4.
SEBUAH layar. Sebuah biru yang satu. Di kanan tengah, lelaki itu. Di sebelahnya, sosok baru itu.
Beberapa saat sebelumnya seberkas cahaya diam berpijar di kiri atas. Seperti lampu. Sebuah suara memaksa mereka terjaga. Lalu seperti yang kini tampak, bertatapan lah kedua sosok itu, seperti mencoba mencairkan sesuatu yang baru beku.
Tanya lelaki itu, Kamu siapa? Jawab sosok di hadapannya, Aku tak tahu.
Sesuatu yang bukan bintang mendadak datang dan tak hilang. Langit menggelap—meski warna tetap biru. Desau angin yang memang parau dipaksai usai. Suara sungai, membikin ramai layaknya ladang di musim tuai. Di sebelah kanan mereka, sebatang pohon bergoyang-goyang. Gempa? Bukan. Belum ada gempa di sebuah dunia yang masih muda. Dari arah tengah, dari sebuah titik yang entah, bermunculan satu-satu, burung-burung dengan sayap kaku, menuju dan hinggap di ranting-ranting pohon itu. Biru. Semua warna masih biru. Lalu setelah sekian detik yang pelik, di tengah entah itu tak lagi ada sebuah titik. Ranting-ranting pohon itu telah penuh. Terdengar darinya, sebuah gelisah yang rapuh.
Apakah kita?
Namun kali ini tak ada suara. Dia dan sosok baru itu tetap saling tatap mencoba mengenali satu sama lain. Tak ada angin. Mereka masih sebuah tubuh tanpa tempat berlabuh. Meski tak satu pun ada yang tertutupi, mereka tak merasa risi. Mereka masih sama-sama belum tahu, apa-apa saja yang bisa membuat mereka malu.
Lalu angin. Tiba-tiba. Dari sungai sesuatu serupa air bercipratan menjangkau daun-daun baru di pohon itu, menampah pekat warna biru yang satu itu. Sesuatu yang bukan bintang, bergerak cepat dan hilang. Di beberapa ranting di pohon itu, buah-buah telah bulat biru sempurna.
Lelaki itu menoleh, juga sosok baru yang bersamanya. Mereka berdiri. Terdengar langkah kaki di luar layar sebelah kiri. Terdengar kalimat, sesuatu yang bukan firman:Â buah-buah itu adalah dosa yang bisa membuat kalian binasa.
Lalu layar seperti kacau saat terdengar sesuatu menyeracau. Terang gelap tumpah tindih berganti silih. Benda-benda melindap maya. Balam. Hitam. Lalu biru. Lalu henti. Apa yang tampak di layar itu nyaris sama, kecuali sebuah terang di pohon itu, membentuk sepasang batas membuatnya tampak kudus sekilas. Tanya lelaki itu, Kita akan memakannya? Jawab sosok baru itu, Aku mengikutimu.
Maka tangan-tangan mereka terangkat, menyentuh-rengkuh buah-buah itu. Dipetiknya, diamatinya, ditujukan ke mulutnya. Memang, beberapa saat yang singkat sebelum adegan yang baru itu sebuah tulisan terlihat samar:Â buah-buah itu bukanlah dosa, namun cinta yang memaksa kalian sempurna. Saat kedua sosok itu mengunyah buah-buah itu sebuah tulisan biru gelap melindap bergerak dari kiri ke kanan:Â inilah dosa pertama, yang karenanya surga ada.