Kuceritakan soal asuransi itu kepada Mas-mas dan Mba-mbaku. Mas Girin mengusulkan agar uang asuransi itu dimasukkan juga kedalam boedel waris, lalu dibagi bersama kepada para ahli waris. Mba Lasmi menolak dengan alasan amanah, dan begitupun diriku, menolak keras usulan itu. Kukatakan padanya bahwa aku akan mempertahankan asuransi itu mati-matian, bukan semata-mata karena uang, melainkan karena janjiku kepada ayah. Mas Girin akhirnya menyetujui keinginanku setelah sebuah syarat kupenuhi: menandatangani surat pernyataan bahwa aku tak akan menuntut harta lainnya yang menjadi warisan. Malam itu mereka pulang ke rumah masing-masing dengan wajah tersenyum seolah durian matang telah jatuh di pekarangan, meninggalkanku sendirian yang masih meyakinkan diri bahwa ayah telah tiada.
Keesokan lusanya aku naik lagi kereta api ekonomi termurah, kembali ke Jakarta. Sebuntel karung kuangkat sampai ke pundak. Isinya buah rambutan dari pekarangan rumah ayah. Kali ini jumlah rambutan dalam karung itu dua kali lipat dari yang pertama kubawa ke kampung. Setibanya di Jakarta karung itu telah kempis. Rambutanku habis dan kantong celanaku tebal oleh lembaran-lembaran seribu rupiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H