Siapa aku? Apa itu nama?
Tapi kembali hanya seberkas suara. Getas dan tegas. Sesuatu yang seketika membuatnya tahu bahwa ia tak tahu.
“Kau adalah yang pertama yang dicipta. Kau adalah mula.”
Tapi ia belumlah tahu apa itu mula. Sesuatu mengerjap-ngerjap di kiri atas. Seperti cahaya. Sesuatu yang bukan bintang—dan tentu bukan matahari. Sesuatu itu tak berwarna kuning. Tapi biru. Biru yang lebih rapuh. Muda yang tak bertenaga.
Sesuatu itu bergerak agak cepat ke kanan bawah, ke arah lelaki itu. Lelaki itu berdiri. Tegap tapi gugup. Sebelum dari lidahnya kata terlontar sesuatu itu membesar dan melebar, memanjang dan meninggi. Satu hitungan. Dua hitungan. Dan di hadapannya kini sebuah wujud. Ia seperti tengah bercermin. Tapi ia baru dicipta, dan ia belum tahu apa itu cermin apa itu bayangan. Yang ia tahu: ia takut.
“Tak perlu takut. Aku bukan maut. Aku hanya sesuatu yang diutus agar kau tak lagi terjerumus.”
Lagi?
Kata itu bergaung tak mau rampung di benaknya, berganti rupa hanya untuk kembali ada. Ia menduga, sebelum ini kejadian ini pernah ada. Langit itu. Kepak burung itu. Dirinya. Tapi ia ingat sebuah kalimat telah dibisikkan kepadanya: kau adalah mula.
“Ikut aku. Tuhan telah menyiapkan nama-nama untuk kau ingat, kata-kata untuk kau ucap.”
Untuk apa?
“Agar kau perkasa menjadi raja atas dunia dan manusia.”