"Tumbuh bersama hari-hari basi, aku mulai pergi, akankah kita bertemu matahari?" -Dongker, Sedih Memandang Mimpi
Barangkali kehidupan adalah kelahiran dari segala kesedihan, kekecawaan, kegetiran, kecemasan dan hal-hal buruk yang selalu tak pernah rampung. Barangkali, derita adalah kesimpulan non-fiksi dari fragmen-fragmen yang tak kan pernah mati. Barangkali, memandang ritmis hujan malam-malam adalah satu-satunya bahagia yang tak pernah terdifinisikan oleh filsafat. Setidaknya, semua itu hanya berlaku bagiku. Atau, setidaknya semuanya adalah barangkali saja.
Kulupakan semua buku yang belum sempat terbaca. Biarkan mereka tergeletak di rak kayu usang yang hampir usai usianya sebab dimakan rayap. Ku biarkan kamar tidur berantakan; baju dan celana tergeletak di atas lantai, asbak yang penuh abu dan putung rokok, tiga cangkir bekas minum kopi yang malas untuk beranjak, dua gitar ambruk tak berjarak dan puluhan rencana yang terpatahkan menguar di antara pengap dan wangi parfum.
Seorang pernah berkata padaku, "kondisi kamar adalah serupa dengan kondisi pikiran". Ya, segalanya berantakan. Baik kamar atau pikiran semua berantakan. Tapi, meski kamarku rapi, isi kepalaku tetap berantakan serupa Gaza, Bakhmut dan kota-kota lain usai menjadi medan perang.
Bahkan, bila aku adalah ketenangan, ketenangan adalah sekaligus kecemasan.
Dan, sialnya, imajinasi pasca perang yang adalah kedamaian, nyatanya kehidupan setelahnya yang dipenuhi daftar ketakutan yang seharusnya tak diketahui peradaban tak pernah terbayangkan. Pasca berakhirnya perang yang sebenarnya tak siapapun menangkan, lapar menjadi nampak lebih nyata dari dosa dan Tuhan. Dan, bahaya adalah kawan dekat, yang sedekat urat nadi.
Pasca perang yang diakhiri perang, perang akan kembali ke atas panggung sejarah. "Tidak ada perang yang akan bisa mengakhiri perang", Murakami mengingatkan dalam Kafka on the Shore.
Imajinasi pasca revolusi adalah kemerdekaan yang membebaskan, nyatanya kelahiran entitas politik setelahya menuntun nalar kuasa lahirkan kembali dinasti yang hanya gemar bagi-bagi jatah roti dan merampas, pun atas ruang dan waktu yang tak seharusnya dimiliki siapapun. Otoritas adalah sihir ampuh untuk mengatur peradaban, bahkan mengontrol pikiran yang tak sempat dipelajari Circe pasca Odysseus yang dibantu Hermes mengalahkannya. Sedang, previledge adalah jubah termewah yang mampu memberi perlindungan dari segala komponen penderitaan.
Berburu dan meramu yang dikata aktivitas purba, tak pernah temui arkaisnya, menjadi pop culture yang diresepkan influencer dalam struktur algoritma. Tak lagi bahan pangan atau obat-obatan yang menjadi objek activity, sebab validasi adalah puncak dari segala kebutuhan.
Siapa yang percayai, bila seorang khotbahkan utopia yang resepnya adalah imajinasi tanpa segepok uang, sebilah samurai atau revolver Belgia? sebab hidup adalah pembuktian atau ancaman.
Bila tiada mampu membuktikan, maka tamatlah riwayat segala mimpi sejak sebelum baligh. Segala hal harus dibuktikan, yang samar dan jelas akan benar pada riasan paling apik. Tak perlu lagi diperdebatkan menyoal baik dan buruknya. Sebab, dalam benar, baik dan buruk telah purna.
Lebih bajingan mana, mereka yang berpura-pura segalanya baik-baik saja, mereka yang mengumbar kebohongan tentang proses dan hasil yang berujung pada takdir, atau mereka yang memerdekakan ketakutan dengan segala ancaman yang mengerikan?
Atau, semua sama berperan bajingan yang mengejar kebenaran dengan cara masing-masing?
Kubaringkan diri di atas sejarah, setelah kepala pening dipenuhi pikiran antah berantah dan tak berarah, yang tak punyai fungsi bila setelahnya kembali dituntut tar dan nikotin, juga alkohol dan kafein; Esok hari kembali dinormalisasi kondisi ekonomi.
Sialnya, normalitas adalah menjalankan pikiran orang lain dan hidup dengan standar orang lain. Ketika mengelak, menolak jadi makhluk peliharaan dan mencoba keluar dari domain normalitas bahkan sedetikpun akan dianggap gila, aneh dan payah.
....
Kesumat dendam pada takdir dan kenyataan menumpas sunyi malam yang menyulam kontrafaktualnya jerih dan nasib menjadi trauma mengerikan dan ketakutan.
Lirih detak arloji di meja kecil samping ranjang bermetamorfosis menjadi pekik riang harapan-harapan di dalam kepala yang hampir tewas ditikam cemas. Harapan-harapan yang lahir dari pergolatan moral dan pengetahuan, yang bertahun-tahun dirawat dan dibesarkan rencana dan keteguhan, yang berulangkali ditampar gagal dan kecewa.
Barangkali esok hari matahari tak terbit lagi, atau barangkali aku yang tak lagi lihat fajar merah kembali merekah. Aku, masih cemas.
Di malam yang tak terjaga doa, lamun ku tenun. Ku lihat masa depan terbunuh bersama harapan-harapan yang nestapa. Dan, masa lalu yang terkubur pulas dalam kenang, ku peluknya dengan renta dan putus asa.
Ku coba tenangkan diri. Mengolah sepi dengan mengenang kebijaksanaan Rumi. Namun, Segala cinta telah berakhir pasca darah sesaudara tumpah di Karbala.
Sayangnya, jejak ingatan tentang sadisnya hidup dan bengisnya fakta selalu saja muncul secara tiba-tiba tanpa kenal tempat dan waktunya. Biru kegagalan dan biru kekecewaan terus mengoyak hingga tarikan nafas paling akhir. Tak ada tempat paling aman buat melarikan diri dan sembunyi. Yang ada tinggal menuntun sedih pada tangis. Memeluk segalanya dengan renta dan putus asa.
Tiba-tiba Camus berkunjung ke kepala, Ia sampaikan kabar yang sedikit buatku tersenyum, "Tak apa, sampai hari ini, di gunung Tartarus, si Sisifus masih mendorong batu!". Mungkin, kesia-siaan akan selalu lebih unggul dari ribuan keringat. Sebab Sisifus dan bahagianya yang mampus adalah menyoal perjudian Tuhan. Mungkin. Aku juga masih pikirkannya. Atau, lebih layak melihat Sisifus yang bahagia, sementara sebenarnya Ia menderita. Nampaknya, akan lebih realistis. Entahlah.
Aku berdiri sejenak. Meraih ponsel yang sedang mengisi daya di atas meja, di samping "Norwegian Wood" milik Murakami yang lusuh setelah ada notifikasi pesan yang berbunyi. Ku harap, pesan dari Arin yang sebelumnya berpamitan akan segera mati suri. Ya, Ia bilang mati suri, bukan tidur.
Dengan getir, aku melihat sinis. Sebab, ternyata hanya pesan dari seorang di salah satu grup yang membagikan desas-desus informasi susunan kabinet jendral pelanggar HAM yang akan segera dilantik. Maniak politik kekuasaan yang hobi menghibah jatah dan menjilat. Sampah!
Ku tutup whatsapp dengan jijik, lalu ku buka spotify, kuletakkan kembali di atas meja setelahnya. Biarkan daftar lagu yang terangkum berputar berurutan.
Kesepian selalu berhasil mengantarkan kesepian lain yang tak pernah dirasa Nietsczche yang sifilis sibuk memaki gerombolan manusia dari dalam kamarnya. Dan, aku berhenti memaki sepi pasca Dongker membantuku mengorganisir marah dengan "Bertaruh Pada Api". Sialnya, setelahnya adalah "Sedih Memandang Mimpi" yang berulang ungkapkan pameo pasca sepasang kekasih berbagi gelisah di 34 kamar kosan; Sudah seharusnya cinta terus tumbuh, lebih dari ini, dari hari ini. Sudah seharusnya cinta terus tumbuh, lebih dari ini, dari esok hari.
Ku lihat wajahku di kaca jendela yang tempias. Ia nampak pucat, lelah dan nelangsa. Tertinggal diam di bibirnya yang kaku membeku. Tergantungkan hampa di hitam kornea mata yang kosong pandangnya. Ia nampak ingin sampaikan kejujuran yang belum pernah tersampaikan.
Aku mununggu dengan seksama. Menerka cara bagaimana Ia akan bicara.
Tujuh menit dua puluh tiga detik terhitung telah lewat. Ia masih saja diam. Namun nampak lebih muram. Seperti kehilangan pesta, cinta dan kata yang membuat seolah yang tersisa dari hidup hanya sunyi menyedihkan yang tak patut dirayakan dengan satupun gembira.
"Bukankah, ada yang ingin kau sampaikan?", ku tanyakan pada bayanganku di kaca jendela yang masih saja tempias.
Ia masih saja diam, tak menjawab.
"Bagaimana kau ingin segalanya berakhir?", tanyaku lagi.
Ia tetap diam.
Puluhan pertanyaan kemudian ku proposalkan kepadanya. Berharap, mungkin ada pertanyaan tertentu yang mampu buatnya bicara. Sialnya, diam tetap menjadi jawaban paling utama.
Setelahnya, aku termenung. mengamini hening dengan liar.
Aku mengingat kematian Dazai dan Yamazaki yang begitu tragis sekaligus romantis di sungai Tama pasca Oba Yozo berakhir di bangsal rumah sakit jiwa.
Aku mengingat Kurt Cobain yang terlentang mendekap shootgun pasca Ia selesai tulis surat buat Boddah dan kelahi dengan Novoselic di dalam mobil.
Aku mengingat kematian Sylvia Plath yang amat malang di "Poppy in July" pasca Ted Hughes dan Susan Alliston menyemai bahagia di Bloomsburry. Sylvia yang malang mati ketika Hughes sedang berahi.
Aku mengingat Virginia Woolf yang menarik nafas terakhirnya di dasar sungai Ouse pasca kondisi depresif dan "Between the Acts" memberi nyawa terakhir pada ketakutan dan segala luka yang membasah.
Aku mengingat kematian Sergei Yesenin yang mabuk-mabukan sewaktu malam natal tinggalkan surat buat sahabatnya, Mayakovsky di sebelah tubuhnya yang tergantung di kamar hotel.
Aku mengingat kematian Anne Sexton yang sebelumnya Ia fatwakan dalam "The Suicide of Anne Sexton" dan teriakan keras "The death is mine!".
Aku mengingat Hemingway, Yukio Mishima, Van Gogh, Basquiat, Ben Vautier, Elvis Presley, Jimmy Hendrix, Chester, Janis Joplin dan semua yang seolah punya keyakinan sama dengan Anne Sexton, "The death is mine!"
Aku mendapati diriku pernah punya hasrat untuk mati pasca meminta pada Tuhan namun tak juga diberi. Hasrat itu serupa api membakar pagar moralitas yang membatasi. Dalam pikir, satu-persatu cara mati ku siapkan sebijak dan seelok mungkin. Sebab, aku ingin siapapun yang melihat akan bawa kesan bahagia yang tak bisa dibeli dunia.
Pertama, ku pikir, aku menggunakan kemeja flannel warna biru-hitam, kaos hitam bergambar Kurt Cobain yang merokok, celana denim gelap yang sobek di bagian lutut dan Converse warna putih menggantungkan diri di atas tanah pemakamanku yang sebelumnya telah ku gali sendiri.
Kuletakkan dua Vodka di kanan-kiri batu nisan yang tertulis "Aku mati karena ingin" dan surat-surat buat papa, mama dan adik-adikku. Juga, buat beberapa teman yang sebelumnya telah ku persiapkan.
Aku, tak menulis surat buat Arin, sebab Ia adalah orang pertama yang ku beri tahu akan datangnya kabar kematianku via video call.
Ku putar lirih lagu "Oh, Sweet Nuthin"Â dari Velvet Underground sebagai lagu paling akhir yang mengiringi berakhirnya segala sia-sia, sementara aku dengan senyum mulai menggantungkan leherku di tali rotan yang menjalar dari atas tiang gantung.
Kedua, aku akan berbaring di tempat tidur. dinding-dinding kamar ku tempel sticky note warna-warni yang tertuliskan cerita menyoal segala harapan, kecewa, putus asa, kesedihan, ketakutan, pertemuan, asmara, derita dan semua hal yang memang perlu ku ungkapkan.
Aku memakai kaos merah polos dan celana pendek menyilet urat nadi perlahan-lahan mengikuti irama "Glommy Sunday" yang muram dan gelap. Akan ku rasakan sakit dengan meringis dari tiap sayatan silet yang pelan sampai pandangan mulai kunang-kunang sebelum lelap tepejam bersama darah yang mengucur basahi kasur.
Yang terakhir, akan ku putar kencang dua album Nirvana penuh; "Nevermind" dan "In Utero". Di dalam kamar, aku telanjang bulat. Menenggak Vodka secara brutal dan menguntal ratusan ektasi ke dalam lambung yang seharian tak dikirim nasi. Ku pukul wajah sampai badan melemas tak sadarkan diri. Dan, esok hari muncul headline berita di kanal media lokal dengan judul "Seorang Pemuda Tewas di Kamarnya Akibat Overdosis Narkotika".
Urung ketiganya waktu itu kulakukan. Sebab, nyali buat mati ternyata tak lebih berkuasa atas takutnya yang buat seluruh tubuh gemetar. Dan, kini kembali muncul di benak pikiran.
Aku berulangkali mencoba meyakinkan diri segera memilih satu di antaranya buat dilakukan malam ini. Sialnya, takut masih saja terus buatku ragu.
Suasana hening yang melankolis, kalut dan biru, sebentar menganga menjadi kemarahan radikal yang dikendalikan takut dan ragu. Kemudian, kembali melankolis dan biru.
Aku nampak lebih baik, sebab ragu dan takut mampu meredam intensitas untuk mati dengan cara bunuh diri yang dikutuk moralitas. Di sisi lain, aku nampak pengecut dan tolol sebab tak punya nyali yang lebih baik dari sebelumnya.
Sepertinya, aku masih terlalu bodoh menyimpulkan mati sebagai akhir dari segala sia-sia seperti Fukuyama yang tolol mengklaim bahwa kapitalisme adalah akhir dari segala sejarah.
Bunuh diri dan mati berakhir di kepala yang dinamis seperti metropolitan. Mereka berdua tidur di losmen tua bernama Hippocampus di bagian otak yang dihuni ribuan ingatan. Sedang, di dalam kamar, aku mengakhiri perkelahian diri dengan menggambar silet di atas urat nadi, takut dan menangis. Lupakan pesta, cinta dan dosa jalan Magelang-jogja yang dirindu nafsu.
Kehidupan pasca jam lima sore memanglah jujur. Banyak soal tak yang tak pernah bisa dijawab siang. Semakin gelap hari, semakin pula soal-soal sentimental membredeli bagian diri paling emosional. Semakin malam mengantar kantuk, semakin pula soal-soal temperamental mengetuk ruang paling subtil dalam diri.
Dahulu, aku sering abai pada problem diri. Namun, tangguh dan melawan banyak hal untuk segala yang komunal. Kini, aku dipelacuri malam yang sama sekali tak meneduhkan. Bermain-main dengan kesia-siaan, menyanyikan lagu putus asa yang entah kapan waktu tenggatnya, takut dan mencemaskan semua hal.
Sejujurnya, aku benar telah kehilangan hasrat untuk hidup. Meski, mati hanya bisa ku siapkan caranya dalam kepala. Sebab, tak berani aku mencoba meski hanya sekali saja.
Aku rasa, dalam lajur waktu yang linier, aku hanya menjalani hidup tanpa mampu lagi memberi makna tentang hidup sampai semua terasa basi. Sebab aku benar-benar melihat masa depan telah mati, harapan-harapan yang nestapa telah jadi artefak di museum terdahulu yang saban hari dikunjungi ingatan.
Bukankah kiamat hidup adalah kehidupan yang tanpa harapan?
Selain itu, bukankah tidak ada salahnya menjadi egois dan pesimis pasca kegagalan dan kekalahan berulang menikam dan membekaskan luka yang tak pernah bisa dilupa.
Setelah berulangkali gagal, siapa yang paling benar. Apakah Loki yang bersikukuh mengembalikan TVA dan teman-temannya atau Sylvie yang tak lagi ingin terlibat dengan perjuangan untuk TVA dan hanya ingin hidup. Pada film Loki Season 2 episode 5.
Yang jelas, mereka berdua sama-sama egois. Dan mengingat Sylvie sama mengingat lirik lagu yang sempat kubuat dengan Wicak.
"Mengapa hidup selalu kalah
mengapa hidup diluar kuasa
oh tidak ada yang benar-benar bahagia
sayang hidup hanya untuk sia-sia
hanya sia-sia, tak punya apa-apa"
-Sylvie Selalu Sia-Sia
Waktu menunjukkan jam 00.17, aku tersadar dari kompleksnya kejujuran. matinya masa depan, nestapanya harapan dan segala kesia-siaan hidup dan putus asa, diakhiri oleh air mata, gambar silet di atas urat nadi dan The Adams yang mulain memainkan "Timur";
"Masa depan kadang menakutkan
Penuh dengan ketidakpastian
Lebih mudah jika tidak dipikirkan
Kita bisa membuat rencana
Untuk sekian tahun ke depan
Tapi percuma jik....."
Sialnya tiba-tiba ponsel berdering. Notifikasi panggilan memaksa The Adams urung untuk melanjutkan Timur. Aku gerutu dan memaki siapa orang dibalik telepon di waktu dini hari seperti ini.
Segera kemudian aku beranjak mengambil ponsel dengan air mata yang tak ku usap. Ku jawab panggilan tiba-tiba itu.
"Belum tid..." Suara seorang disaluran telepon mencoba bertanya dengan lembut.
"Rin, aku ingin bunuh diri bersama di Golden Gate Bridge, San Francisco. Kita menggantung diri di jembatan, setelah sebelumnya memaki Amerika yang jahat dan kejam. Kau berdandan serupa Harley Quinn dan aku akan mengecat wajah seperti Joker, tak lupa juga memakai Tuxedo. Kau mau kan?" Aku menyela dengan parau dan nafas yang terengah.
"Anjing, kau gila ya!" jawabnya marah sekaligus heran.
Di kamar yang asing, 17 Oktober 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI