pekerjaan-pekerjaan yang sering melonggarkanku dalam urusan uang kos.

“Begini saja,” lanjut Bu Kawi. “Seminggu yang lalu Pak Basir menawarkan diri untuk membeli kebun rambutan milik saya. Katanya ia mau memperlebar pabrik pengolahan susunya di belakang sana. Kebetulan saya juga butuh modal untuk bikin warung kelontong. Saya menyetujui usul Pak Basir dan kemarin ia menyodorkan surat perjanjian ini.”

Bu Kawi menyodorkan tiga lembar perjanjian itu kepadaku.

“Saya tidak mengerti isinya. Kamu bisa bantu saya, No? Kamu kan kuliah hukum.”

“Ada kelemahan dalam perjanjian ini,” kataku setelah membacanya.

“Maksudmu?”

“Perjanjian ini kurang memenuhi syarat.”

Kujelaskan padanya bahwa sertifikat tanah tersebut masih atas nama almarhum suami Bu Kawi, jadi ia tak bisa begitu saja menandatanganinya. Ini bisa menjadi kurang syarat subyektif. Juga dalam perjanjian itu tidak dijelaskan keterangan tanahnya. Ini bisa menjadi kurang syarat obyektif.

“Saya usulkan sebaiknya diurus notaris. Nanti notaris yang membuat akta jual belinya sekaligus pengalihan nama ke badan pertanahan. Saya kenal beberapa notaris bagus,” kataku.

“Bagaimana baiknya menurutmu sajalah, yang penting tanahnya terjual dengan harga bagus. Kamu mau bantu mengurusnya kan?”

“Soal uang kos? Bisa saya minta perpanjangan waktu?” tanyaku tembak langsung.

“Gampanglah soal itu. Tolong selesaikan saja dulu semua urusan tanah ini,” dan kini aku telah menjadi pengacaranya.

“Oh, ya. Kemarin tukang pos menyerahkan surat ini. Untukmu,” Bu Kawi menyerahkan seamplop surat kepadaku.

Di alamatnya surat itu berasal dari kampungku. Kusobek ujungnya dan langsung kubaca. Dari tanggalnya surat itu dikirim tiga hari yang lalu. Mas Girin, Masku yang tertua, yang menulisnya. Dalam surat itu ia menjelaskan bahwa ayah sakit keras.

“Ayah berkeras tak ingin dibawa ke rumah sakit. Dokter yang datang ke rumah sudah memvonis: ayah diabetes parah,” tulisnya, dan otot-ototku seketika menegang. Pikiran yang terlontar pada ayah membuat mataku berkaca.

“Kenapa, No?” tanya bu Kawi.

“Ayah saya sakit keras, Bu,” kataku. “Saya diminta pulang kampung.”

“Kalau begitu, pulanglah!”

“Tapi saya tidak punya ongkos. Dan lagi, bagaimana dengan perjanjian ini?”

“Lupakan dulu perjanjian ini. Kita akan mengurusnya lagi setelah kamu kembali. Soal ongkos, saya akan meminjamkanmu secukupnya,” Bu Kawi menawarkan.

“Tidak, Bu! Saya tidak ingin merepotkan. Uang kos saja belum lunas,” tolakku.

“Lalu, ada cara lain?”

Aku berpikir sebentar. Dalam pikiran sempat terlintas menerima tawaran itu. Tapi, tidak. Aku benci berhutang. Hutang bagai ular melilit badan, bisa sesak dadaku dihimpitnya.

“Begini saja,” kataku saat sebuah ide melintas di pikiran. “Berikan saya sekarung rambutan dari kebun ibu yang sebentar lagi panen. Saya akan menjualnya di kereta selama perjalanan pulang kampung.”

“Apa, No? Kamu yakin?” tanya Bu Kawi, tak percaya dengan ide konyolku itu.

“Berikan saja saya sekarung rambutan. Semuanya akan beres,” janjiku.

Siangnya, bersama Bu Kawi aku memanen rambutan di kebunnya. Di sana ada lima batang pohon rambutan yang siap panen. Aku memetik buahnya di beberapa pohon. Jumlahnya hampir setengah karung. Setelah kurapihkan dengan ikatan-ikatan, total jumlahnya dua puluh ikat. Aku dan Bu Kawi sepakat, harga seikatnya seribu lima ratus rupiah yang akan kubayar setelah laku terjual. Di kereta nanti, aku akan menjualnya tiga ribu rupiah satu ikat. Bu Kawi tak banyak komentar selain berkacak pinggang dan geleng-geleng kepala.

*

Aku naik kereta api ekonomi termurah di gerbong paling belakang. Sebuntel karung berisi dua puluh ikat rambutan kuangkat sampai ke pundak. Para penumpang telah menyesaki kereta di kursinya masing-masing, saling berhadapan dalam kavling-kavling sempit sehingga bau busuk nafas mereka saling bertumbukan. Karena gerbong telah sesak, karung itu kuletakkan di bordes kereta dan aku mengambil duduk di tangga pintu, persis di depan WC. Pukul sembilan malam kereta itu mulai melindasi relnya dan bergerak menuju ke timur.

Memasuki kota Bekasi aku mulai beraksi. Beberapa ikat rambutan kukeluarkan dari karung dan aku mulai bernyanyi ala asongan, “Rambutan manis! Rambutan manis! Tiga ribu satu ikat, beli dua cuma lima ribu!”

Sambil berteriak ala asongan aku menjelajahi setiap gerbong, dari belakang sampai ke depan. Pelanggan pertamaku adalah seorang ibu yang memborong tiga ikat rambutan sekaligus.

Di gerbong paling tengah kondektur kereta menanyakan tiketku. Kukatakan padanya bahwa aku seorang asongan. Kondektur itu menatapku dari mata sampai kaki, mencurigai tampangku yang terlihat bersih dan intelek. Tapi aku percaya diri saja, karena saat itu aku memang seorang asongan, bukan penumpang gelap, dan di kereta ini seorang asongan punya hak untuk tidak membeli tiket. Karena cuekku akhirnya kondektur itu meninggalkanku.

Pagi dini hari perutku mulai berkeruak. Rupanya cacing-cacing dalam perut sedang berpesta dan membuatku kelaparan. Ingin kumakan seikat rambutan tapi takut sakit perut. Kudekati seorang ibu penjual pecel yang sedang duduk istirahat di dekat bordes. Awalnya ia kuajak ngobrol, lalu kutawarkan beberapa buah rambutan.

“Enak, manis,” katanya.

“Bagaimana kalu barter, satu ikat rambutan dengan satu pincuk pecel?” tawarku padanya.

Bukan hanya setuju, ia bahkan meminta dua ikat rambutan yang ditukar dengan dua pincuk pecel. Setelah kulahap, cacing-cacing perutkupun mulai lelap. Aku kenyang bukan main, nyaris tertidur di lantai gerbong.

Menjelang subuh kereta sudah tiba di stasiun tujuan: kampungku. Kepada sopir angkot yang mangkal di depan stasiun aku menawarkan barter ongkos dengan tiga ikat rambutan terakhir. Negosiasi alot membuatnya setuju. Harga tiga ikat rambutan itu sama dengan harga ongkos satu orang lebih sedikit.

*

Turun dari angkot aku melintasi pagar bambu yang melingkungi pekarangan rumah ayah dan berdiri di bawah pohon rambutan. Di atas kepalaku buah rambutannya berjuntai merah-merah. Kupungut satu yang jatuh di pekarangan, dan rasanya, amboi…! Manis sekali. Pohon rambutan itu aku yang menanamnya waktu SD dulu. Waktu itu ayah sedang mengajarkan anak bungsunya ini cara menanamkan biji-bijian ke dalam tanah.

“Anak laki-laki harus menanam,” kata ayah waktu itu, dan kini aku sedang menilai hasilnya yang siap panen.

Aku berjalan lagi mendekati rumah panggung berkayu reot, rumah ayahku. Rumah panggung itu catnya sudah kusam. Tiang utama bagian kiri telah lebih dalam melesak ke tanah dibandingkan tiang kanan, membuat sisi kiri rumah lebih rendah hingga mirip kapal oleng yang lambungnya diseruduk ombak. Sejak aku kuliah di Jakarta, hanya ayah yang tinggal di rumah itu. Mas-mas dan Mba-mbaku telah pindah ke rumah masing-masing yang bertembok keramik. Tentu saja bersama istri-istri dan suami mereka. Ayah hampir tak punya waktu merawat rumah, terlalu sibuk mengurusi ladang-ladangnya yang terpencar di pojok-pojok desa. Jika saja ibu masih ada, kurasa tiang-tiang rumah ayah tak akan sepeot itu dihisapi rayap.

Aku mengetuk pintu rumah dan memanggil ayah berkali-kali. Tak ada jawaban. Kemudian aku memanggil Mas-mas dan Mba-mbaku, juga tak ada jawaban.

“No!” seru seseorang di belakangku.

“Mbok Jum, ke mana orang-orang?” tanyaku padanya.

“Ke pemakaman desa, No!” jawab Mbok Juminep, tetanggaku.

Keningku berkernyit. Mungkinkah ayah telah… Ah, tidak! Tak mungkin.

“Pemakaman desa, Mbok?” tanyaku menegaskan.

“Iya, No. Mengantarkan ayahmu. Ayahmu sudah…,” ia menghentikan keterangannya, dan saat itu juga aku menangkap ayah telah tiada. Aku menjadi panik. Darahku menjompak. Aku berlari menuju ke pemakaman desa.

Di sana telah ada Mas-mas dan Mba-mbaku sedang mengitari liang lahat. Juga di sana kujumpai paman-paman dan bibi-bibiku serta sekalian tetangga-tetangga. Sebagian mereka sudah berladung air mata. Ketika aku mendekat, Masku yang paling tua mencengkeram pundakku.

“Sudah pergi, No. Ayah telah hidup tenang sekarang,” ucapnya mendalam.

Kemudian aku juga ikut berladung air mata. Dan di dalam hati, air matakku telah menjadi bah.

*

Malamnya, selepas pengajian, di rumah ayah diadakan rapat keluarga. Selain aku, di ruang tengah telah duduk kedua Masku juga kedua Mbaku.

“Sesuai aturan agama, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dari anak perempuan. Itu berarti anak laki-laki mendapat bagian satu perempat dan anak perempuan satu perdelapan warisan,” begitu mas Girin mengatur.

“Mas, tidakkah Mas ingat pesan terakhir ayah sebelum pergi? Ia ingin seluruh harta warisannya dibagi sama rata baik anak laki-laki maupun perempuan,” cetus Mba Lasmi, Mbaku anak nomor tiga.

“Tapi laki-laki menanggung beban keluarga lebih besar. Selain itu, kita juga tidak boleh menentang aturan agama,” jawab Mas Girin.

“Bukankah kita harus mendahulukan amanah?” kata Mba Lasmi. “Dan selama ayah sakit-sakitan, bukankah aku dan Lasri yang rajin mengurusinya, bahkan membersihkan kotorannya di atas ranjang?”

“Jangan mentang-mentang kau dan Lasri yang mengurusi ayah lantas kita menentang aturan agama,” bantah Mas Girin.

“Terserah apa katamu, Mas. Pokoknya, aku tidak setuju dengan pembagianmu. Aku mengutamakan amanah ayah.”

“Hei, Kusno! Bagaimana menurutmu? Kau kan yang paling tinggi sekolahnya, dan kau belajar hukum pula. Coba, bagaimana pendapatmu dari sudut hukum,” pinta Mas Girin.

Aku, yang sedari tadi melamunkan ayah, tergeragap. Otakku dipukul mundur, mengingat-ingat lagi pembagian waris seperti yang kupelajari di kuliah hukum waris.

“Dalam hukum, pembagian waris diatur berdasarkan agama dan undang-undang,” kataku. “Menurut aturan agama, anak laki-laki memperoleh bagian dua berbanding satu dari anak perempuan. Tapi menurut undang-undang, pembagian itu sama rata, baik anak laki-laki maupun perempuan. Namun kedua aturan itu mensyaratkan, bahwa jika ada wasiat maka wasiat itulah yang harus didahulukan. Jadi, menurutku kita harus mendahulukan amanah ayah, membagi warisan itu sama rata,” jelasku.

“Hei, Kusno, kau kan anak laki-laki, mengapa berpendapat begitu?” tanya Mas Girin.

“Itu bukan pendapatku Mas. Itu menurut hukum,” jawabku.

“Kau dengar, Mas? Hukumpun telah menjunjung amanah,” cetus Mba Lasmi.

“Ah, masa bodoh. Pokoknya, sebagai anak tertua, begitu aturanku. Anak laki-laki memperoleh seperempat dan anak perempuan seperdelapan,” tutupnya tanpa kompromis.

Dan begitu pula Mba Lasmi, makin sengit menolak, dan tolakannya itu ditolak lagi oleh Mas Girin. Hingga lewat tengah malam belum juga ada aklamasi. Suasana semakin tegang.

“Begini saja,” tiba-tiba kupecah kebuntuan itu. “Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, akan memperoleh warisan sama rata. Anak laki-laki satu perempat bagian seperti kemauan Mas Girin, dan anak perempuan satu perempat bagian seperti keinginan mba Lasmi.”

“Mana bisa begitu! Seluruh harta warisan jumlahnya delapan perdelapan. Kalau tiga anak laki-laki memperoleh seperempat, maka anak perempuan memperoleh seperdelapan bagian. Lemah sekali matematikamu, No.”

“Tidak, Mas. Matematikaku tidak lemah. Yang kumaksudkan disini adalah aku akan merelakan seperempat bagianku untuk Mba Lasmi dan Mba Lasri. Jadi, semua anak perempuan akan memperoleh masing-masing seperdelapan bagian ditambah seperdelapan dari bagianku. Jadi semua memperoleh seperempat.”

“Maksudmu?” tanya Mas Girin heran.

“Ya, Mas! Aku akan memberikan hak warisanku kepada Mba Lasmi dan Mba Lasri. Aku rela tidak memperoleh sepeserpun dari warisan. Aku hanya ingin kita tidak bertengkar begini memperebutkan harta warisan. Ingat, Mas, ibu dan ayah telah tiada. Apalagi yang kita punya selain persaudaraan? Soal harta, dia bisa datang dan dia bisa juga mudah pergi. Tapi persaudaraan, selamanya harus kekal Mas,” kataku.

“No, kau yakin tak inginkan warisan?”  tanya Mas Girin yang nadanya mulai melembut.

“Kalau harus memporak-porandakan persaudaraan begini, tentu tidak, Mas. Aku tak menginginkan warisan. Dari seluruh harta yang ditinggalkan ayah, aku hanya minta sebatang pohon rambutan yang ada di pekarangan rumah. Ya, pohon rambutan yang dulu kutanam bersama ayah. Selebihnya, untuk kalianlah.”

“Tapi kau juga berhak mendapatkan warisan, No,” Mas Girin meyakinkanku.

“Aku mengerti, Mas, tapi tenang saja, aku punya ilmu. Dengan ilmu, aku memiliki hampir segalanya. Dengan ilmu aku tak perlu membayar uang kos di Jakarta. Dengan ilmu aku juga tak perlu membayar ongkos kereta. Dan dengan ilmu, aku tak perlu khawatir bakal kelaparan. Kini aku mulai mengerti bagaimana menggunakan ilmu untuk hidup dan kehidupanku, Mas.”

Malam itu merekapun menuruti aturanku: semua anak memperolah satu perempat bagian dari harta warisan. Mereka telah menganggap pendapatku itulah yang teradil, meskipun bagianku hanya sebatang pohon rambutan yang bagiku tak terkira nilainya, sebagai pohon pengenang ayah, orang yang pernah mengajariku menanamkan biji.

“Ada yang kulupa,” kata mba Lasmi sambil berdiri dan menuju ke sebuah lemari yang sudah keropos, satu-satunya perabotan mewah milik ayah di ruang tengah. Dari dalam lemari Mba Lasmi menarik amplop surat berwarna coklat ukuran folio. “Sebelum meninggal, ayah menitipkan amplop ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan amplop yang dilem tanpa cacat itu kepadaku.

Segera kubuka amplop itu dengan hati berbunga, berharap isinya pesan-pesan terakhir ayah untukku, kata-katanya yang pasti akan kuturuti sebagai cahaya penunjuk jalan hidup. Isi surat itu ada beberapa lembar. Lembar pertama tulisan ayah, tulisan tangannya yang sangat kukenal.

Aku yakin, kemandirianmu pasti akan menolak, tapi kali ini kumohon kau tak menolaknya. Pada lembaran-lembaran berikut setelah surat ini akan kau temukan polis asuransi. Aku telah mengasuransikan diriku untuk pendidikanmu. Sebenarnya aku tidak mengerti asuransi, pamanmu Supri yang menyarankannya, dan ia pula yang mengurusnya untukku. Katanya itu baik untuk pendidikanmu. Dan setelah aku pergi sekarang, kuharap kau mau menerima peninggalanku yang terakhir ini. Kumohon, jangan ditolak lagi seperti dulu kau menolak aku membiayai kuliahmu. Anakku, izinkan aku berpartisipasi dalam kebaikan dan masa depanmu. Cuma ini satu-satunya yang bisa kutinggalkan untukmu, keturunanku yang kelak akan berguna bagi banyak orang. Ayahmu.

Titik air yang melintas di sisi hidungku melesap jatuh tepat di kertas surat. Untuk sesaat aku menemui diriku sebagai orang yang jahat, anak yang tak memberinya kesempatan untuk menjadi seorang ayah yang bangga. Tidak, ayah. Aku akan membuatmu bangga. Akan kutunjukkan bahwa kau telah berpartisipasi penuh dalam diri anakmu yang kelak membanggakan keluarga ini. Akan kulakukan segala perintahmu seperti yang kau mau dalam surat.

Kubacai lagi lembar demi lembar berikutnya yang berkop surat perusahaan asuransi AJB Bumiputra 1912, tempat pamanku Supri bekerja. Pada lembar polis asuransi kuketahui bahwa ayah telah mengasuransikan dirinya dengan aku sebagai penerima uang asuransi. Dalam salah satu pasalnya disebutkan, aku berhak memperoleh uang asuransi sebesar tujuh puluh juta rupiah jika ayah meninggal dunia. Dari catatan panjang di lembaran-lembaran berikutnya, baru kuketahui ternyata enam bulan sekali ayah telah membayar premi asuransinya sebesar tiga juta rupiah, nilai yang sama besarnya dengan biaya kuliahku satu semester.

Kuceritakan soal asuransi itu kepada Mas-mas dan Mba-mbaku. Mas Girin mengusulkan agar uang asuransi itu dimasukkan juga kedalam boedel waris, lalu dibagi bersama kepada para ahli waris. Mba Lasmi menolak dengan alasan amanah, dan begitupun diriku, menolak keras usulan itu. Kukatakan padanya bahwa aku akan mempertahankan asuransi itu mati-matian, bukan semata-mata karena uang, melainkan karena janjiku kepada ayah. Mas Girin akhirnya menyetujui keinginanku setelah sebuah syarat kupenuhi: menandatangani surat pernyataan bahwa aku tak akan menuntut harta lainnya yang menjadi warisan. Malam itu mereka pulang ke rumah masing-masing dengan wajah tersenyum seolah durian matang telah jatuh di pekarangan, meninggalkanku sendirian yang masih meyakinkan diri bahwa ayah telah tiada.

Keesokan lusanya aku naik lagi kereta api ekonomi termurah, kembali ke Jakarta. Sebuntel karung kuangkat sampai ke pundak. Isinya buah rambutan dari pekarangan rumah ayah. Kali ini jumlah rambutan dalam karung itu dua kali lipat dari yang pertama kubawa ke kampung. Setibanya di Jakarta karung itu telah kempis. Rambutanku habis dan kantong celanaku tebal oleh lembaran-lembaran seribu rupiah.

(Dadang Sukandar)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun