Mohon tunggu...
Candika Putra Purba
Candika Putra Purba Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengajar Bahasa Indonesia

Senang membaca karya fiksi Senang mendengarkan musik Senang dengan dunia fotografi Berjuang untuk menjadi manusia yang berguna 24 Tahun Guru SMP

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Garam dalam Tikam dan Kelam (Sebuah Cerpen)

23 Maret 2021   08:10 Diperbarui: 23 Maret 2021   08:25 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"NGGAK ADA ORANG BATAK KEK KAU PARDO. NGGAK ADA ORANG BATAK YANG LEMAH KEK AKU, NGGAK ADA LAKI-LAKI BATAK YANG MUDAH NANGIS KEK KAU," Pak Yanti tak bisa mengontrol emosinya. Emosi yang sudah lama ia pendam, kini ia luapkan semuanya. Marahnya yang dulu pada Pardo, disampaikannya saat itu juga.

Pak Yanti lelah. Nafasnya tersengal-sengal dan matanya tak semelotot sebelumnya. Dengan pelan ia tinggalkan pekerjaan itu. Tak lupa juga ia meninggalkan Pardo yang masih berdiri, meremas jadi-jadi dan  menangis tanpa henti. Dengan tetesan air mata, ia mengingat semua kata-kata Bapaknya, ia mengukir itu di hatinya. Apa yang dikatakan bapaknya semua terekam dengan sempurna. Itu juga yang membuat Pardo pernah tak menyukai keluarganya itu. Keluarga yang tak pernah menganggapnya.

*di ruang kepala sekolah*

"Lukman, sini nak" Pardo memanggil Lukman. Lukman yang sedari tadi asyik bermain bola dengan teman-temannya, menanggapi panggilan kepala sekolahnya itu.

"Iya Pak?" Lukman masuk kantor kepala sekolah tanpa sepatu.

"Nah, beli minuman samamu, sama teman-temanmu juga" Pardo memberi beberapa rupiah. Anak itu girang, matanya menjadi bulat dengan senyuman yang lebar.

"Makasih Pak" dengan senyum terbaik, Lukman berterima kasih pada Pardo, sambil meninggalkan kantor itu, Lukman berlari kecil.

Pardo melihat foto di depannya. Bapak dan ibunya sedang menggunakan batik pada waktu ia wisuda. Mereka tertawa, jelas sekali mereka bangga pada Pardo.

"Seandainya bapak tidak emosian, mungkin aku sekarang di jalanan" lirih Pardo di hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun