Perempuan itu mengangguk.
“Kau akan lenyap seperti gelap.”
Perempuan itu berdiri.
“Sebab di matanya Tuhan telah memiuhkan pagi. Dan ia tak akan lagi sosok yang kau kenali.”
Perempuan itu tak mengucap apa-apa, sebab ia tak lagi punya kata. Sebelum ia tampak terbang sebelum angin seolah asin, ia menutup mata untuk menyaksikan perpisahan yang berbeda. Tepat di dekat wajah lelaki itu air matanya jatuh. Lalu shubuh. Tubuh perempuan itu melayang dan mulai hilang seiring angin lamat berdesing.
Lalu biru. Lalu sepi.
2.
SEBUAH layar. Sebuah biru yang dominan. Di sudut kanan agak ke bawah, lelaki itu.
Tak ada semacam nyanyi yang mengganggunya. Tapi ia terbangun. Bangkit. Dirasakannya ada yang tak sama, seolah-olah detik sebelum ini tak pernah ada, sekan semua kembali tercipta begitu saja. Ia menyentuh pelipis kirinya. Ada sesuatu. Beberapa jarinya mengatakan seperti itu. Seperti ada bekas luka yang lekas tiada, tapi tak sempurna. Sesuatu telah terjadi padanya. Bahkan, ia tak tahu siapa dirinya.
“Namamu Adam.”
Seberkas suara. Hanya seberkas. Getas dan tegas. Seperti di adegan pertama, suara berat itu tak memiliki asal. Jika dicari, hanya ada kicau burung mirip kemarau limbung. Angin berdesing, dan asing. Sesuatu serupa air mengalir mahir dari kiri tengah ke tengah bawah. Barangkali itu sungai. Warnanya biru, seperti benda-benda lainnya—yang bergerak ataupun tidak. Dalam alirnya, berbilah-bilah kata menyeruak darinya.