“Ya, Mas! Aku akan memberikan hak warisanku kepada Mba Lasmi dan Mba Lasri. Aku rela tidak memperoleh sepeserpun dari warisan. Aku hanya ingin kita tidak bertengkar begini memperebutkan harta warisan. Ingat, Mas, ibu dan ayah telah tiada. Apalagi yang kita punya selain persaudaraan? Soal harta, dia bisa datang dan dia bisa juga mudah pergi. Tapi persaudaraan, selamanya harus kekal Mas,” kataku.
“No, kau yakin tak inginkan warisan?” tanya Mas Girin yang nadanya mulai melembut.
“Kalau harus memporak-porandakan persaudaraan begini, tentu tidak, Mas. Aku tak menginginkan warisan. Dari seluruh harta yang ditinggalkan ayah, aku hanya minta sebatang pohon rambutan yang ada di pekarangan rumah. Ya, pohon rambutan yang dulu kutanam bersama ayah. Selebihnya, untuk kalianlah.”
“Tapi kau juga berhak mendapatkan warisan, No,” Mas Girin meyakinkanku.
“Aku mengerti, Mas, tapi tenang saja, aku punya ilmu. Dengan ilmu, aku memiliki hampir segalanya. Dengan ilmu aku tak perlu membayar uang kos di Jakarta. Dengan ilmu aku juga tak perlu membayar ongkos kereta. Dan dengan ilmu, aku tak perlu khawatir bakal kelaparan. Kini aku mulai mengerti bagaimana menggunakan ilmu untuk hidup dan kehidupanku, Mas.”
Malam itu merekapun menuruti aturanku: semua anak memperolah satu perempat bagian dari harta warisan. Mereka telah menganggap pendapatku itulah yang teradil, meskipun bagianku hanya sebatang pohon rambutan yang bagiku tak terkira nilainya, sebagai pohon pengenang ayah, orang yang pernah mengajariku menanamkan biji.
“Ada yang kulupa,” kata mba Lasmi sambil berdiri dan menuju ke sebuah lemari yang sudah keropos, satu-satunya perabotan mewah milik ayah di ruang tengah. Dari dalam lemari Mba Lasmi menarik amplop surat berwarna coklat ukuran folio. “Sebelum meninggal, ayah menitipkan amplop ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan amplop yang dilem tanpa cacat itu kepadaku.
Segera kubuka amplop itu dengan hati berbunga, berharap isinya pesan-pesan terakhir ayah untukku, kata-katanya yang pasti akan kuturuti sebagai cahaya penunjuk jalan hidup. Isi surat itu ada beberapa lembar. Lembar pertama tulisan ayah, tulisan tangannya yang sangat kukenal.
“Aku yakin, kemandirianmu pasti akan menolak, tapi kali ini kumohon kau tak menolaknya. Pada lembaran-lembaran berikut setelah surat ini akan kau temukan polis asuransi. Aku telah mengasuransikan diriku untuk pendidikanmu. Sebenarnya aku tidak mengerti asuransi, pamanmu Supri yang menyarankannya, dan ia pula yang mengurusnya untukku. Katanya itu baik untuk pendidikanmu. Dan setelah aku pergi sekarang, kuharap kau mau menerima peninggalanku yang terakhir ini. Kumohon, jangan ditolak lagi seperti dulu kau menolak aku membiayai kuliahmu. Anakku, izinkan aku berpartisipasi dalam kebaikan dan masa depanmu. Cuma ini satu-satunya yang bisa kutinggalkan untukmu, keturunanku yang kelak akan berguna bagi banyak orang. Ayahmu.”
Titik air yang melintas di sisi hidungku melesap jatuh tepat di kertas surat. Untuk sesaat aku menemui diriku sebagai orang yang jahat, anak yang tak memberinya kesempatan untuk menjadi seorang ayah yang bangga. Tidak, ayah. Aku akan membuatmu bangga. Akan kutunjukkan bahwa kau telah berpartisipasi penuh dalam diri anakmu yang kelak membanggakan keluarga ini. Akan kulakukan segala perintahmu seperti yang kau mau dalam surat.
Kubacai lagi lembar demi lembar berikutnya yang berkop surat perusahaan asuransi AJB Bumiputra 1912, tempat pamanku Supri bekerja. Pada lembar polis asuransi kuketahui bahwa ayah telah mengasuransikan dirinya dengan aku sebagai penerima uang asuransi. Dalam salah satu pasalnya disebutkan, aku berhak memperoleh uang asuransi sebesar tujuh puluh juta rupiah jika ayah meninggal dunia. Dari catatan panjang di lembaran-lembaran berikutnya, baru kuketahui ternyata enam bulan sekali ayah telah membayar premi asuransinya sebesar tiga juta rupiah, nilai yang sama besarnya dengan biaya kuliahku satu semester.