Pardo diam, ia menunduk tapi tidak menangis. ia mencoba untuk tegar.
"Nah, sekarang kau buang semua ini," kini nada bicara mak Yanti menurun. Itu pertanda ia sudah pasrah, kini ia menyuruh anaknya itu untuk membuang barang-barang perempuan itu. Pardo diam sambil mengarahkan tangan kanannya menerima itu. Dengan diam dan sambil menunduk, ia pergi, melangkah menjauhi kamar mandi. Sambil mengutuk diri sendiri, dan terus berpikir kata-kata minta maaf yang akan ia bilang pada Surti, teman kelasnya yang punya semua barang itu.
Pardo adalah anak terakhir di keluarganya. Hidup di bawah Bapak bermarga Sinaga dengan ibu berboru purba. Hidupnya kental dengan budaya batak. Jaraknya dengan abang kakaknya cukup jauh, kini kakaknya sudah menikah, sedangkan abangnya sudah merantau di kota yang cukup jauh dari kampungnya. Kini ia sendiri, bersama kedua orang tuanya.
Masyarakat menilai Pardo sebagai orang yang berbeda. Tidak jarang orang memanggilnya "kancil" ketika ia di suruh mak Yanti untuk membeli sabun batang ke warung. Mungkin karena tubuhnya yang mungil, namun mungkin juga karena tingkahnya yang aneh. Pardo berbeda dari anak laki-laki lain. Jika Samson, anak tetangganya yang seumuran dengannya sedang asyik bermain mobil-mobilan dengan Raju, Pardo memilih duduk di sudut lapangan, bermain dengan jagung muda yang serabutnya masih berwarna merah muda alami. Ia tak pandai menendang bola, namun dalam hal mendandan rambut, Surti masih kalah dibuatnya.
Di dalam rumah juga begitu, ketika Samson pandai membuat peralatan di rumah, Pardo memilih untuk mengatur bunga, melap meja dan jendela, menanak nasi dan memasak lauk apa adanya. Semua pekerjaan rumah beres di tangannya.
Awalnya, mak Yanti tak terlalu peduli. Namun, sejak tetangga mulai berbisik-bisik tentang pardo, ia mulai risau. Pak Yanti, tak pernah punya waktu untuk membahas hal itu. Ia sibuk di ladang. Segala urusan ladang memang tunduk di telapak tangannya, jadi dalam pengurusan anak, memang diserahkan penuh pada mak Yanti.
"Bang, abang ajarilah di Pardo itu martukkang (bertukang), biar kek cowok dia," mak Yanti memulai pembicaraan dengan pak Yanti.
"Maksudmu bagaimana?" pak Yanti heran. Ia tak pernah berpikir seperti itu sebelumnya.
"Si Pardo itu, keknya dia lebih suka masak-masak dari pada martukkang. Nanti malu kita" pak Yanti, yang baru sadar inti topik yang diucap istrinya itu langsung diam dan berpikir. Lambat-lambat ia setuju juga dengan hal itu.
"Iya, nanti aku akan coba"
Beberapa hari setelah pembicaraan malam itu, pak Yanti mulai beraksi