Ia tetap diam.
Puluhan pertanyaan kemudian ku proposalkan kepadanya. Berharap, mungkin ada pertanyaan tertentu yang mampu buatnya bicara. Sialnya, diam tetap menjadi jawaban paling utama.
Setelahnya, aku termenung. mengamini hening dengan liar.
Aku mengingat kematian Dazai dan Yamazaki yang begitu tragis sekaligus romantis di sungai Tama pasca Oba Yozo berakhir di bangsal rumah sakit jiwa.
Aku mengingat Kurt Cobain yang terlentang mendekap shootgun pasca Ia selesai tulis surat buat Boddah dan kelahi dengan Novoselic di dalam mobil.
Aku mengingat kematian Sylvia Plath yang amat malang di "Poppy in July" pasca Ted Hughes dan Susan Alliston menyemai bahagia di Bloomsburry. Sylvia yang malang mati ketika Hughes sedang berahi.
Aku mengingat Virginia Woolf yang menarik nafas terakhirnya di dasar sungai Ouse pasca kondisi depresif dan "Between the Acts" memberi nyawa terakhir pada ketakutan dan segala luka yang membasah.
Aku mengingat kematian Sergei Yesenin yang mabuk-mabukan sewaktu malam natal tinggalkan surat buat sahabatnya, Mayakovsky di sebelah tubuhnya yang tergantung di kamar hotel.
Aku mengingat kematian Anne Sexton yang sebelumnya Ia fatwakan dalam "The Suicide of Anne Sexton" dan teriakan keras "The death is mine!".
Aku mengingat Hemingway, Yukio Mishima, Van Gogh, Basquiat, Ben Vautier, Elvis Presley, Jimmy Hendrix, Chester, Janis Joplin dan semua yang seolah punya keyakinan sama dengan Anne Sexton, "The death is mine!"
Aku mendapati diriku pernah punya hasrat untuk mati pasca meminta pada Tuhan namun tak juga diberi. Hasrat itu serupa api membakar pagar moralitas yang membatasi. Dalam pikir, satu-persatu cara mati ku siapkan sebijak dan seelok mungkin. Sebab, aku ingin siapapun yang melihat akan bawa kesan bahagia yang tak bisa dibeli dunia.