“Sudah pergi, No. Ayah telah hidup tenang sekarang,” ucapnya mendalam.
Kemudian aku juga ikut berladung air mata. Dan di dalam hati, air matakku telah menjadi bah.
*
Malamnya, selepas pengajian, di rumah ayah diadakan rapat keluarga. Selain aku, di ruang tengah telah duduk kedua Masku juga kedua Mbaku.
“Sesuai aturan agama, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dari anak perempuan. Itu berarti anak laki-laki mendapat bagian satu perempat dan anak perempuan satu perdelapan warisan,” begitu mas Girin mengatur.
“Mas, tidakkah Mas ingat pesan terakhir ayah sebelum pergi? Ia ingin seluruh harta warisannya dibagi sama rata baik anak laki-laki maupun perempuan,” cetus Mba Lasmi, Mbaku anak nomor tiga.
“Tapi laki-laki menanggung beban keluarga lebih besar. Selain itu, kita juga tidak boleh menentang aturan agama,” jawab Mas Girin.
“Bukankah kita harus mendahulukan amanah?” kata Mba Lasmi. “Dan selama ayah sakit-sakitan, bukankah aku dan Lasri yang rajin mengurusinya, bahkan membersihkan kotorannya di atas ranjang?”
“Jangan mentang-mentang kau dan Lasri yang mengurusi ayah lantas kita menentang aturan agama,” bantah Mas Girin.
“Terserah apa katamu, Mas. Pokoknya, aku tidak setuju dengan pembagianmu. Aku mengutamakan amanah ayah.”
“Hei, Kusno! Bagaimana menurutmu? Kau kan yang paling tinggi sekolahnya, dan kau belajar hukum pula. Coba, bagaimana pendapatmu dari sudut hukum,” pinta Mas Girin.