Lebih bajingan mana, mereka yang berpura-pura segalanya baik-baik saja, mereka yang mengumbar kebohongan tentang proses dan hasil yang berujung pada takdir, atau mereka yang memerdekakan ketakutan dengan segala ancaman yang mengerikan?
Atau, semua sama berperan bajingan yang mengejar kebenaran dengan cara masing-masing?
Kubaringkan diri di atas sejarah, setelah kepala pening dipenuhi pikiran antah berantah dan tak berarah, yang tak punyai fungsi bila setelahnya kembali dituntut tar dan nikotin, juga alkohol dan kafein; Esok hari kembali dinormalisasi kondisi ekonomi.
Sialnya, normalitas adalah menjalankan pikiran orang lain dan hidup dengan standar orang lain. Ketika mengelak, menolak jadi makhluk peliharaan dan mencoba keluar dari domain normalitas bahkan sedetikpun akan dianggap gila, aneh dan payah.
....
Kesumat dendam pada takdir dan kenyataan menumpas sunyi malam yang menyulam kontrafaktualnya jerih dan nasib menjadi trauma mengerikan dan ketakutan.
Lirih detak arloji di meja kecil samping ranjang bermetamorfosis menjadi pekik riang harapan-harapan di dalam kepala yang hampir tewas ditikam cemas. Harapan-harapan yang lahir dari pergolatan moral dan pengetahuan, yang bertahun-tahun dirawat dan dibesarkan rencana dan keteguhan, yang berulangkali ditampar gagal dan kecewa.
Barangkali esok hari matahari tak terbit lagi, atau barangkali aku yang tak lagi lihat fajar merah kembali merekah. Aku, masih cemas.
Di malam yang tak terjaga doa, lamun ku tenun. Ku lihat masa depan terbunuh bersama harapan-harapan yang nestapa. Dan, masa lalu yang terkubur pulas dalam kenang, ku peluknya dengan renta dan putus asa.
Ku coba tenangkan diri. Mengolah sepi dengan mengenang kebijaksanaan Rumi. Namun, Segala cinta telah berakhir pasca darah sesaudara tumpah di Karbala.
Sayangnya, jejak ingatan tentang sadisnya hidup dan bengisnya fakta selalu saja muncul secara tiba-tiba tanpa kenal tempat dan waktunya. Biru kegagalan dan biru kekecewaan terus mengoyak hingga tarikan nafas paling akhir. Tak ada tempat paling aman buat melarikan diri dan sembunyi. Yang ada tinggal menuntun sedih pada tangis. Memeluk segalanya dengan renta dan putus asa.