Mohon tunggu...
Dadang Sukandar
Dadang Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis dan Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Rambutan

31 Januari 2011   00:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

*

Aku naik kereta api ekonomi termurah di gerbong paling belakang. Sebuntel karung berisi dua puluh ikat rambutan kuangkat sampai ke pundak. Para penumpang telah menyesaki kereta di kursinya masing-masing, saling berhadapan dalam kavling-kavling sempit sehingga bau busuk nafas mereka saling bertumbukan. Karena gerbong telah sesak, karung itu kuletakkan di bordes kereta dan aku mengambil duduk di tangga pintu, persis di depan WC. Pukul sembilan malam kereta itu mulai melindasi relnya dan bergerak menuju ke timur.

Memasuki kota Bekasi aku mulai beraksi. Beberapa ikat rambutan kukeluarkan dari karung dan aku mulai bernyanyi ala asongan, “Rambutan manis! Rambutan manis! Tiga ribu satu ikat, beli dua cuma lima ribu!”

Sambil berteriak ala asongan aku menjelajahi setiap gerbong, dari belakang sampai ke depan. Pelanggan pertamaku adalah seorang ibu yang memborong tiga ikat rambutan sekaligus.

Di gerbong paling tengah kondektur kereta menanyakan tiketku. Kukatakan padanya bahwa aku seorang asongan. Kondektur itu menatapku dari mata sampai kaki, mencurigai tampangku yang terlihat bersih dan intelek. Tapi aku percaya diri saja, karena saat itu aku memang seorang asongan, bukan penumpang gelap, dan di kereta ini seorang asongan punya hak untuk tidak membeli tiket. Karena cuekku akhirnya kondektur itu meninggalkanku.

Pagi dini hari perutku mulai berkeruak. Rupanya cacing-cacing dalam perut sedang berpesta dan membuatku kelaparan. Ingin kumakan seikat rambutan tapi takut sakit perut. Kudekati seorang ibu penjual pecel yang sedang duduk istirahat di dekat bordes. Awalnya ia kuajak ngobrol, lalu kutawarkan beberapa buah rambutan.

“Enak, manis,” katanya.

“Bagaimana kalu barter, satu ikat rambutan dengan satu pincuk pecel?” tawarku padanya.

Bukan hanya setuju, ia bahkan meminta dua ikat rambutan yang ditukar dengan dua pincuk pecel. Setelah kulahap, cacing-cacing perutkupun mulai lelap. Aku kenyang bukan main, nyaris tertidur di lantai gerbong.

Menjelang subuh kereta sudah tiba di stasiun tujuan: kampungku. Kepada sopir angkot yang mangkal di depan stasiun aku menawarkan barter ongkos dengan tiga ikat rambutan terakhir. Negosiasi alot membuatnya setuju. Harga tiga ikat rambutan itu sama dengan harga ongkos satu orang lebih sedikit.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun