Mohon tunggu...
Dadang Sukandar
Dadang Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis dan Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Rambutan

31 Januari 2011   00:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Turun dari angkot aku melintasi pagar bambu yang melingkungi pekarangan rumah ayah dan berdiri di bawah pohon rambutan. Di atas kepalaku buah rambutannya berjuntai merah-merah. Kupungut satu yang jatuh di pekarangan, dan rasanya, amboi…! Manis sekali. Pohon rambutan itu aku yang menanamnya waktu SD dulu. Waktu itu ayah sedang mengajarkan anak bungsunya ini cara menanamkan biji-bijian ke dalam tanah.

“Anak laki-laki harus menanam,” kata ayah waktu itu, dan kini aku sedang menilai hasilnya yang siap panen.

Aku berjalan lagi mendekati rumah panggung berkayu reot, rumah ayahku. Rumah panggung itu catnya sudah kusam. Tiang utama bagian kiri telah lebih dalam melesak ke tanah dibandingkan tiang kanan, membuat sisi kiri rumah lebih rendah hingga mirip kapal oleng yang lambungnya diseruduk ombak. Sejak aku kuliah di Jakarta, hanya ayah yang tinggal di rumah itu. Mas-mas dan Mba-mbaku telah pindah ke rumah masing-masing yang bertembok keramik. Tentu saja bersama istri-istri dan suami mereka. Ayah hampir tak punya waktu merawat rumah, terlalu sibuk mengurusi ladang-ladangnya yang terpencar di pojok-pojok desa. Jika saja ibu masih ada, kurasa tiang-tiang rumah ayah tak akan sepeot itu dihisapi rayap.

Aku mengetuk pintu rumah dan memanggil ayah berkali-kali. Tak ada jawaban. Kemudian aku memanggil Mas-mas dan Mba-mbaku, juga tak ada jawaban.

“No!” seru seseorang di belakangku.

“Mbok Jum, ke mana orang-orang?” tanyaku padanya.

“Ke pemakaman desa, No!” jawab Mbok Juminep, tetanggaku.

Keningku berkernyit. Mungkinkah ayah telah… Ah, tidak! Tak mungkin.

“Pemakaman desa, Mbok?” tanyaku menegaskan.

“Iya, No. Mengantarkan ayahmu. Ayahmu sudah…,” ia menghentikan keterangannya, dan saat itu juga aku menangkap ayah telah tiada. Aku menjadi panik. Darahku menjompak. Aku berlari menuju ke pemakaman desa.

Di sana telah ada Mas-mas dan Mba-mbaku sedang mengitari liang lahat. Juga di sana kujumpai paman-paman dan bibi-bibiku serta sekalian tetangga-tetangga. Sebagian mereka sudah berladung air mata. Ketika aku mendekat, Masku yang paling tua mencengkeram pundakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun