"NGGAK ADA ORANG BATAK KEK KAU PARDO. NGGAK ADA ORANG BATAK YANG LEMAH KEK AKU, NGGAK ADA LAKI-LAKI BATAK YANG MUDAH NANGIS KEK KAU," Pak Yanti tak bisa mengontrol emosinya. Emosi yang sudah lama ia pendam, kini ia luapkan semuanya. Marahnya yang dulu pada Pardo, disampaikannya saat itu juga.
Pak Yanti lelah. Nafasnya tersengal-sengal dan matanya tak semelotot sebelumnya. Dengan pelan ia tinggalkan pekerjaan itu. Tak lupa juga ia meninggalkan Pardo yang masih berdiri, meremas jadi-jadi dan  menangis tanpa henti. Dengan tetesan air mata, ia mengingat semua kata-kata Bapaknya, ia mengukir itu di hatinya. Apa yang dikatakan bapaknya semua terekam dengan sempurna. Itu juga yang membuat Pardo pernah tak menyukai keluarganya itu. Keluarga yang tak pernah menganggapnya.
*di ruang kepala sekolah*
"Lukman, sini nak" Pardo memanggil Lukman. Lukman yang sedari tadi asyik bermain bola dengan teman-temannya, menanggapi panggilan kepala sekolahnya itu.
"Iya Pak?" Lukman masuk kantor kepala sekolah tanpa sepatu.
"Nah, beli minuman samamu, sama teman-temanmu juga" Pardo memberi beberapa rupiah. Anak itu girang, matanya menjadi bulat dengan senyuman yang lebar.
"Makasih Pak" dengan senyum terbaik, Lukman berterima kasih pada Pardo, sambil meninggalkan kantor itu, Lukman berlari kecil.
Pardo melihat foto di depannya. Bapak dan ibunya sedang menggunakan batik pada waktu ia wisuda. Mereka tertawa, jelas sekali mereka bangga pada Pardo.
"Seandainya bapak tidak emosian, mungkin aku sekarang di jalanan" lirih Pardo di hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H